Sebelas organisasi dan komunitas Universitas Hasanuddin (Unhas) mengelar lapak 1000 buku dan mendiskusikan aktivisme pelajar-mahasiswa. Mereka menggunakan pendekatan Pamflet Mustapha Khayati yang berjudul “Tentang Kemiskinan Hidup Mahasiswa”.
Kegiatan yang berlangsung di Taman Sospol Unhas ini mengusung tema “Ada Apa Dengan Aktivisme Pelajar Hari ini?”. Dalam pelaksanaannya, diskusi ini dimulai pukul 13.15 Wita dan berakhir 17.56 Wita, Kamis (19/9).
Kesebelas organisasi-komunitas ini antara lain Lapak Kamisan, UKM Menulis, Pustaka Merdeka, Resist Sospol, Dealektika Bookshop, Insersium, Komunal Noktrunal, Sisyphus Muda, Rumah Nomena, Ibook Kita, dan Zeithgeist Lapak Baca. Mereka menyodorkan berbagai jenis literatur, mulai dari buku, laporan penelitian, dan jurnal terjemahan. Selain dipadati mahasiswa hadir pula Siswa SMA Negeri 6 Makassar.
Adapun tujuan dan latar belakang kegiatan ini, menurut Huda Furqana, Anggota Resist Sospol Unhas adalah untuk menginklusifkan predikat aktivis dan aktivisme pelajar-mahasiswa.
“Agar teman-teman pelajar-mahasiswa mengetahui bahwasanya predikat aktivis itu tidak eksklusif. Karena temanya berangkat dari pertanyaan maka dari itu kita semua berhak untuk menjawabnya. Pertanyaan ada apa menunjukkan ada sesuatu. Dan sesuatu itu berupa masalah dan pengalaman yang terkait dengan aktivisme,” tutur Huda, sapaannya.
Senada dengan Huda, menurut Andi Hendra ER anggota Komunal Nokturnal, kegiatan ini juga bertujuan untuk mempersatukan organisasi-komunitas lapak buku di Unhas pada satu tempat dengan Narasi bersama “ Gerakan 1000 Buku”.
“Banyak terlihat terpisah-pisah lapakan buku, terutama setelah pembekuan kemarin, fenomena ini dilihat mau dijadikan satu narasi bersama tentang literasi kampus. Nah makanya gerakan lapakan 1000 buku dibangun, mengumpulkan ini komunitas-komunitas lapakan untuk dijadikan satu “gerakan 1000 buku,” tutur Hendra.
Salah satu topik yang diangkat dalam sesi diskusi adalah betapa ekslusifnya aktivisme mahasiswa hari ini. Menjawab hal itu, Bella Anggota UKM Menulis mengatakan, sejak awal masuk ke dalam perguruan tinggi adalah suatu prestise yang kemudian menjadi jarak antara mahasiswa dan masyarakat.
‘’Tentang gerakan mahasiswa yang eksklusif, kalau dilihat dalam kondisi gerakan yang sekarang kenapa seperti eksklusif, itu karena sejak dari awal mahasiswa yang masuk ke sini itu dianggap suatu prestise. Mereka dianggap suatu hal yang luar biasa, misalnya contohnya kita masuk ke ini (Unhas), stigma orang-orang yang berhak masuk ke sini hanya yang berkualitas dalam hal intelktual dan ekonomi,” jelasnya.
“Jadi sekarang kalau ditanya kenapa gerakan mahasiswa ekslusif itu karena sejak awal kita masuk ke sini sudah sangat ekslusif, sehingga keterpisahan lahir antara mahasiswa dan masyarakat,” lanjutnya.
Sementara itu, tentang prestise perguruan tinggi dalam pamflet “Tentang Kemiskinan Hidup Mahasiswa”, terbitan November 1966 yang ditulis Mustapha Khayati, dituliskan bahwa universitas memiliki sebuah prestise khusus.
Dahulu kala universitas memiliki sebuah prestise khusus, yakni mahasiswa menjadi beruntung karena diterima di sana. Pendidikan mekanikal dan spesialisasi telah mengalami degradasi yang parah (dalam kaitannya dengan tingkat kultur borjuis secara umum).
Muh. Syahrir