Mentari hangat mulai menyelimuti astmosfer bumi. Aku segera bangun dan bergegas ke sekolah. Kukenakan dasi biru di kerah bajuku lalu merapikannya. Sebelum berangkat sekolah, aku mencium lembut tangan kedua orang tuaku seraya mengucapkan salam.
Saat ini aku duduk dibangku SMP kelas 9. Sebentar lagi aku akan lulus. Penaku tiada henti menari-nari di atas kertas setiap hari mengerjakan latihan soal. Aku berusaha lulus dengan nilai yang terbaik. Hingga akhirnya kerja keras ku terbayarkan. Aku, Dio Setyawan lulus dengan nilai tertinggi di sekolahku. Ini merupakan kado indah yang bias membuat orang tuaku bangga.
Kini, aku menginjakkan kaki di sebuah SMK favorit. Seperti biasa, di kala mentari menyapa, aku bergegas menyelimuti tubuhku dengan seragam kebanggaan ini. Dengan bangga aku mengalungkan dasi abu-abu ini di leher kemejaku. Pagi itu adalah hari pertamaku menyandang status sebagai siswa SMK.
“Ibu Ayah, aku berangkat dulu ya,” pamitku pada mereka.
“Iya hati-hati ya nak. Alhamdulillah, kamu sekarang sudah besar dan masuk sekolah yang kamu inginkan. Doa ibu dan ayah agar kau kelak menjadi orang yang berguna,” kata lembut darinya.
“Iya bu. Amin. Dio akan berusaha,” ujarku.
Tibalah kakiku berpijak di SMK ini. Terlihat barisan para siswa yang berdiri kokoh siap untuk memulai harinya. Aku pun mulai melaksanakan Masa Orientasi Siswa (MOS) dan akhirnya aku resmi menjadi bagian dari sekolah ini.
SMK ini memang sekolah Favorit, akan tetapi setiap sekolah pasti ada segelintir tikus kecil yang memberikan pilu pahit di sekolah. Mereka berjumlah 5 orang di kelasku. Sebut saja Amir, Nata, Rizki, Stef dan Sandy sebagai ketua geng. Mereka ‘tikus’ pengganggu yang kerjanya hanya bermalas-malasan dan melakukan pelanggaran.
Entah mengapa, aku tiba-tiba masuk pada dunia mereka. Aku tergolong pintar secara akademis. Sayangnya, aku tak pandai bela diri. Saat itu, wajahku berubah merah kebiruan akibat dihantam oleh murid lain yang tidak menyukai kepintaranku. Lalu, datanglah 5 ‘tikus’ pengganggu menyelamatkanku dengan menghantam keras orang yang menggangguku tadi.
“Hai Dio kamu tidak apa-apa?” Tanya Nata “Iya aku tidak apa-apa. Terima kasih ya,” ucapku.
“ Ahh cupu banget lu bro masak sama semut aja kalah,” ejek Sandy.
“Mending lu gabung sama kita saja, Soalnya lo bakal selalu dihantui oleh mereka” ajak Rizki.
Entah jarum apa yang merasuki pikiranku hingga aku bersedia menjadi bagian dari mereka. Wujud terima kasihku ternyata menjadi sebuah bom untukku. Aku selalu bersama mereka saat berada di sekolah. Sosok diriku yang biasanya hanya duduk memegang pena di kelas berbalik 180 derajat. Tiap hari, aku rutin mengelilingi sekolah bersama mereka dan aku menemukan banyak hal keji baru.
“Eh bro lu mau ini?” kata sandy sambil menunjukkan sebuah rokok.
“Itu rokok ya, enggak mau ah, takut kecanduan terus sakit,” kataku dan semua tertawa.
“Ih lu cupu banget ya. Lu bisa lihat kan kita baik-baik saja kan. Rokok itu ibarat buku yang harus kita manfaatkan” kata Amir
Yah, tentunya aku mulai penasaran dan belajar akrab dengan benda itu. Hingga akhirnya aku tidak bisa lepas dari hembusan kotor itu. Tiap hari hubungan kami berenam semakin erat. Aku sudah melupakan harapan kecilku di SMK ini. Aku sudah mahir beradu tinju di sekolah. Pun aku mulai berani membawa rokok ke rumah.
“Krekk” suara pintu kamar terbuka, “Astaghfirullah, Dio kamu merokok?” kata ibuku terkejut.
“Iya bu. Dio ngerokok” kataku sambil tertawa kecil. Kemudian ayah datang dan menamparku keras.
“Dasar anak kurang ajar, kenapa kamu merokok? Kamu enggak tahu itu berbahaya,” marah ayahku.
“Eh Yah, suka-suka Dio dong, Ini hidupku! Lagian ngerokok itu enggak bahaya, itu hanya mitos lama,” balasku.
“Ya Allah nak. Mengapa kamu jadi seperti ini ? Kamu enggak tahu ibu punya penyakit pernafasan akut ? Kalo kamu ngerokok dirumah, entah apa yang terjadi padaku” ucap sedih ibu.
Tetapi aku tidak menghiraukan ucapan mereka dan aku bergegas pergi karena amarahku. Dan kawanku dengan santai menyodorkan sebuah minuman haram untuk menenangkanku. Gemerlap dunia remaja seolah telah menutupiku. Tiap hari aku menyeburkan asap rokok ke dalam rumah. Bahkan, aku tidak khawatir dengan batuk ibuku yang tak kunjung sembuh.
Hingga suatu hari badai dahsyat menghantamku. Ibuku yang menjadi sandaran hidupku, menghembuskan nafas terakhir karena penyakitnya. Aku tak mampu menahan derai air di pelupuk yang membanjiri pipi ini. Penyesalan pasti menempel di benakku. Untaian harapan kecilku untuk ibu musnah, hanya karena sebuah hembusan asap beracun itu. Masa kejayaan putih abu-abu dan harapanku musnah sudah karena aku divonis kanker tenggorokan.
Sekarang aku hanya bisa terkulai lemas dibalik selimut tidurku. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Kilatan kenangan manisku dulu sewaktu SMP selalu terbayang olehku. Rintihan kesedihan hanya bisa terurai dihatiku dikala melihat temanku lainnya sukses mengharumkan nama sekolah dan keluarganya. Sebelum aku meninggalkan semua ini, aku berpesan pada kaum muda saat ini. Andai mereka merasakan apa yang kurasakan mereka tidak akan mendekati asap beracun itu.
Yuliana
Mahasiswa Sastra Asia Barat
Fakultas Ilmu Budaya
Angkatan 2016