Identitas coba menelusuri jejak kegiatan sastra mahasiswa Unhas di medio 1990an. Informasi dari tulisan ini dikumpulkan dari kepingan berita yang tertulis, maupun dari mahasiswa pegiat sastra masa itu.
Bermula dari rasa tidak puas dengan sejumlah kelompok diskusi sastra, Aslan Abidin, alumnus Sastra Indonesia Unhas, berniat membuat sendiri kelompok diskusinya. Aslan pun mencari kawan dengan ketertarikan yang sama terhadap sastra. Dan proses pencarian kawan untuk pembentukan kelompok diskusi ini cukup unik, Aslan merinci nama-nama mahasiswa yang sering menulis di koran kampus.
“Caranya itu dengan mencari tahu siapa saja mahasiswa di Unhas yang suka menulis dengan melihat tulisan mereka di identitas. Kemudian, dari situ bisa terlihat ada penulis seperti Sudirman HN dari Kedokteran, Muhendra Gunawan dari Ekonomi, dan Muhari Wahyu Nurba dari Sastra,” terangnya saat diwawancara, Rabu (8/5).
Lalu tepat tanggal 15 Juni 1994, kelompok diskusi sastra yang diinginkan itu terbentuk. Bersama nama-nama yang disebutkan tadi dan setelah bertemu beberapa kali, mereka pun membentuk Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Seni Unhas. Sebuah wadah bagi mahasiswa yang menyukai dunia menulis dan sastra.
Selanjutnya, unit kegiatan tersebut pun mulai melakukan beberapa kegiatan dan pementasan. Aslan mengaku bahwa ketika ia dan teman-temannya melakukan kegiatan di luar kampus, maka mereka menamakan dirinya sebagai Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST). Hal itu bertujuan agar kelompok studi yang dibentuk bisa memiliki nama besar di tengah masyarakat.
“Kalau kami membuat proposal untuk melakukan kegiatan, kami menggunakan proposal UKM Seni, meminta dana UKM Seni. Tetapi ketika melaksanakan acaranya, namanya berubah jadi Masyarakat Sastra Tamalanrea,” ungkapnya.
Salah satu kegiatan yang pernah mereka laksanakan ialah pembacaan puisi sehari semalam. Aslan, yang kini menjadi dosen dan sastrawan, menceritakan bahwa waktu itu para pembaca puisi bahkan ada yang tertidur di atas panggung. Setelah bangun, pembaca puisi yang tertidur itu, kata Aslan, kembali membacakan puisi karya-karya sastrawan terkenal.
“Pembacaan puisinya tidak berhenti selama 24 jam. Jadi, kalau ada yang sudah capek, maka diganti dengan yang lainnya. Bahkan ada yang pulang dulu, mandi, kemudian kembali lagi dan membacakan puisinya,” jelas Aslan.
Di era 90-an, mahasiswa Unhas memang gemar melakukan kegiatan sastra. Misalnya, pada Maret 1991, Senat Mahasiswa Fisip Unhas menyelenggarakan Festival Sajak dan Puisi Kreatif di Gedung Pertemuan Ilmiah. Festival itu dapat diikuti oleh kalangan pelajar SLTP, SLTA, mahasiswa, maupun masyarakat umum Sulsel. Piala yang diperebutkan kala itu ialah piala Gubernur Sulsel, Kanwil Deparpostel XIV Sulselra, Rektor Unhas, maupun Dekan Fisip Unhas itu sendiri.
Kemudian, pada Juli 1991, Unit Kesenian Unhas mengadakan Festival Seni Mahasiswa bertema “Dengan Festival Seni Mahasiswa Kita Tingkatkan Persatuan dan Persaudaraan di Lingkungan Civitas Akademika Unhas”. Salah satu jenis lomba yang dipertandingkan, yakni cerpen dan puisi.
Fakultas Sastra kala itu juga tidak ingin ketinggalan untuk mengambil andil dalam menyelenggarakan kegiatan sastra. Menjelang masuknya Bulan Bahasa dan Dies Natalis, Fakultas Sastra mengadakan Sastra Fair di Lembaga Cadika, Limbung, Gowa, September-Oktober 1991. Saat itu mimbar bebas juga dibuat untuk menyemarakkan acara sehingga siapa saja dapat menampilkan berbagai pertunjukkan dalam kegiatan tersebut.
Tak berhenti sampai di situ, pada Oktober 1993, dalam rangka menyongsong Dies Natalis ke-34, Fakultas sastra kembali mengadakan Pekan Sastra III bertema “Sastra Manifestasi Kontak Sosial Budaya”. Kegiatan yang diselenggarakan di Lapangan FIS bertujuan untuk meningkatkan apresiasi sastra mahasiswa.
Adapun bentuk-bentuk kegiatan yang ditampilkan antara lain pameran sastra, lomba dan pertunjukkan sastra, permainan rakyat, olahraga, serta diskusi ilmiah sastra. Sedangkan, lomba-lomba yang digelar berupa puisi, cerpen, drama, esai sastra, karikatur, dan vokal grup.
Tak hanya itu, menurut Muhari, ia dan teman-temannya di MST, selain aktif melaksanakan diskusi dan pertunjukkan sastra, mereka juga sering menulis di media lokal maupun nasional, seperti Gatra, Horison, Kompas, dst. Jika dibandingkan dengan mahasiswa zaman sekarang, menurut alumnus Sastra Inggris Unhas ini, dunia kepenulisan mahasiswa mengalami perkembangan. Hal itu terjadi karena adanya kemudahan di bidang teknologi dan informasi.
“Penulis sekarang sangat mudah untuk berkarya dan juga banyak media yang dapat digunakan untuk belajar. Beda dengan kami dulu, yang masih menjadi mahasiswa di zaman orde baru. Ruang kreatif tidak sebebas zaman sekarang. Tetapi, persoalan semangat, saya rasa tidak jauh berbeda,” pungkasnya.
Khintan, Melika Nur Jihan