Beberapa hari belakangan ini represi terhadap lembaga mahasiswa menjadi isu perbincangan yang menyedot perhatian Publik. Di antaranya isu yang terjadi di dua kampus ternama di tanah air, sebut saja UGM dan Unhas. Di UGM baru-baru ini lembaga pers mahasiswa yaitu Balairung direpresi oleh birokrat kampus. Pihak kampus melakukan sensor pada tulisan majalah Balairung untuk edisi ke-55. Sensor tulisan dilakukan oleh pihak kampus terkait dengan adanya artikel yang mempersoalkan perampasan Tanah di Jogjakarta.
Sementara itu, hal yang nyaris sama berlangsung di Timur Indonesia, tepatnya di Unhas. Tidak lama ini sebuah pemberitaan tentang represi lembaga mahasiswa kembali menyorot kampus unhas.
Represi terhadap lembaga mahasiswa dilakukan dengan membekukan beberapa lembaga mahasiswa jurusan, di antaranya FISIP, FEB dan FHUT. Tindakan ini berawal dari adanya penolakan beberapa lembaga mahasiswa terhadap PR ORMAWA Unhas, yang kemudian direspon balik oleh pihak birokrasi kampus dengan pemberhentian sementara kegiatan lembaga mahasiswa yang secara politik dan tertulis menolak kebijakan tersebut.
Represi lembaga mahasiswa yang terjadi di dua kampus kembali menyisahkan pertanyaan krusial, tentang agenda reformasi dan masa depan berdemokrasi di Indonesia. Hal ini penting untuk segera diajukan, pasalnya pembiaran yang berlarut-larut terhadap represi lembaga mahasiswa semakin menjauhkan agenda dan konsolidasi demokrasi yang kita cita-citakan bersama.
Salah satunya, melawan segala bentuk depolitisasi termasuk pada lembaga mahasiswa. Praktek depolitisasi mahasiswa sebagai praktek politik yang sangat familiar di masa Orde baru. Gagasan yang seringkali diperdengarkan, mahasiswa tidak boleh berpolitik.
Depolitisasi digunakan rezim Orde baru untuk mengisolasi gerakan mahasiswa dari aktifitas sosial, termasuk menjaga agar mahasiswa tidak berada pada barisan yang melawan rezim orde baru. Mahasiswa cukup disibukkan dengan aktifitas di kampus.
Alhasil, imajinasi soal keriuhan sosial yang terjadi di luar kampus menjadi hal yang sangat sulit dibayangkan. Bahkan yang paling memprihatinkan, apa yang kemudian dicatat oleh Professor of Asian Studies di Asia Institute, University of Melbourne, Australiavedy, Vedi R. Hadiz , mengatakan bahwa praktek depolitisasi yang berlangsung ketika orde baru berdampak domino pada carut marutnya pelembagaan. Proses ini sangat terasa bahkan setelah orde baru ditumbangkan. Salah satu indikasinya nampak pada gagalnya konsolidasi gerakan mahasiswa.
Keruntuhan orde baru tak kunjung dimanfaatkan mahasiswa dalam membangun agenda politik yang berpihak pada elemen mahasiswa. Mahasiswa terlempar dari panggung politik.
Watak depolitisasi yang dibentuk orde baru sejak puluhan tahun berhasil melanggengkan jarak sosial mahasiswa dari berbagai aktifitas sosial. Kondisi yang menyulitkan mahasiswa memperluas basis dan dukungan gerakan dari di luar kampus. Termasuk ketika harus membangun solidaritas aksi dengan kelompok-kelompok sosial yang lain, seperti serikat buruh, miskin kota lembaga sosial lainnya.
Lembaga mahasiswa, masih disibukkan dengan persoalan internal, berusaha menata kembali persoalan lembaga mahasiswa. Namun hal ini juga tidak bisa dilihat sebagai kesalahan sepenuhnya dari lembaga mahasiswa. Watak dari warisan orde baru melalui depolitisasi politik mahasiswa sebagai biang kerok yang membuat gerakan mahasiswa terseok-seok di masa transisi reformasi.
Akibatnya, reformasi 1998 yang harusnya menjadi titik awal konsolidasi politik bagi mahasiswa justru menjadi babak baru yang semakin menjauhkan mahasiswa dari gelanggang politik. Alih-alih memanfaatkan reformasi untuk membangun konslidasi politik, gerakan mahasiswa justru mendapat tekanan politik berlapis, sebagai pihak yang harus menjadi penengah di tengah riuh dan perebutan kekuasaan yang terjadi setelah reformasi.
Posisi penanganan tak ubahnya sebagai bumper, di satu sisi sebagai kelompok penekan pada penguasaan yang zalim dan sesekali menjadi barisan yang mempelopori persekusi terhadap kelompok sosial yang lain. Opsi pertama nampaknya menjadi hal yang sudah langkah, selain karena alasan depolitisasi, kembali mengutip Vedi Hadiz, bahwa pada konteks pasca 1998 mahasiswa larut dalam efouria menyambut reformasi, sementara kelompok sosial lainnya melakukan penyesuian politik terhadap situasi yang ada.
Hingga saat ini tidak bisa dinapikan bahwa runtuhnya orde baru juga salah satunya oleh karena campur tangan mahasiswa. Namun, pasca 1998 efouria itu masih terbatas pada lingkup kampus, tidak memperluas gerakkan hingga keluar kampus.
Kalaupun kemudian hari ada yang terlibat pada politik praktis di luar kampus, itu lebih pada pilihan pribadi, bukan pada agenda yang lebih universal, tentang perbaikan demokrasi dan posisi lembaga mahasiswa yang merdeka dan otonom. Sementara itu kelompok sosial dan beberapa pihak, seperti beberapa parpol warisan orde baru melakukan penyesuaian politik terhadap situasi yang ada. Tujuannya, tentu tidak lain untuk bisa merebut dan membangun konsolidasi politik yang baru saja di ombrak ambrik oleh aksi kolektif mahasiswa.
Kemudian posisi bumper yang lain, sesekali lembaga mahasiswa menjadi barisan yang mempelopori persekusi terhadap kelompok sosial yang lain, atau pada taraf yang paling praktis menjadi barisan yang seirama dengan kekuasaan. Sekali lagi tentu barisan ini adalah mereka terpelihara oleh kelompok tertentu yang telah memanfaatkan depolitisasi orde baru. Mereka kini menjaga dan ikut mencicipi depolitisasi mahasiswa dengan menghalau gerakan mahasiswa untuk terlibat pada politik mahasiswa yang lebih otonom dan merdeka. Motifnya, dengan mengendarai lembaga mahasiswa sebagai kendaraan politik untuk kepentingan segelintir pihak.
Hal inilah yang kira-kira menjadi salah satu hipotesa yang bisa didiskusikan lebih jauh, tentang agenda politik mahasiswa yang seringkali tidak memiliki posisi tawar yang kuat baik di kampus maupun di luar kampus.
Sunardi
Penulis merupakan penggiat di Lingkar Advokasi Mahasiswa (LAW Unhas)