Akankah pemerintah bergeming atas ‘hujan’ demonstrasi dan hujatan dari mahasiswa demi memperjuangkan Bangsa Indonesia?
Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) direvisi bersama dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana RKUHP yang lain jelang akhir masa kerja DPR 2014-2019.
Alih-alih menguatkan KPK, DPR ternyata dituding sebaliknya. Bukan tidak mungkin hal itu tejadi, melihat calon pimpinan baru KPK yang akan dipilih menggantikan Agus Rahardjo beserta jajarannya menuai kritikan sejumlah pihak, tak terkecuali akademisi.
Dosen dari berbagai fakultas di Unhas menunjukkan rasa simpatinya dengan membuat petisi penolakan revisi UU KPK yang baru. Begitu pun dengan Gerakan Radikal Anti Tindak Pidana dan Korupsi (Garda Tipikor) Unhas yang saat ini dinahkodai oleh Muh Arfan Alqadri. Dalam menunjukkan keresahannya, mereka menggelar aksi.
Aksi pertama berlangsung di depan pintu satu Unhas (2/9/2019), mereka menuntut empat poin sistem pemilihan ketua KPK, yang menurutnya calon pimpinan KPK yang baru berjumlah dua puluh orang itu beberapa di antaranya pernah terjerat kasus.
Kontradiksi terhadap syarat menjadi pimpinan KPK yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 huruf (f), berbunyi, “tidak pernah melakukan perbuatan tercela” dan huruf (g), “cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan reputasi yang baik serta tertib dalam pelaporan harta kekayaan” menjadi alasan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Hukum (UKM FH) Unhas itu menggelar aksi. Tidak cukup dengan aksi di satu tempat, Garda Tipikor Unhas melanjutkannya di Pantai Losari (15/9/2019).
Aliansi Gerakan Merah Peduli Rakyat (Agraria), pun melakukan aksi serupa (Senin, 23/9). Masyarakat masih berharap. Arfandi pengemudi pete-pete misalnya, “Saya masih percaya mahasiswa dalam menyuarakan. Namun sebaiknya lebih teratur, kalau orasi, di bahu jalan saja,” tegasnya.
Aksi lain kembali digelar pada Selasa (24/9). Kala itu, sorak sorai longmars mahasiswa Unhas yang bergerak dari pintu satu menuju Gedung DPRD Provinsi Sulsel, menghampiri rekan-rekannya dari universitas lain se-Makassar yang telah tiba lebih dulu.
Di bawah payung BEM-U dan Agraria, mereka dengan semangat menyanyikan lagu Mars Unhas dan Buruh Tani untuk menyemarakkan aksinya.
Saat rombongan mahasiswa Unhas tiba di flyover, belum sempat mereka menyerukan aspirasi, tembakan peringatan yang bersumber di barisan mahasiswa paling depan terdengar. Kocar kacirlah mahasiswa dari beragam almamater sembari terus dihujani gas air mata dari aparat.
Sebuah mobil polisi yang terparkir di bahu flyover menjadi bulan-bulanan massa, hujan batu dari atas jembatan merusak kaca dan badan mobil.
Sempat dipukul mundur, mahasiswa kembali mencoba merapatkan barisan di Gedung DPRD. Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Unhas, ditemani Wakil Rektor III Universitas Bosowa melakukan pertemuan dengan Kapolda Sulsel dan Wakil DPRD untuk mencari solusi dari aksi hari itu.
Syaharuddin Alrif, selaku Wakil DPRD Provinsi Sulsel menemui mahasiswa dan berjanji melanjutkan aspirasi mereka.
“InsyaAllah besok pagi, pukul 08.00 atau 10.00 Wita saya akan menyampaikan aspirasi teman-teman ke pusat,” janjinya (Selasa, 24/9).
Ternyata aksi mahasiswa se-Kota Makassar tidak berakhir sampai di situ, mereka kembali turun ke jalan pada Rabu (30/9).
Membawa delapan tuntutan, mahasiswa Unhas bergerak menuju kantor DPRD lagi. Berbeda dengan aksi sebelumnya, aksi kali ini berlangsung tertib. Petinggi DPRD turun menemui mahasiswa dan bertanda tangan di atas materai 6000 yang berisi persetujuan untuk meneruskan aspirasi mahasiswa ke tingkat pusat.
Merespon aksi tersebut, Pimpinan Perguruan Tinggi Se-Makassar mengadakan pertemuan di Ruang Rapat A Lantai 4 Gedung Rektorat Unhas (Selasa, 1/10). Pertemuan yang dipimpin langsung oleh Rektor Unhas, Prof Dr Dwia Aries Tina Pulubuhu MA itu, sebagai bentuk kepercayaan para nahkoda universitas kepada aksi mahasiswa.
“Jika kita amati, apa yang dituntut mahasiswa pada dasarnya merupakan aspirasi yang mewakili kepentingan rakyat,” ungkap Dwia.
Gerakan mahasiswa yang menuntut reformasi berlangsung terus menerus di berbagai daerah. Peran mahasiswa sebagai agen perubahan, kontrol sosial, agen penerus, dan penggerak moral nyatanya telah terpenuhi melalui aksi ini. Selain mampu menyatakan sikap dengan tegas tentang kebijakan pemerintah yang melenceng, pemerintah pun akhirnya merespon tuntutan mereka.
Seperti yang dimuat di berbagai media tanah air, Ketua DPR, Bambang Soesatyo menunda pengesahan RUU KUHP dan RUU Permasyarakatan. Namun, penundaan itu belum menjadi jawaban permasalahan, mahasiswa menuntut presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang hingga saat ini masih ditimbang oleh Presiden Jokowi.
Tim Lipsus