Pernahkah disadari bahwa kita tidak lagi memiliki perasaan skeptis yang sehat terhadap para pakar? Entah mengapa kita dengan aktif membantah pakar tanpa alasan yang jelas. Kita bukan berpikir semua orang sama pintarnya dengan yang lain; kita berpikir kitalah yang paling pintar. Dalam buku berjudul “Matinya Kepakaran” ini mengajak kita –sebagai pembaca− untuk mencari informasi dari sumber yang tepat demi kebaikan diri sendiri dan orang lain.
Sang penulis, Tom Nichols memotret realita tersebut. Era teknologi dan komunikasi modern bukan hanya menciptakan lompatan, melainkan memberi jalan dan bahkan memperkuat kekurangan umat manusia dalam bidang pengetahuan.
Buku ini tidak mengatakan bahwa matinya kepakaran disebabkan oleh internet semata. Namun, kehadiran internet cukup menjelaskan masalah tersebut.
Sang penulis secara pribadi mengisyaratkan dengan adanya buku ini mampu menjembatani kerenggangan antara pakar dan orang awam yang bahkan mampu memporak-porandakan kelangsungan demokrasi bersama. Betapa tidak, dewasa ini adalah masa yang berbahaya. Belum pernah begitu banyak orang memiliki akses ke berbagai pengetahuan, namun sayangnya enggan untuk mempelajari apapun.
Matinya kepakaran bukan berarti kemampuan para pakar, tapi itu merupakan ketergantungan kepada pakar sebagai teknisi semata. Penggunaan pengetahuan yang sudah mapan menjadi kenyamanan siap pakai, sesuai kebutuhan, dan hanya bila diinginkan. Bahkan di dalam buku ini tertulis, tidak sedikit dari pernyataan kepakaran yang menimbulkan ledakan kemarahan dari golongan tertentu.
Meski di sisi lain, buku tersebut juga menuliskan perihal matinya kepakaran sebagai tanda kemajuan. Ketika rahasia hidup tidak lagi tersembunyi dalam makam kuno dan perpustakaan besar yang hanya segelintir orang mengunjunginya.
Perubahan sosial dalam setengah abad terakhir telah menghancurkan berbagai sekat, terlebih sekat antara warga tidak berpendidikan dan sekelompok pakar. Namun, tidak bisa lagi dipungkiri bahwa lingkaran debat yang lebih besar bukan hanya menghasilkan banyak pengetahuan, pun gesekan sosial. Hasil interaksi tidak lagi penghormatan yang lebih besar kepada pengetahuan, melainkan tumbuhnya keyakinan rasional bahwa semua orang sama pintarnya.
Membaca buku ini, kita seolah disadarkan bahwa kenyataannya kita tidak dapat berfungsi tanpa mengakui batas pengetahuan kita dan percaya keahlian orang lain. Terkadang, kita memungkiri hal tersebut karena merendahkan rasa kemandirian dan otonomi, namun hal ini tentu berbahaya tatkala telah menjadi ciri bersama dalam kehidupan bermasyarakat.
Apakah pengetahuan kini semakin terancam daripada lima puluh atau seratus tahun yang lalu? Buku ini menjawab pertanyaan tersebut. Tertulis dalam buku Matinya Kepakaran bahwa masalah yang terjadi adalah kita mampu mendengar mereka –para pakar− semua. Seiring dengan beragam pencapaian manusia menjadi bidang pengetahuan para profesional, pertentangan semakin tajam.
Satu yang membedakan orang awam dan pakar, yaitu kemampuan atau bakat alami. Bakat tersebut ditegaskan Tom Nichols sebagai hal yang mampu membedakan antara mereka yang memiliki sertifikat dan orang-orang lain yang memiliki pemahaman mendalam.
Lalu, seiring berjalannya waktu, pengalaman akan membantu memisahkan para pemilik sertifikat dengan mereka yang tidak kompeten. Menilik sebuah fakta bahwa setiap bidang memiliki ujian berat dan tidak semua orang mampu bertahan, itulah mengapa pengalaman di bidang tertentu menjadi penanda untuk keahlian.
Patut disedihkan bahwa kekurangan metakognisi menghasilkan lingkaran setan, yaitu ketika orang yang tidak paham mengenai suatu isu berbicara soal hal-hal yang berada di luar kemampuannya dengan seorang pakar dalam bidang tersebut. Perdebatan tidak terelakkan, pakar merasa frustasi dan orang awam merasa terhina.
Keduanya pergi dengan perasaan marah. Dengan kata lain, semakin tidak kompeten seseorang, semakin dia tidak tahu ketika dia salah atau orang lain benar, semakin dia berusaha berpura-pura, dan semakin tidak mampu mempelajari apapun.
Buku yang berjudul asli “The Death of Expertise” ini diterbitkan pada tahun 2017. Buku ini menyadarkan kita sebagi pembacanya untuk mengaku bila tersesat.
Sehubungan dengan hanya sedikit diantara kita yang mengaku saat tersesat dalam pembicaraan, hal tersebut harus ditindaklanjuti. Betapa tidak, orang-orang kini membaca sekilas berita dan artikel dan membagikannya di media sosial tanpa benar-benar membacanya. Walaupun demikian, karena ingin dianggap cerdas dan memiliki informasi memadai, kita seringkali berpura-pura mengetahui berita itu dengan sebaik mungkin.
Data buku :
Penulis : Tom Nichols
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : Cetakan I, Desember 2018
Halaman : 320 halaman
Nadhira Sidiki