Mampu menyelesaikan pendidikan di tingkat doktor atau S3 dengan usia masih belia, 26 tahun, tentu menjadi prestise. Itulah yang dialami Dr Miftakhul Hasanah. Perempuan asal Klaten yang lahir, 12 Mei 1993, hijrah ke Makassar demi meraih pendidikan yang lebih tinggi.
Menariknya, karena penelitiannya menyangkut pulau-pulau kecil di perairan Sulawesi, membuatnya terpaksa kadang bermalam di atas perahu.
Gadis berkerudung ini mengaku, cinta adalah motivasi yang menguatkannya untuk bertahan dalam proses studi yang ia lalui. Rasa cintanya terhadap pulau-pulau itu sendiri diakibatkan perasaan nyaman.
“Pulau itu ibarat rumah. Banyak hal yang harus kita bangun. Ketika berada di pulau, saya merasakan kenyamanan. Tapi perlu diingat bahwa kita harus membuat rumah kita layak dan bagus. Untuk melakukan segala sesuatu, kita harus membubuhkan rasa cinta pada setiap detailnya,” jelas Miftah, sapaan akrabnya.
Diawali dari tahap perkenalan, rasa cinta tersebut akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Lalu menguat. “Contohnya saja, ketika kita mencintai sesuatu, tentu akan mengorbankan segalanya bahkan hingga berdarah-darah sekalipun,” ujarnya penuh semangat.
Miftah mengakui, rasa cintanya pada pulau bermula ketika detik-detik terakhir menyelesaikan pendidikan S1-nya pada jurusan Manajemen Sumber Daya Perikanan di Universitas Gadjah Mada. “Saat itu, melaksanakan KKN di Pulau Batunderang, Sangihe, Sulawesi Utara selama tiga bulan lamanya, rasa cinta itu muncul sedikit demi sedikit,” ungkapnya.
Dari penelitian di pulau ini, membuatnya meraih gelar S1 dengan nilai terbaik. Dia pun mendapat beasiswa Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) yang membawanya untuk merampungkan S1, S2, dan S3 dalam jangka waktu empat tahun lamanya. Hal tersebut sungguh menguntungkan bagi Miftah, karena program tersebut ia menyelesaikan studi S2 selama setahun dan S3 selama tiga tahun.
“Beasiswa PMDSU ini berbeda, saya tidak akan mendapatkan ijazah strata dua. Namun, saya diarahkan untuk langsung merangkumkan disertasi dan mendapatkan ijazah strata tiga. Kebetulan saya adalah lulusan terbaik UGM tahun 2015 dan mendapatkan tanda tangan rektor sebelum wisuda,” terang Miftah.
Lalu, katanya lanjut, ketika lulus S1 dan menerima beasiswa PMDSU untuk program S2 dan S3, dia memilih Univeristas Hasanuddin. Diakui, beasiswa PMDSU yang diterima Miftah bukan tanpa syarat. Dengan berbekal lulus S1 dengan Indeks Prestasi Komulatif (IPK) 3.88 dengan masa studi tiga tahun sepuluh bulan dan beberapa syarat lainnya.
Di Unhas, Miftah mengambil Prodi Ilmu Perikanan dengan konsentrasi Manajemen Pengolahan Ikan Karang Hidup Konsumsi (kerapu) yang diperdagangkan di wilayah coral triangle Indonesia Timur.
“Mengambil topik penelitian ini, perlu perjuangan panjang. Begitu juga dengan riset mengenai ikan kerapu. Saya harus baca ratusan bacaan jurnal internasional. Itu juga atas saran dari salah seorang dosen Ilmu Kelautan Unhas, Dr Inayah Yasir MSc,” ungkap Miftah.
Soal ikan kerapu ini, Miftah mengatakan, memiliki banyak kelebihan. “Sebagai ikan prestise untuk masyarakat China, harganya tinggi serta dapat menjadi tumpuan hidup ekonomi masyarakat pulau,” ujarnya.
Ide tersebut berlanjut dengan proyek Asian Development Bank yang diikuti Miftah. Kerja sama tersebut tidak lain membahas tentang proyek pengelolaan ikan kerapu hidup untuk menyusun naskah akademik yang akan ditujukan ke pihak kelautan dan perikanan.
“Dari situ saya mulai belajar, berangkat ke berbagai pulau. Saya meneliti dari sejarahnya perdagangan ikan kerapu, nelayan siapa aja, siapa yang berdagang, entah itu pedagang dari Hongkong yang datang ke Indonesia, pola pengangkutan ikan dari kapal ke pesawat sampai ke tahap di mana ikan itu dijual dan bagaimana regulasi dan konfirmasi ke pemerintahan Hongkong,” beber Miftah.
Kesuksesan Miftah perihal penelitiannya terhadap ikan kerapu hidup tidak terlepas dari andil para tokoh hebat di belakangnya. Mereka ialah Prof Dr Ir Jamaluddin Jompa MSi, dosen Ilmu Kelautan Unhas dan Heru Purnomo, pemimpin UD Pulau Mas.
Gadis yang menyarankan pukul tiga pagi sebagai waktu yang sesuai untuk belajar, tak lupa pula mengaitkan segala aktivitasnya terhadap doa orang tua. “Kita itu harus menjalin hubungan dekat dengan orang tua, karena sejatinya restu orang tua adalah restu Allah,” imbuhnya.
Dalam perjalanannya mengunjungi berbagai pulau dan laut di Indonesia, gadis yang telah menerbitkan tiga jurnal ilmiah tersebut mengaku pernah dibajak para bajak laut. “Saya pernah diserang bajak laut di Fak-fak Papua. Tepatnya tahun 2017. Kala itu penjaga hanya dua orang laki-laki dan satu perempuan. Dan perempuan itu aku. Pembajak itu pakai penutup mata, tapi tidak sekeren di film-film. Aku dibawa ke pulau lain. Semua barangku hilang semua. Sementara yang laki-laki, ada yg luka karena melawan tapi semuanya terikat tali,” jelasnya.
Miftah sendiri menyarankan, betapa pentingnya pendidikan bagi anak pesisir. Ia bahkan menyampaikan berencana membuat kapal pengolahan ikan yang dapat digunakan untuk para nelayan.
Nadhira Sidiki