Seperti yang kita ketahui, wabah penyakit Covid-19 terlah berlangsung kurang lebih selama enam bulan telah menyerang hampir seluruh negara, termasuk Indonesia. Berbagai kebijakan diterapkan untuk memitigasi penyebaran virus tersebut dan juga menjaga perekonomian Negara. Konsekuensi atas kebijakan lockdown maupun PSBB(Pembatasan Sosial Berskala Besar) adalah lesunya perekonomian yang merugikan baik produsen dan juga konsumen.
Menurut International Monetary Fund (IMF) 2020, pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan mencapai negatif tiga persen akibat pandemi Covid-19. Akibat keadaan ini, beberapa negara mulai menerapkan New Normal yang dianggap sebagai upaya memulihkan perokonomian pasca pandemi. Lantas bagaimanakah sebenarnya konsep New Normal? Akankah ini menjawab masalah ekonomi yang terdampak adanya pandemi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Reporter identitas, Urwatul Wutsqaa mencoba melakukan Wawancara khusus dengan Seorang Pakar Ekonomi, Dr. Sanusi Fattah melalui WhatsApp, Jum’at (12/6), berikut kutipan wawancaranya:
Bagaimana menjelaskan konsep New Normal secara sederhana?
Sebenarnya kondisi saat ini bisa kita analogikan ketika sedang duduk bersama teman-teman, kemudian ada yang kentut. Maka yang akan kita lakukan adalah mencegah, salah satu caranya menutup hidung/tahan napas. Ini sama kondisinya dengan lockdown/PSBB ini, dengan adanya kondisi berbahaya diluar sana kita sebenarnya sedang menahan napas. Yang jadi pertanyaan, berapa lama menahan napasnya? Kalau kelamaan kan bisa mati juga. Kalau PSBB kelamaan, maka akan berdampak pada ekonomi.
Karena kita tidak tahu kapan corona ini akan berakhir, maka penerintah harus mengambil langkah dengan menimbang resikonya. Maka diperkenalkanlah konsep New Normal atau biasa disebut kenormalam baru. Jika dianalogikan dengan menahan napas tadi, kondisi New Normal menggambarkan bernapas secara pelan-pelan dengan tetap menghindari bau yang tadi. Jika dilihat secara realitas, New Normal itu artinya upaya untuk kembali seperti sebelum corona.
Beberapa negara dengan kasus Covid-19 yang sudah menurun telah menerapkan New Normal. Bagaimana tanggapan anda terkait kebijakan pemerintah yang akan menerapkan New Normal di Indonesia dengan penambahan kasus yang masih sangat banyak?
Dari analogi tadi, kita bisa melihat berapa lama orang dapat menahan napas? Tentu itu beda-beda. Negara pun juga begitu. Indonesia, thailand, malaysia tentu beda-beda. Sekarang Indonesia, berapa lama bisa bertahan supaya tidak tepar?
Karena kita tidak tahu kapan corona ini akan berakhir, maka penerintah harus mengambil langkah dengan menimbang resikonya. Maka ditetapkanlah New Normal ini sebagai upaya pemulihan ekonomi. Meskipun konsep ini bukan untuk diterapkan dalam skala nasional. Jadi keadaan yang dijalani sekarng ini belum bisa disebut New Normal, tetapi kita sedang mempersiapkan keadaan untuk menuju New Normal.
Bagaimana kondisi ideal suatu negara agar bisa menerapkan New Normal?
Jika ditanyakan bagaimana kondisi ideal, suatu negara baiknya melakukan New Normal jika sudah terjadi penurunan jumlah kasus dan tidak ada lagi penambahan kasus dalam kurun waktu tertentu. Namun beda halnya dengan Indonesia, karena kondisi tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Maka pemerintah mengambil langkah untuk mempebaiki kondisi ekonomi negara. Ada beberapa indikator suatu negara bisa menerapkan New Normal, setidaknya terjadi penurunan jumlah kasus positif selama dua minggu sejak puncak pandemi sebesar 50% serta ketika angka reproduksi efektif virus <1.
Seberapa signifikan, penerapan New Normal ini dapat memulihkan kondisi perekonomian?
Jika scenario penerapannya berjalan dengan baik, maka New Normal bisa memulihkan perekonomian hingga 85 persen.
Seperti yang diketahui bersama, penerapan PSBB di Indonesia telah berimbas pada banyak pedangang kecil dan pelaku UMKM, apa langkah yang seharusnya dilakukan masyarakat menyusul kebijakan New Normal tersebut?
Dengan adanya PSBB membatasi orang untuk bergerak, pekerja sektor informal, penarik ojek hanya bisa mendapatkan pendapatan kalau bekerja, tidak bisa bekerja dari rumah. PSBB ini tentu mempengaruhi pekerja sektor informal. Adanya wabah ini setidaknya menimbulkan dua ancaman, yang pertama yaitu ancaman kesehatan, ancaman pendapatan, dan tentunya menurunkan daya beli. UMKM juga berpengaruh, pastinya akan berpengaruh kemampuannya jika dia punya kredit. Kalau usaha mandek, dia tidak bisa membayar kewajibannya, dan mengakibatkan macet kredit. Maka dari itu pemerintah harus turun tangan dalam hal ini. APBN bisa direlokasi untuk membantu para pekerja sektor Informal yang terdampak.
Lantas bagimana dampak ekonomi yang akan timbul jika pmerintah tidak mengambil kebijakan penerapan New Normal ini?
Kita di Indonesia hanya punya 3 skenario untuk menghadapi pandemi ini. Yang pertama, jika bisa diatasi pada Juni, maka kita sudah bisa melakukan recovery ekonomi pada 2021. Jika berlanjut sampai Agustus, kwartal ketiga, maka akhir 2020 rudah ada resesi ekonomi. Kalau berlanjut sampai November, maka pada 2021 akan terjadi resesi ekonomi. Resesi ekonomi (pelemahan ekonomi yng drastis)adalah keadaan dimana kondisi ekonomi terus mengalami penurunan, banyak pengangguran, pertumbuhan ekomnomi rendah, serta inflasi tinggi. Jika kondisi ini tersebut dibiarkan dan tidak segera diatasi, maka kemungkinan yang terparah adalah akan terjadi krisis ekonomi.
Data Diri :
Nama Lengkap : Dr. Sanusi Fattah, SE., M.Si.
Tempat/tgl lahir : Mendahara, 13 April 1969
Pendidikan:
Sarjana, FE-Universitas Hasanuddin, Makassar, 1993
Master, PPS-Universitas Hasanuddin, Makassar, 1997
Doktor, PPS-Universitas Padjadjaran, Bandung, 2005
Post-Doctoral, Melbourne University, Australia, 2008
Academic Recharging, Georgia State University, USA, 2010
Pengalaman Kerja :
Konsultan pada Center for Empowering for Commercial Law and Economics (CCLE) Bali, 2000-2002;
Konsultan pada Center for Empowering Legislative Drafting (CELD) Makassar, 2000-2002;
Konsultan pada Center for Local Government Innovation (CLGI), Jakarta, 2001-2002;
Konsultan pada Center of Regional Economic Research (CoRNER), Makassar, 2005-sekarang;
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi FEB-UNHAS, 2018-Sekarang