“Orang-orang dewasa di Tompotikka hanya punya dua cara mendidik. Menghalangi semua rencana kami atau menghukum kami bila melanggar aturan.”
Begitulah salah satu kutipan dari buku berjudul “yang Tersisa dari yang Tersisa.” Di dalam buku setebal 183 halaman itu diceritakan kehidupan sebuah desa yang ditinggalkan penduduknya agar mendapat kehidupan yang layak.
Angan saya sontak mengingat penduduk di kampung halaman yang masih menjunjung tinggi nilai gotong royong, sehingga tercipta harmonisasi di dalamnya. Di Dusun Tappina, Kabupaten Polewali Mandar. Banyak penduduk memilih hengkang dari kampung dengan alasan yang sama. Sebagian dari mereka memilih membawa anaknya, sisanya lagi menitipkan ke kerabat terdekat. Ada pula yang keluar desa untuk mengenyam pendidikan. Kampung nan ramai, perlahan senyap seiring dengan fenomena yang sering disebut merantau.
Termasuk saya, di usia belia memilih pergi dari desa demi menimba ilmu di ibu kota provinsi. Memang betul, berat rasanya meninggalkan tempat yang penuh dengan kenangan masa kecil.
Setelah delapan tahun, tepatnya saat saya semester tiga di perguruan tinggi, saya baru kembali ke kampung halaman untuk waktu yang cukup lama. Semua terasa berbeda dan asing, tidak seperti di tempat saya mengenyam pendidikan, pemuda aktif berkegiatan.
Lain sekali dengan kondisi di kampung saya. Pemuda di sini tidak memiliki ruang untuk berkegiatan. Mereka tidak difasilitasi oleh pejabat desa. Masyarakat juga tak percaya dengan kemampuan pemuda.
Bahkan untuk sekadar membentuk kelompok olahraga saja, pemuda tidak mendapat dukungan, baik dalam bentuk material maupun finansial. Saat momen kemerdekaan tujuh belas Agustus, pemuda tidak pernah dipercayakan untuk membuat kegiatan. Naasnya pemerintah daerah hanya membutuhkan nama dan tanda tangan anak muda untuk dijadikan bahan pertanggungjawaban ke pemerintah pusat.
Semenjak itu, anggapan terhadap masyarakat yang harmonis buyar. Saya menyadari ada banyak hal janggal dan tak seharusnya dibiarkan. Anak muda sering disepelekan saat ingin mengambil peran.
Hal ini dirasakan oleh pemuda di sana. Tapi mau bagaimana lagi, mereka tak dapat berbuat banyak, karena dianggap bocah ingusan. Sebagai gantinya, pemuda ramai-ramai banting setir menjadi buruh tani demi melanjutkan hidup.
Saya melihat sosok Amir yang diceritakan dalam buku Nurhady Sirimorok pada diri pemuda kampung. Amir bersama ketiga temannya dipandang sebelah mata karena kebiasaannya di desa, yang cuma nongkrong. Geng Jarum Super, begitu mereka disebut hanya sesekali dipanggil jika ada lomba antar desa.
Tidak ingin dipandang sebelah mata, Amir dan kawannya mengajukan diri menyelesaikan babi hutan yang selalu merusak hutan. Berbagai cara dilakukan, seperti mengajak masyarakat untuk turun bersama hingga menggunakan anjing pelacak.
Sayangnya, gerakan mengusir babi hutan ini tak berlangsung lama. Personil Geng Jarum Super satu persatu pergi dari desa karena terhimpit masalah ekonomi. Ditinggal sendiri, Amir tak kehabisan akal. Ia tetap berusaha menyakinkan masyarakat desa untuk tidak menyepelekan peran pemuda. Ide cemerlang muncul, Amir menjerat babi dengan menggunakan tali kopling. Permasalahan selesai dan namanya dikenal seantero desa.
Kita semua bisa menjadi Amir dalam menghadapi permasalahan di lingkungan sekitar. Sikap tidak mudah menyerah harus dimiliki generasi muda. Begitupun yang seharusnya dilakukan pemuda di kampung saya. Mereka tak semestinya berdiam menyaksikan berbagai kekeliruaan yang ada. Pemuda sebagai agen perubahan, pembaharuan dan pembangunan seharusnya memiliki semangat juang yang tinggi.
Pemuda harus berani mengambil sikap untuk menunjukkan potensi yang dimiliki, tak menunggu waktu menjadi dewasa dalam menyelesaikan permasalahan. Setiap orang punya kesempatan untuk membangun daerahnya. Saat ada permasalahan, jangan malu untuk maju memberi ide. Meski belum tentu didengar dan diterima, kita harus terus berjuang menyampaikan aspirasi. Karena pemuda merupakan pelanjut tongkat kepemimpinan bangsa ke depan.
Bung Karno, pendiri bangsa kita saja percaya dengan kemampuan pemuda. “Berikan aku seribu orangtua, niscaya akan ku cabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan ku guncangkan dunia”. Tugas pemuda tentunya semakin berat, tapi perilaku yang tak mudah menyerah harusnya dijunjung tinggi untuk bisa bertahan hidup di era digital yang semakin berkembang.
Badaria