Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pecinta Alam Recht Faculteit (Carefa) Unhas menggelar webinar bertajuk “Masa Depan Lingkungan Hidup Indonesia” melalui Zoom, Sabtu (23/01). Kegiatan ini turut dihadiri oleh Akademisi Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair), Franky Butar-Butar SH MDev Prac LLM.
Pada kesempatannya, ia meninjau kembali Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker) dari pandangan hukum lingkungan hidup. Hukum lingkungan hidup itu sendiri ialah hukum yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan hidup.
Franky menambahkan, bilamana hukum tersebut dilanggar akan membuahkan sanksi. “Manusia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup. Alam bahkan hewan-hewan diciptakan terlebih dulu, manusia yang diciptakan belakangan harus menyesuaikan,” tegasnya.
Ia juga mengatakan, permasalahan lingkungan hidup dapat mencakup pencemaran air dan udara, kerusakan alam, serta kerusakan yang disebabkan oleh proses industri. Sebut saja pada industri pertambangan, jika dikelola tanpa memperhatikan aspek lingkungan akan berakibat buruk.
“Limbah industri pertambangan secara tidak langsung dapat mencemari udara, air, dan tanah. Selain itu, menyebabkan kerusakan struktur alam jika mengeruk tanah terlalu dalam hingga meledakkan gunung,” jelasnya.
Kemudian, Franky menekankan pada salah satu substansi dari Undang-Undang Pasal 33 ayat (4), yakni demokrasi ekonomi berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Sebagai dasar perekonomian Indonesia, pemerintah dan stakeholder harus mematuhi pasal tersebut dalam berkegiatan ekonomi.
Lebih lanjut, Franky menilai UU Ciptaker mendatangkan aksi sebaliknya, yakni pro investor dan berorientasi pada ekonomi yang merugikan lingkungan atau kawasan pertambangan. Hal itu dikarenakan ketiadaan aturan jaminan pada perubahan pemanfaatan kawasan.
“Apabila kawasan tersebut rusak, pemanfaatannya tidak dapat dialihkan. Kemudian, dihilangkannya hak masyarakat untuk dapat mengajukan permohonan perhentian sementara sehingga ketidakmampuan pengajuan keberatan bila terjadi kerusakan tambang,” terangnya.
Pada akhir kesempatan, Franky menyebutkan pertambangan mulai merambah ke laut, ketika tanah sudah terkeruk habis. “Beberapa riset mengatakan, tambang-tambang di bawah laut jauh lebih bernilai. Dalam hal ini, penting untuk menyeimbangkan antara lingkungan, ekonomi, dan sosial,” tegasnya.
M206
BACA JUGA: Omnibus Law dalam Pandangan Civitas Akademika Unhas