Teruntuk: 一夜
Sekiranya baru aku sadari
Bahwasanya keheningan itu merambat
Tak ada siapapun yang berlagak
Pada panggung sandiwara
Belum lagi ada narasi dilakonkan
Dan kau pun pun sadar
Jika keheningan itu merambat
Yang tersisa tinggallah daun-daun
Menyambut takdir bersama angin
Berlagak seolah mereka kehidupan
Dan kicau burung-burung menyadarkan
Bahwa lakon mereka belum lengkap
Tanpa alunan musik pengiring
Merekalah sesungguhnya abadi
Pohon-pohon akan tetap tumbuh
Tunas-tunas baru akan bermunculan
Meski seringkali daun-daun berguguran bahkan habis
Laksana kenangan yang menyeruak
Yang membuatmu hidup, disaat yang sama kau mati
Pohon-pohon tak akan bersedih
Meski daun-daun meninggalkannya
Pergi mengembara bersama angin
Menari-nari dalam panggung sandiwaramu
Kaulah yang mati
Merekalah sesungguhnya abadi
Sekiranya kau belum terlambat
Jika seorang dari balik panggung itu
Bersedia mengisi keheningan yang merambat itu
Mencoba menjadi seorang peran yang penting
Untuk kau tertawakan sebagai pelipur
Sebelum akhirnya kau bosan dan menjadi jahat
Lalu menyaksikan seorang itu mati dalam peran
Dan kau mencari panggung sandiwara lain
Untuk kemudian kau tertawakan lagi
Tatkala tirai telah menutup
Kau dapati dirimu menjadi rakus
Dan sekian banyak hati yang kau patahkan
Menjadikan mu sebagai
“Perempuan terhebat yang pernah diceritakan”
Makassar, Oktober 2020
Penulis, Achmad Fudail,
Mahasiswa Departemen Sastra Jepang,
Fakultas Ilmu Budaya Unhas,
Angkatan 2017.
Baca Juga: Perempuan Malang