“Jika aku melompat, apa aku akan bebas?”
“Jika kau melompat, maka kau akan mati.”
Aku tertegun kaget melihat seorang gadis remaja dengan piyama merahnya, berdiri menghadap laut, di luar pagar pengaman mercusuar. Langkah kecilnya perlahan membawanya semakin dekat ke tepian mercusuar. Meskipun langkah kecil itu terlihat ragu-ragu, kusimpulkan kalau ia berniat melompat dan mengakhiri hidupnya. Sekuat tenaga aku berlari segesit mungkin, berharap bisa mencapainya sebelum ia menjatuhkan diri dan tewas di atas tajamnya batu karang.
“ Kumohon, berhenti…berhenti, jangan melompat!” Teriakku kewalahan sambil mencoba memanjat pagar besi sepinggang itu. Terkejut melihatku yang tiba-tiba muncul entah dari mana, ia sempat terdiam menatapku dengan tatapan menyedihkan. Mata sipitnya yang bengkak tetap deras dialiri air mata, rambut panjangnya berantakan tertiup angin .
“Kemarilah, jangan mundur lagi. Ayo kita bicara dulu!” Ketika aku mencoba membujuknya, ia hanya menutup rapat bibirnya seakan tidak ingin menjawabku. Ia menggeleng kencang, menarik napas panjang, mengambil langkah mundur terakhir yang sukses menjatuhkannya. Aku yang hanya berada satu langkah di depannya, dengan sigap menangkap lengannya, membuatku ikut tertarik hingga tersungkur di tepi mercusuar. Kulit lengannya yang putih dan lembut itu kini terbalut darah karena kukuku yang tidak sengaja melukainya.
“Lepaskan aku!” pintanya.
“Tidak sebelum kita bicara.” Dengan kedua tangan, kutarik tubuh mungilnya untuk naik kembali ke tepi mercusuar.
Ia tidak banyak melawan, kupikir ia khawatir jika aku nantinya juga ikut jatuh bersamanya. Kupeluk ia erat-erat, menuntunnya duduk menyandarkan diri pada pagar besi karatan di belakangku.
Ia berusaha mengatur napas, hingga akhirnya dengan kesal pada perbuatanku. “Hal penting apa yang sangat ingin kau bicarakan dariku?” tanyanya yang menurutku sangat tidak sopan untuk aku yang lebih tua darinya.
“Aku akan mendengar semua apa yang ingin kau ceritakan,” rayuku lembut, mencoba meluluhkan hatinya.
“Apa kau seorang peri yang akan mengabulkan permintaanku kalau aku bercerita?” Nada bicaranya meninggi.
“Bukan, tapi aku akan berusaha. Setelah kita bicara, aku tidak akan menghalangi apapun yang ingin kau lakukan. Aku janji,” imingku.
Dengan sabar aku menunggu keputusannya, jeda kecanggungan itu berlalu cukup lama. Angin laut pukul dua pagi yang dingin berembus ke laut menerbangkan rambutnya hingga menyembunyikan wajahnya. Seperti ia yang masih tetap menyembunyikan alasannya dariku.
Ia menghela napas panjang sembari memeluk erat lututnya. Hening di antara kami berlangsung cukup lama sampai akhirnya ia memutuskan untuk bercerita, “Aku benci mereka!” mendengar kalimat itu terucap dari bibir tipisnya, aku yang duduk bersila di sebelah kirinya sontak menoleh ke arahnya.
“Siapa mereka?” tanyaku.
“Geng cewek-cewek di kelasku, mereka benar-benar menyebalkan. Mereka seperti iblis, merebut semua yang kumiliki. Termasuk orang yang aku sayangi.” Ia memeluk lututnya semakin erat.
“Itu benar-benar kejam.”
“Iya, aku dan Heri sudah bersahabat sejak masih kecil. Meskipun kami saling menyukai, kami tidak punya hubungan yang istimewa. Kami sangat dekat, Heri adalah orang yang sangat mengerti diriku, dia sosok laki-laki yang sempurna bagi orang-orang yang mengenalnya. Itulah yang membuat mereka iri, hingga melakukan berbagai cara untuk memisahkanku dari Heri.”
“Dan mereka berhasil?” tanyaku memastikan.
“Iya, ketika mulai memasuki semester keduaku, Heri mulai menjauhiku. Ia tak lagi ingin belajar bersamaku, ia selalu menolak ajakanku, dan untuk pertama kalinya, ia membentakku hanya karena aku selalu mengganggunya. Hatiku benar-benar sakit ketika aku tahu kalau Heri berpacaran dengan salah satu dari mereka. Ketika aku terus mencoba merebut Heri kembali, tetapi mereka berpikir kalau aku ingin memisahkan Heri dengan pacarnya.” Aku mendengar ceritanya dengan seksama.
“Sejak saat itu, mereka mulai merundungku terang-terangan. Mereka menghasut semua orang hingga tidak ada lagi yang ingin berteman denganku. Mereka mempermalukanku, memfitnahku, menjambak rambutku, mengambil uang jajanku, merusak barang-barangku, bahkan mengunciku di toilet. Itu rutinitas mereka selama empat bulan ini.” suaranya mulai parau, air matanya semakin deras membasahi pipi tirusnya yang terbenam di antara kedua lututnya . Aku mencoba merangkulnya, menyandarkan kepalanya di pundakku.
Sungguh tidak bisa kupercaya, hanya karena alasan bodoh seperti itu ia ingin mengakhiri hidupnya. Hatiku bergejolak kesal, tetapi aku tidak bisa memarahinya. Ia masih kelas satu SMA, umurnya paling tidak tujuh tahun lebih muda dariku. Masih banyak yang harus ia lalui dari pada berakhir di mercusuar tua ini. Ekspresinya yang sangat menyedihkan itu membuatku muak.
“Apa itu alasanmu ingin mengakhiri hidupmu? Apa hanya karena itu?”
“Apakah kau mengerti bagaimana rasanya?!!” Ia membentak tanpa menatapku.
“Lebih dari siapapun!” teriakku membungkamnya. “Lalu setelah kau mati, apa yang akan kau lakukan?” aku menarik pipinya pelan, memaksanya menatap mataku.
“Aku menulis sepucuk surat di meja belajarku. Mama dan papa akan menemukannya besok pagi, dan memberi tahu semua orang kejahatan yang mereka lakukan padaku.”
“ini bukanlah tindakan yang tepat. Jika kau mati, mungkin mereka akan disalahkan banyak orang, tapi itu tidak akan lama. Mereka bisa pindah sekolah, mengganti nama, hidup bahagia dan melupakanmu yang sudah mengorbankan hidupmu hanya untuk mempermalukan mereka.” Nada bicaraku sedikit meninggi. “Setelah Heri, apakah kau rela membiarkan mereka merebut hidupmu?” Sejenak ia tertegun, seperti mulai mempertimbangkan keputusannya.
Aku menggapai lembut lengan kirinya yang masih meneteskan darah, “Apa ini sakit?”
“Lumayan,” jawabnya singkat.
“Menurutku kau tidak perlu sampai mengakhiri hidupmu. Coba pikirkan ini, ketika kau pulang ke rumah, aku yakin mama dan papamu yang akan khawatir karena luka di lenganmu. Mereka dengan penuh cinta, akan merawat lukamu hingga sembuh. Jangankan luka di lenganmu, mereka pasti mampu menyembuhkan luka dihatimu. Masih akan selalu ada sarapan hangat tersedia di atas meja makan. Kau harus bersyukur masih memiliki orang yang mengkhawatirkanmu, mereka sangat berharga. Sekarang pikirkan, apa kau tega melukai hati mama dan papamu hanya demi membalas mereka?”
Wajahnya murung dalam renungnya, tak lama kemudian menyumpal mulutnya dengan kedua tangan, “Apa yang sudah aku lakukan? Kenapa aku berpikir sependek ini,” ucapnya menyesali perbuatannya. Ia memelukku erat, “Terima kasih sudah menyadarkanku, aku merasa lebih baik sekarang. Aku harus segera pulang dan merobek surat itu sebelum mama dan papa menemukannya,” ucapnya buru-buru berlalu. Gema suara kakinya menapaki tangga semakin kecil kemudian menghilang, meninggalkanku bersama angin laut yang tak henti-hentinya meniup kuping.
“Sudahlah, biarkan saja” ujarku berbicara sendiri.
Kini tidak ada lagi seorangpun di sini. Selamat tinggal dunia, kini aku bebas melompat.
Penulis: Risman Amala Fitra
Mahasiswa Departemen Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya Unhas
Angkatan 2019
Baca Juga: Skenario