“Hanya ada dua tipe manusia, pemburu atau mangsa”.
Gelap belum pergi semuanya, tetapi seisi desa telah diselimuti teriakan ketakutan dan gertakan. Tentara yang dipimpin Raymond Westerling memporak-porandakan seisi desa, mengumpulkan warga di lapangan dengan todongan senapan. Sang Komandan lalu datang, duduk sambil memanggil nama warga desa yang ada dalam catatannya, lalu mengeksekusinya tanpa ragu.
Itulah potongan adegan kekejaman yang digambarkan dalam De Oost, bahasa Inggris, The East. Film berlatar masa agresi militer Belanda ke Indonesia yang kedua (1946-1947) ini merupakan pertama yang ditayangkan di Amazone Prime Video pada 13 Mei 2021.
Film garapan New Amsterdam Film Company ini disutradarai oleh Jim Taihuttu, pria kelahiran Belanda berdarah Maluku ini telah lama ingin menggarap film yang bertemakan perjuangan kemerdekaan Indonesia, terutama peristiwa pembantaian di Maluku, tanah leluhurnya.
De Oost mengisahkan agresi militer Belanda kedua, yang bertujuan untuk mencegah rakyat Indonesia membangun negara mereka sendiri. Tokoh utama, Johan De Vries, diperankan oleh Martijn Lakemeier, anak dari seorang tokoh National Sozialistische Bond (NSB) atau kolaborator Nazi yang bergabung menjadi salah satu anak buah favorit Raymond Westerling.
Film dibuka dengan adegan Johan yang lempari botol saus oleh para penentang penjajahan yang dilakukan Belanda atas Indonesia. Layar kemudian berganti menayangkan masa lalu Johan selama berada di Indonesia. Salah satu pemimpin Belanda yang menyambut kedatangan tentara muda Belanda yang baru saja bergabung.
“Apa itu membawa kembali perdamaian di Hindia?” teriaknya lantang. Ia mengorasikan Jepang telah meracuni koloninya dan pikiran Soekarno yang dianggap sebagai teroris dan boneka Jepang. Sehingga kedatangan Johan dan kawan-kawan dapat membantu kembali merekolonisasi Indonesia setelah lepas kendali selama 3,5 tahun masa pendudukan Jepang.
Suatu hari ketika sedang berpatroli, Johan melihat salah satu warga lokal yang ditindas oleh tentara Jepang. Raymond Westerling datang dengan mobil jeepnya, langsung menodong rombongan tentara Jepang itu dengan pistol, hingga mereka tak bisa berkutik. Keberanian Raymond membuat Johan terkesan.
Johan kemudian mulai mengikuti Raymond dan menjadikanya mentor. Ia bahkan kerap mengikuti Raymond dalam operasi gelap, hingga bergabung dalam satuan pemberantas teroris yang dipimpin Raymond. Namun, melihat kekejaman yang dilakukan oleh orang yang dikaguminya itu, membuat batinnya memeranginya, hingga ia berani menentang komandannya itu.
Raymond Westerling diperankan oleh Marwan Kenzari, seorang Komandan Pasukan Belanda yang dilahirkan di Istanbul, Turki. Dibalik tujuannya mendamaikan Indonesia, juga digambarkan kekejamannya bagi rakyat yang dibantainya. Hal ini dibuktikan dalam kutipannya jika Indonesia sedang dilanda kekacauan, sehingga hadirnya dapat menstabilkan situasi yang sedang kacau.
“Pemerintah Belanda tidak tahu harus berbuat apa dan orang Indonesia bertempur di antara mereka sendiri. Muslim dengan Kristen, Cina dengan Jawa, Komunis dengan Kapitalis, dan lain-lain. Mereka yang tidak peduli dengan hal itu, hanya mau menanam padinya. Itulah kenapa aku di sini untuk melacak unsur-unsur yang mengganggu perdamaian,” ujarnya dalam Bahasa Belanda pada menit 76.
Selain itu, Raymond Westerling dikenal juga karena memimpin pembantaian besar-besaran yang memakan ribuan korban jiwa, beberapa sumber menyebutkan bervariasi, mulai dari 600, 1700, 3000, bahkan 10.000. Tetapi, peristiwa pembantaian tersebut lebih dikenal dengan peristiwa Korban 40.000 jiwa.
Film yang bertemakan sejarah dengan penggambaran sisi Timur berupa indahnya alam Indonesia, alunan musik dan tarian tradisional, serta citra perempuan melekat dalam benak orang Belanda diangkat dengan sangat eksotis. Hal ini dibuktikan ketika Johan De Vries jatuh cinta pada seorang wanita lokal bernama Gita.
Disebut juga umpatan monyet yang ditujukan pada warga Indonesia kerap kali keluar dari mulut orang Belanda menjadi salah satu poin yang menarik. Hal ini menjadi bentuk rasisme dengan menganggap warga Indonesia belum berevolusi dengan sempurna.
Film berdurasi 140 menit ini menggunakan alur maju mundur dari kehidupan Johan, sehingga cukup membingungkan ketika fokus teralihkan. Unsur kekerasan, kata yang tidak pantas, dan adegan dewasa, banyak terkandung dalam film ini, sehingga sebaiknya tidak ditonton oleh anak di bawah umur.
Peristiwa masa lalu digambarkan secara gamblang dalam film ini. Sudut pandang kacamata Belanda yang disajikan seakan memberikan pandangan yang netral tentang situasi yang terjadi pada masa itu. Plot twist tentang trauma yang dialami Johan pasca tragedi pembantaian, mampu mengejutkan penonton pada adegan di akhir film.
Film ini sempat menjadi kontroversi lantaran beberapa pihak, seperti Federasi Veteran Indo di Belanda, karena menganggap film tersebut merupakan “Propoganda Anti Belanda”. Palmyra Westerling, putri dari Raymond juga ikut menentang film ini dengan alasan pemalsuan sejarah. Namun, semua tuntutan tersebut digugurkan oleh pengadilan Belanda yang beranggapan film ini tidak melanggar apapun.
Di samping kontroversi yang ada, film De Oost ini merupakan salah satu film yang wajib ditonton untuk kamu yang gemar dengan film bergenre sejarah. Sayangnya, meskipun memberikan gambaran yang bagus tentang peristiwa pembantaian Westerling, film ini tidak begitu populer. Bahkan di situs imdb.com De Oost hanya memperoleh rating 7.1/10. Bagaimana denganmu, apakah kamu tertarik menonton film ini?
Nur Ainun Afiah
Baca Juga: Minari, Potret Keluarga Imigran Korea Selatan