Di saat Anda harus memilih meraih impian atau mengikuti harapan dari orangtua, dr. Saharun Iso Sp.KO dapat mewujudkan kedua-duanya. Tentu, pilihan yang ia ambil bukan perjalanan yang mudah.
Saharun Iso membuka pembicaraan tentang dirinya, yang sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) tidak ada niatan maupun cita-cita menjadi dokter. Menjadi dokter awalnya bukan pilihannya, ia berkeinginan menjadi tentara. Tamat SMA, ia membulatkan tekadnya mengikuti ujian Taruna Akademi Militer (Akmil), namun kedua orang tuanya kurang setuju.
Orang tuanya lebih memilih Saharun melanjutkan studi kedokteran. Mengikuti perintah orang tuanya, ia kemudian melanjutkan tes masuk perguruan tinggi. Menurutnya, ujian masuk bukan halangan melanjutkan studi di kedokteran Unhas. Lantaran, dari bangku sekolah ia selalu masuk peringkat tiga besar, waktu Sekolah Menengah Pertama (SMP) selalu rangking satu dan SMA sempat rangking satu.
Pria asal Buton ini mengatakan masa perkuliahannya di Fakultas Kedokteraan (FK) Unhas membutuhkan waktu 10 tahun. “Zaman saya memang umumnya perkuliahan rata-rata 8 atau 9 tahun kuliah, malah ada yang lebih dari 10 tahun,” ucapnya, Jumat (9/4).
Meskipun kala itu, perkuliahan sudah menggunakan sistem Satuan Kredit Semester (SKS), nyatanya ia masih sangat sulit untuk lulus tepat waktu. Saharun menyampaikan perkuliahan dengan sistem SKS yang dicampur dengan sistem paket menjadi salah satu masalahnya. Di mana syarat untuk mengambil mata kuliah (matkul) semester dua harus lulus pada matkul semester satu.
Selain itu, pada tahun 90-an, sistem koas sangat berbeda. Dulunya koas tidak terstruktur dalam artian masih ada selang waktu di antara latihan dan istirahat. Sekarang menurutnya, sistem koas sudah terjadwal dan padat sehingga mahasiswa dapat lulus cepat.
Adaptasi juga menjadi persoalan dokter spesialis olahraga ini. Menyesuaikan diri dari status siswa menjadi mahasiswa membutuhkan proses. Terlebih harus pandai-pandai mengatur waktu kegiatan di dalam dan luar kampus. Ia mendeskripsikan ada dua tipe orang belajar, ada kutu buku dan ada betah belajar terus menerus. Ia orang yang tidak kutu buku.
Sering kali juga, perkuliahan sebagai mahasiswa kedokteraan dipengaruhi dengan impian menjadi tentara. Saat diwawancarai via telepon, ia mengatakan impian menjadi tentara tentu akan mempengaruhi motivasinya.
Menjadi seorang dokter memang bukan impian Saharun. Akan tetapi tetap memutuskan untuk menjalani rutinitas menjadi mahasiswa kedokteran. Seperti kata peribahasa, ada air ada ikan. Kalimat itu dapat menggambarkan perjalanan hidup Saharun. Di manapun kita tinggal, rezeki akan selalu ada.
Waktu menjalani koasnya, terbuka jalur penerimaan tentara lewat profesi. Ia kemudian mengikuti tes tersebut di Bandung dan akhirnya terterima. Setelah tamat di kedokteraan, ia melanjutkan pendidikan ketentaraan di Magelang selama 7 bulan.
“Setelah itu, saya masuk pendidikan kecabangan kesehatan di Pusdikkes di Jakarta selama tiga tahun lebih.” jelasnya.
Selepas dari situ, Saharun ditempatkan pertama kali di Kopassus, menjabat sebagai letnan dua pada 2002 hingga 2009. Pada 2009, ia melanjutkan pendidikan Spesialis Dikspes Keolahragaan FK Universitas Indonesia.
Selesai pendidikan spesialis, Saharun berkarier di dinas Pusdikkes sebagai pelatih dan guru militer sekitaran 4 tahun. Hingga ia akhirnya kembali ke kopassus.
Sosok yang kini menjabat Kepala Kesehatan Kopassus ini mengatakan tidak terdapat perbedaan jauh saat melanjut pendidikan ketentaraan. Prinsip loyalitas dan hubungan senior junior tetap sama pada saat kuliah di kedokteran. “Kita anak kedokteran disiplin dari sisi loyalitas kepada senior, secara hirarki tidak jauh berbeda. Cuma berbeda di latihan fisik. Jadi tindakan fisik seperti diminta merayap dan jungkir itu biasa, mungkin layaknya orang Ospek begitu,” katanya.
Berubah status menjadi dokter militer, ilmu yang ia pelajari di bangku kuliah tetap relevan bagi profesinya. Ketika ada tentara sakit, dokter militer akan siap merawatnya. “Saat di lapangan, bila masih dapat ditangani, dokter militer tersebut akan merawatnya, namun jika tidak, akan dirujuk ke rumah sakit tapi tetap dokter tentara juga di RS tersebut,” ucapnya.
Ia juga menceritakan saat berkarier di Kopassus pada 2003-2004 pernah bertugas di Papua dan kemudian ke Aceh sehingga ia tidak pernah bertugas di rumah sakit. Dari pengalaman karier, ia menyimpulkan bahwa segala sesuatu harus dilaksanakan dengan ikhlas.
Prinsip ikhlas ini menjadi kekuatan Saharun menekuni profesinya. “Jangan melakukan sesuatu selain alasanya Allah, sebab akan membuat kita pusing karena keinginan seseorang berbeda-beda. Keinginannya Allah jelas sehingga kita dapat tenang. Makanya saya enjoy mau tugas di lapangan atau di mana saja, semua dijalani,” tutupnya.
Muhammad Alif M