“Itulah diri saya yang dulu… Sekarang, saya paham perasaan wanita itu. Bukan daun gugur yang coba ia bereskan, Melainkan yang ia sapu adalah rasa malasnya sendiri……” Fumio Sasaki ~ Goodbye, Things
Apa kamu salah satu orang yang suka mengoleksi barang? Atau doyan membeli barang-barang baru? Buang kebiasaan itu sekarang. Ambil nafas sejenak dan perhatikan isi kamarmu. Mulai dari isi lemari, laci, kolong tempat tidur, rak buku atau isi kabin kamar mandimu sampai benda yang berserakan di lantai? Seberapa sering kau membutuhkannya ?
Sekumpulan pertanyaan ini, mungkin membayangi jika menenggelamkan diri dalam buku karya Fumio Sasaki, Goodbye, Things.
Beranjak dari kejenuhan hidupnya, ia mulai mencari solusi untuk menemukan kedamaian sejati, bertemulah ia dengan minimalisme. Pada bagian pengantar pun kita akan disuguhi foto foto transformasinya, dari rumah yang penuh barang sampai kekosongan tempat tinggalnya.
Awalnya, pria berusia 35 tahun tersebut adalah sosok yang sangat boros dan gemar mengoleksi barang. Adapun, koleksinya meliputi, kaset film dan lagu, kamera analog lengkap dengan ribuan lembar film negatif, serta buku yang hanya jadi pajangan. Bahkan, ia memiliki PS3. Belum lagi, koleksi pakaian yang ia beli setiap kali jenuh dengan pakaian yang telah dipakainya lima kali. Hingga suatu ketika, ia sadar apartemennya terlalu kecil dan tak lagi mampu menampung perkakasnya. Kehidupannya makin awut-awutan, kesenangan memiliki barang baru mulai pudar.
Penulis asal Negeri Sakura ini menemukan, penyebab stress adalah banyaknya barang yang dimilikinya–utamanya timbul dari barang barang koleksinya. Piring kotor yang bertumpuk, rak buku yang tak lagi muat, koleksi kamera analog, dan pakaian baru yang mulai usang. benda-benda ini mengeluarkan semacam tuntutan untuk dipertanggungjawabkan. Benda pun berbalik menguasai.
Salah satu yang terburuk dan kondisi yang muncul adalah, stress. Berujung pada kehilangan motivasi dan semangat hidup. Terus membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Tiba-tiba uang menjadi segalanya.
Kini, setelah menerapkan hidup minimalis, ia mampu berdamai dengan dirinya sendiri. Tak pernah lagi mengucilkan diri, menjadi sosok yang rajin, bersih, dan selalu bersyukur.
Beberapa tips yang dibagikan dalam buku setebal 214 halaman tersebut, yakni : Pertama, Saat berusaha menjadi minimalis, kamu bisa saja bimbang untuk menyingkirkan barang-barangmu karena berbagai alasan. Hal yang harus kamu lakukan, adalah jangan pernah goyah.
Kedua. Jangan berpikir untuk menambah barang lagi, apalagi jika yang kamu punya belum rusak sama sekali.
Ketiga, berhentilah terlalu banyak mengenang masa lalu, walaupun itu adalah kenangan manis. Sebetulnya, memori tersebut akan abadi bersamamu, bersama benda-benda yang kamu simpan sekarang. Benda-benda itu bisa jadi ada disampingmu sekarang, menahan dirimu untuk selalu berada di zona nyaman.
Empat, Biarkan yang kosong tetap kosong. Salah satu keunggulan yang ditawarkan, terbitan Kompas Gramedia ini disajikan dengan apik bersama kiat-kiat menyingkirkan barang.
Sayangnya, membaca buku ini bisa membuat kita memandang negatif pada gaya hidup orang lain. Bahasannya sedikit menghakimi orang-orang memiliki pola hidup yang sebaliknya. Ini dapat menimbulkan persepsi bahwa ‘hanya orang miskin dan kesepian yang cocok’ menerapkannya.
Namun, penulis mampu melenyapkan stigma tersebut, seakan memberi frasa baru, ‘ jika kau belum hidup kehilangan (membuang), kau belum hidup’.
Yang lebih apik lagi adalah, pikiran kita disadarkan untuk fokus memilih tujuan, “jika jawabannya bukan ‘sangat butuh’ katakan TIDAK”, ungkapan ini tertera di halaman 105 tips ke-51.
Memanfaatkan teknologi pun bisa menjadi opsi memulai hidup minimalis, seperti fungsi laptop dan gadget yang mencakup TV, radio selain mampu menyebarkan informasi, kedua benda tersebut bisa menjadi sarana hiburan yang hemat.
Sayangnya, perlu dipahami pula, jika hidup minimalis bukanlah tujuan dari hidup seseorang, hanya salah satu jalan. Jika ditafsirkan pun, tak ada definisi pasti minimalisme. Bisa dikata, keadaan saat kamu menyadari kebutuhanmu dibanding keinginan semata, dan membatasi diri dari nafsu memilikinya, itu akan menjadi definisi yang tepat.
Oktafialni Rumengan