Burung kecil di langit Makassar tampak senang bermandikan matahari pagi itu, berbanding terbalik dengan suasana hati seorang mahasiswa semester tanggung yang tampak iri mendengar kicauan merdu saling bersahutan. Bagaimana tidak, ekspektasinya tentang Kuliah Kerja Nyata (KKN) sambil terus berorganisasi di kampus harus musnah. Notifikasi pembagian lokasi KKN meramaikan gawainya sejak ia baru membuka mata, membuat mood-nya berantakan bagai rambut yang tidak mengenal sisir.
“Kalau memang ditempatkan secara acak, buat apa ada pilihan dari awal?” keluh gadis itu pada seorang teman melalui telefon.
Namun apa daya, pelepasan semakin dekat, mahasiswa berkacamata itu menyadari kalau tidak ada waktu untuk meratapi nasibnya. Ia telah berkomitmen untuk menyelesaikan program pengabdian ini, dengan sangat terpaksa sedikit mengesampingkan urusan organisasinya.
Dorongan itu membawanya ke taman kampus, tempat rapat perdana kelompok posko KKN-nya akan dilaksanakan. Nyatanya, bunyi jangkrik terdengar lebih nyaring dibanding argumen dan pendapat aktif dari anggota posko KKN itu, yang mungkin hanya berkeliaran dalam otak masing-masing tanpa ada usaha untuk menumpahkannya dengan kata-kata.
Untungnya, kecanggungan itu tidak bertahan lama. Kesadaran akan pentingnya komunikasi mulai terbangun menjelang keberangkatan menuju desa KKN yang berada di luar kota. Walaupun dengan kenyataan mereka sudah saling mengenal dan lumayan akrab, realita tetap menampar mahasiswa berkacamata tadi.
Di hari keberangkatan, ia terbangun dan menyadari kamarnya kini lebih cocok disebut kapal pecah daripada tempat tinggal. Kamar kecil itu makin terasa sempit dengan berbagai macam barang berserakan.
Pikiran gadis 20 tahun tersebut dipenuhi tanggung jawab kampus yang harus ditinggalkannya hari ini. Tidak hanya itu, bayangan akan tinggal selama 45 hari bersama orang baru, rumah baru, dan suasana baru secara tidak langsung memicu sedikit beban sosial yang terkadang tidak menyenangkan. Walau kesadarannya masih terkumpul setengah, ia berhasil memindahkan barang-barang penting di kamarnya ke dalam beberapa tas dan sebuah koper abu.
Ditemani keberanian, tekad, dan koper abu, mahasiswa pengabdi KKN akhirnya tiba di desa pelaksanaan program. Langkah pertama dari mobil pengantar disambut dengan angin berhembus lembut di sela-sela sinar matahari terik yang tidak menyengat. Aroma asin laut malu-malu menggelitik hidung dalam setiap tarikan nafas. Sepertinya desa itu adalah tempat yang damai dan tenang.
Suasana itu disempurnakan dengan dialog singkat bersama bapak dan ibu posko yang tampak baik, dengan garis senyum yang senantiasa melengkung bersahabat. Mereka menyambut kelompok KKN dengan tangan terbuka, menjelaskan sedikit kondisi desa secara umum, hingga pembicaraan mengarah pada hal pribadi sebagai ajang pengenalan.
Gelas sirup kosong bersebelahan dengan piring kue yang telah tandas menjadi saksi berakhirnya percakapan yang seakan menjadi tanda, bahwa pengabdian ini mungkin akan menyenangkan jika dilihat dari yang telah mereka temui sejauh ini.
Hari pertama menjadi kesempatan untuk mengelilingi desa. Gadis itu singgah dan menatap laut berombak ditemani suara deburan yang samar-samar menelisik ke dalam jiwa penikmatnya. Mengambil nafas sedalam-dalamnya sambil mengamati hamparan larik cahaya jingga yang terpantul di atas riak air, gadis itu membatin, “mungkin tidak semenakutkan yang kukira.”
Selama KKN itu berlangsung, si gadis ternyata bisa menanggulangi semua tugas jarak jauh yang masih diberikan organisasinya di kampus. Jaringan internet yang memadai memudahkannya menangani tanggung jawabnya.
Di samping itu, teman-teman KKN-nya juga sangat menyenangkan, program-program yang ia dan kelompoknya usung mendapat respon baik. Banyak memori ia ukir selama pelaksanaan pengabdian, tanpa penyesalan.
Peperangan dengan pikirannya selama masa persiapan ternyata tidak ada gunanya. Mahasiswi itu otomatis hanya membuat pelaksanaan pengabdiannya menjadi semakin berat, bahkan sebelum ia memulainya. Semua akan jelas saat telah dijalani, beban yang ditumpuk sebelum memulai hanya akan mempersulit diri sendiri. Tidak menutup kemungkinan, setiap kejadian memiliki kejutan menyenangkan dengan peti penuh kenangan indah.
Penulis Anisa Luthfia Basri
Merupakan Mahasiswa Agroteknologi Fakultas Pertanian Unhas,
Angkatan 2019
Sekaligus Koordinator SDM PK identitas Unhas 2022