Kasus kekerasan seksual yang terpendam kini mulai mencuat ke permukaan setelah adanya regulasi yang dianggap bisa menjadi solusi dari keresahan para penyintas.
Kekerasan seksual di lingkungan kampus akhir-akhir ini ramai diperbincangkan. Topik ini meledak lantaran kampus yang seharusnya merupakan tempat ruang aman justru menjadi tempat oknum bejat memuaskan hasratnya. Sungguh ironis ketika tempat yang diharapkan menjadi wadah berkembangnya ilmu pengetahuan, justru dicoreng oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.
Jumlah kasus kekerasan seksual yang meningkat setiap tahunnya membuat Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim berinisiatif untuk membuat peraturan yang bisa menggandeng seluruh kampus dalam memerangi kekerasan seksual.
“Angka kasus pada tahun 2021 melampaui tahun lalu (2020), periode Januari-Juli 2021 sudah mencapai 2.500 kasus.” jelasnya dalam sambutan di acara Nonton Bareng (Nobar) Virtual dan Webinar 16 Hari Anti Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan.
Bahkan dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Kemendikbudristek pada 2020, sebagian besar responden survei (dosen) mengakui adanya tindak kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi.
“Kami pernah melakukan survei, 77 persen dari dosen yang mengisi survei menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi, 63 persen dari 77 persen ini tidak melaporkan karena stigma yang telah dibangun oleh masyarakat,” tuturnya di acara Mata Najwa, Kamis (11/11/2021).
Berangkat dari hal tersebut, Nadiem lalu menetapkan regulasi yang ditetapkan dalam Permendikbudristek No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkup Perguruan Tinggi yang disahkan pada tanggal 31 Agustus 2021. Peraturan tersebut nantinya akan menjadi pedoman bagi kampus untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan pencegahan serta penanganan kekerasan seksual.
Usai disahkannya peraturan tersebut, terdapat banyak kontroversi muncul dari berbagai kalangan umum mengenai kandungan di dalamnya. Banyak kritikan mengenai Permendikbudristek yang seolah mendukung dan melegalkan seks bebas, utamanya pada pasal yang menyebutkan kata “consent” atau persetujuan kedua belah pihak. Nadiem tentu saja membantah hal tersebut dan menegaskan bahwa peraturan ini berfokus pada perspektif korban.
“Kemendikbudristek tidak pernah mendukung dan melegalkan seks bebas atau zina, kesalahpahaman ini terjadi karena terdapat klausul yang diambil di luar konteks,” jelas Nadiem.
Walau banyak polemik yang menyorot peraturan ini, Nadiem optimis Permendikbudristek mampu memberikan respon positif bagi situasi darurat yang menimpa perempuan, khususnya pelajar dan mahasiswa. Dalam peraturan ini pula, ia menghendaki agar setiap perguruan tinggi memiliki Satuan Tugas (Satgas) Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual (PPKS) sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
Dilansir dari Kompas.com, Nadiem menekankan adanya Satgas PPKS sebagai pemimpin edukasi tentang pencegahan, penanganan semua laporan, hingga melakukan pemantauan dan evaluasi terkait kasus kekerasan seksual di dalam kampus.
“Untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus di Perguruan Tinggi,” visi yang tertulis dalam Permendikbud No. 30 tahun 2021 pasal 2b.
Nadiem pun mewajibkan setiap perguruan tinggi membentuk Satgas PPKS paling lambat setahun setelah ditetapkannya Permendikbudristek. Kampus yang tidak ikut serta dalam mewujudkan peraturan tersebut akan diberi sanksi administrasi berupa penghentian bantuan keuangan atau sarana dan prasarana bahkan penurunan tingkat akreditasi.
Anggota satgas PPKS nantinya berasal dari unsur civitas akademika, yaitu dosen, tenaga kependidikan (tendik), dan mahasiswa. Hal itu dilakukan untuk mengurangi relasi kuasa yang terkadang menjadi penyebab utama terjadinya kekerasan seksual. Misalnya, kekerasan seksual yang dilakukan dosen ke mahasiswa.
Seperti yang terjadi kepada salah satu mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Riau (Unri) pada 2021, ia diduga mengalami kekerasan seksual oleh dosennya saat melakukan bimbingan skripsi. Ia mengaku dicium pipi dan keningnya oleh pelaku, bibirnya pun hampir dicium.
“Dia mendongak kepala saya dan bilang ‘mana bibir, mana bibir’. Saya ketakutan dan gemetar,” katanya dalam video yang viral di media sosial setelah diunggah akun Instagram @komahi_ur, Kamis (4/11/2021).
Apabila satgas PPKS telah terbentuk di seluruh kampus yang ada di Indonesia, diharapkan satgas tersebut bisa melakukan pendampingan dan penjaminan kepada hak-hak korban. Harapan terbesar tentu saja agar satgas ini dapat menekan tingginya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Akan tetapi, di tengah gencarnya realisasi aturan-aturan Permendikbudristek yang cemerlang itu, masih ada saja kampus yang belum sigap dalam membentuk satgasnya yang ideal. Setelah lebih dari setahun aturan tersebut disahkan beberapa kampus masih tersandung kendala yang beragam dalam upaya pembentukan satgasnya. Unhas menjadi salah satu perguruan tinggi yang menemui kendala. Meskipun telah memiliki satgas, sayangnya satgas tersebut belum sesuai dengan prosedur yang ditetapkan Kemendikbudristek. Lantas bagaimana Unhas menanggulangi hal ini? Mengingat satgas ini sangat penting untuk direalisasikan.
Baca lebih dalam dan lebih lengkap terkait liputan ini melalui majalah identitas edisi September 2022
Tim Liputan
Berita Selanjutnya: Satgas Ideal di Mata Aturan