Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law tentang kesehatan resmi disahkan dalam Rapat Paripurna DPR ke-29 masa persidangan V tahun sidang 2022-2023 di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/07).
Sejak RUU Kesehatan diusungkan hingga disahkan menjadi Undang-Undang (UU), terdapat sejumlah pihak yang menolak khususnya dari lima Organisasi Profesi (OP). Kelima OP itu adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Penolakan tersebut bukannya tidak berdasar, para tenaga kesehatan dan tenaga medis menganggap terdapat beberapa pasal yang kontroversial. Mereka juga menilai disahkannya undang-undang tersebut terkesan dikebut dan tidak adanya transparansi dari pemerintah selama proses pengujian. Selain itu, naskah yang telah disahkan belum juga bisa diakses oleh masyarakat.
Lantas bagaimana pakar hukum memandang UU Omnibus Law Kesehatan yang dinilai oleh para tenaga kesehatan dan tenaga medis kontroversial? Simak wawancara langsung Reporter PK identitas Unhas, Otto Aditia bersama Dosen Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Prof Dr Amir Ilyas SH MH, Minggu (06/08).
Menurut Anda apakah UU Omnibus Law tentang kesehatan ini telah sesuai dari segi unsur formil dan partisipasi publik?
Kita masih belum bisa terlalu luas untuk menilai UU ini karena pemerintah belum melaksanakan secara penuh. Namun, saya kira ada beberapa permasalahan, yaitu waktu pengesahan yang terlalu cepat, tidak transparannya pemerintah, dan dianggap tidak melibatkan publik.
Saya sendiri menilai ada benarnya kalau UU Omnibus Law Kesehatan dianggap tidak transparan dan terlalu cepat untuk disahkan. Hal ini bisa saya simpulkan karena Daftar Inventaris Masalah (DIM) itu dikeluarkan Februari dan UU tersebut sudah disahkan oleh DPR di bulan Juli. Kemudian, sampai saat inipun naskah UU yang sudah disahkan belum bisa didapatkan dan yang ada masih rancangannya saja.
Bagaimana menurut Anda tentang lima OP yang tidak dilibatkan selama masa pengujian hingga pengesahan UU Omnibus Law Kesehatan?
Harusnya dilibatkan. Semua stakeholder itu harus dipanggil. Kalau informasinya benar, maka kuat sekali alasan jika ingin melakukan Judicial Review (uji materi) untuk membatalkan UU Omnibus Law Kesehatan ini. Kalau pihak terkait tidak dilibatkan berarti ada kekeliruan yang dilakukan pemerintah. Langkah Judicial Review untuk pembatalan UU Omnibus Law Kesehatan bisa dilakukan dengan menyertakan bukti kuat jika lima organisasi profesi tidak pernah dilibatkan.
Bagaimana tanggapan Anda mengenai tenaga kesehatan, seperti kelima OP yang menolak UU Omnibus Law Kesehatan?
Menurut saya, penolakan UU tersebut dapat terjadi karena adanya pandangan oleh dokter dan perawat terkait sejumlah pasal yang akan membatasi peran organisasi profesi, seperti IDI. Mereka juga menilai tidak adanya kejelasan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dan tenaga medis.
Jadi, seharusnya semua harus didengar supaya bisa dipertimbangkan walaupun ini adalah usulan DPR, tapi daftar masalahnya ada di pemerintah, Kementerian Kesehatan. Menurut saya kuat alasan untuk melakukan Judicial Review sebagai jalur hukum yang harus ditempuh berbagai pihak yang merasa dirugikan dengan adanya UU ini termasuk IDI.
Apakah UU tersebut dapat menjadi ancaman bagi tenaga kesehatan dan tenaga medis?
Menurut saya secara profesi sebenarnya tidak mengancam. Beberapa waktu lalu juga banyak dikhawatirkan kalau peran dokter dan tenaga kesehatan lokal lainnya akan digantikan oleh tenaga dari luar negeri. Namun, kenyataannya tidak seperti itu karena dalam UU ini tenaga kesehatan dari luar tidak mudah masuk ke Indonesia. Terdapat proses administrasi yang ketat dan juga mereka hanya bisa bekerja di Indonesia beberapa tahun saja.
Kalau dari segi imunitas juga saya kira dia sudah dilindungi secara hukum. Sekarang itu, tidak lagi orang semerta-merta dokter atau profesi bisa dilapor ke polisi. Terdapat imunitas bagi tenaga kesehatan dari tuntutan pidana sepanjang mereka berada dalam masa sedang menjalankan tugas dan kewajibannya. Jika ada laporan pidana dari pasien atau korban terhadap dokter, maka tidak bisa pihak kepolisian menaikkan status pemeriksaan dalam proses penyelidikan. Jadi, dalam UU ini terdapat imunitas bagi dokter. tenaga kesehatan dan tenaga medis sudah tidak seperti dulu yang bisa dengan mudah dilaporkan.
Apa saja dampak yang terjadi bila dilakukan penghapusan anggaran pembiayaan tenaga kesehatan melalui Mandatory Spanding yang sebelumnya sebesar 10 persen?
Menurut saya, tenaga kesehatan tidak leluasa lagi menggunakan anggaran. Sebelumnya mereka dapat langsung memakai anggaran tanpa harus melewati urusan administrasi yang panjang. Logikanya, jika mereka pegang uang atau dalam hal ini anggaran maka bisa langsung digunakan tanpa harus membuat proposal.
Apa harapan anda terkait UU Omnibus Law Kesehatan?
Jika UU ini dianggap tidak transparan dan partisipasi publik kurang maka saya kira perlu dilakukan Judicial Review karena itu jalur hukumnya. Selain itu, dokter, dokter gigi, dan tenaga kesehatan lainnya sekarang harus mulai menyesuaikan. Bagaimanapun UU ini sudah berlaku. Jadi, sudah seharusnya menyesuaikan dengan keadaan dan hukum yang berlaku.
Data diri narasumber
Nama: Prof Dr Amir Ilyas SH MH
Tempat, Tanggal Lahir: Pangkajene, Sidrap 10 Juli 1980
Riwayat Pendidikan:
S1 Ilmu Hukum, Universitas Hasanuddin, 2005
S2 Ilmu Hukum, Universitas Airlangga, 2009
S3 Ilmu Hukum, Universitas Hasanuddin 2013