“papeitai matammu, apa moa matea manini andangmo tu u riang na mapogau papasauang” –Jupuria (Sanro Pappasau)-
Kutipan tersebut diungkapkan oleh salah seorang sanro (dukun) pappasau di Mandar. Pesan ditujukan kepada anak dan cucunya ketika saya, Nawir dan Maulida sedang duduk bercerita di ruang tamu rumahnya. Pesan tersebut mengandung makna bahwa mereka mesti fokus mengamati bagaimana cara ia melakukan mappasau. Hal tersebut dilakukan agar nanti ketika ia meninggal akan ada penerusnya yang mewarisi cara melakukan tradisi ini.
Mappasau merupakan tradisi perawatan kecantikan dengan mandi uap yang dilakukan oleh wanita Mandar tempo dulu sebelum melaksanakan acara pernikahan. Namun, tradisi ini kini telah jarang dijumpai lagi. Hanya segelintir orang saja yang kini masih melakukannya. Paling banyak mungkin yang masih berkeluarga dengan sanro pappasau itu sendiri. Seperti kata Jupuria (70) yang menyatakan bahwa selama ia masih hidup, maka ia akan tetap menurunkan adat mappasau itu kepada anak cucunya saat akan menikah, sebagai bagian dari proses menjaga tradisi.
Cliffort Geertz dalam buku kebudayaan dan agama (1992:3), menyatakan bahwa kebudayaan merupakan suatu sistem warisan konsepsi yang diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik, melalui mana manusia berkomunikasi, melestarikan dan memperkembangkan pengetahuan dan sikap mereka tentang kehidupan. Seperti halnya tradisi mappasau, suatu kebudayaan yang diwariskan oleh sanro pappasau kepada anaknya untuk kemudian tetap bisa dilaksanakan nantinya.
Pengetahuan Jupuria tentang praktik mappasau diperoleh saat mengamati ibunya melakukkan tradisi ini. Ia bercerita bahwa pengetahuan tentang bahan, proses, dan tata cara pelaksanaan dari awal hingga akhir mappasau juga pernah ia lakukan. Hal tersebut yang kemudian menunjang pengetahuannya. Setelah ibunya meninggal, ia tetap melanjutkan tradisi ini. Selain itu, orang-orang banyak berdatangan kepadanya untuk mappasau.
Dahulu, aktivitas mappasau memang dilakukan oleh seorang gadis sebelum menikah. Namun yang bertugas untuk mengumpulkan bahan dan proses pelaksanaannya tidak terlepas darisanro pappasau sebagai penjaga nilai tradisi tersebut.
Apa yang dirasakan oleh Jupuria ini, pun turun kepada anaknya yang juga tinggal serumah dengannya. Anaknya bernama Rasma yang baru berusia 39 tahun. Ia seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya membantu suaminya di kebun.
“saya tahu cara mappasau, tapi belum saya lakukan karena ibu masih ada. Tapi ketika ibu nanti meninggal, mungkin saya yang akan melajutkan adat tersebut,” Ujar Rasma di tengah-tengah diskusi kami dengan Jupuria.
Tak hanya Jupuria dan Rasma yang memperoleh pengetahuan mappasau, ada juga seorang sanro pammanak (dukun beranak) yang bisa melakukan tradisi ini dan sering dipanggil ketika saat akan didakan acara pernikahan. Ialah Sitti Nur. Sitti berusia sekitar 70 tahun. Ia tinggal di Campalagian. Tepatnya sekitar seratus meter dari Masjid Imam Lapeo. Kami bertemu pada Jumat tanggal 4 Mei 2018. Dalam pertemuan tersebut, kami banyak berbincang mengenai tata cara pelaksanaan, manfaat, hingga proses ia mengetahui adat mappasau.
Dalam perbincangan itu, ia bahkan memperagakan tata cara pelaksanaan mappasau, sembari menjelaskan dengan lisan. Ia menggunakan panci dan bambu sambil menjelaskan bagaimana bentuk alat yang sebenarnya, serta tata cara merebus bahan-bahan rappa patappulo (rempah-rempah yang terdiri dari 40 jenis) yang digunakan dalam tradisi adat itu.
Sedikit berbeda dengan pengertahuan Jupuria dan Rasma, Sitti bahkan memiliki kemampuan dalam membuat ramuan yang bisa diminum atau dimakan. Kegunaan mappasau dari kedua sanro ini juga ada yang sedikit berbeda. Jika Jupuria menganggap mappasau untuk mempercantik diri calon pengantin wanita. Bagi Sitti Nur, mappasau juga dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Wajar saja, sebab banyak orang yang sering datang berobat kepada Sitti Nur, sehingga ia kadang mencoba cara ini untuk menyembuhkan pasiennya. Inilah yang kemudian melegitimasi kegunaan lain dari mappasau, yang bukan sekadar tradisi kecantikan, melainkan menjadi pengobatan alternatif.
Sitti Nur memiliki seorang anak perempuan yang saat ini juga sudah mulai menjadi sanro pappasau di kampungnya. Anaknya yang biasa dipanggil Kindona Diana juga mengetahui prosesi ini dari proses melihat dan mempraktikkan mappasau secara langsung.
Pada dasarnya, sebuah kebudayaan dapat diperoleh melalui proses pewarisan yang dipelajari. Namun untuk belajar, penting kiranya melihat praktiknya secara langsung. Benar kata pepatah, bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Namun pengalaman bukan sekadar melakukan sesuatu dan terus mengulanginya. Pengalaman juga suatu proses dimana kita bisa melihat dan mendengar, lalu mempelajarinya, serta mengambil makna di baliknya. Pada akhirnya kebudayaan adalah sesuatu yang diperoleh melalui proses belajar yang dijadikan sebagai bagian dari manusia.
Penulis: Abdul Masli
Mahasiswa Departemen Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas
Angkatan 2015