CONGRATULATION! YOU ARE ACCEPTED!
Pesan whatsapp yang masuk tanggal 3 Juni 2018 lalu, menandakan saya diterima menjadi Local Volunteer (Locvol) AIESEC in Unhas. Setiap tahunnya, organisasi kepemimpinan skala internasional itu, mengadakan proyek untuk mendukung beberapa poin Sustainable Development Goals (SDG’s) yang sedang digaungkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Tahun ini AIESEC menyediakan empat pilihan proyek yaitu Edunesia, Aga Kareba, Greenie, dan HFL. Edunesia ialah proyek yang mendukung SDG’s nomor lima yakni quality in education. Proyek ini cocok bagi kalian yang punya minat di bidang pendidikan seperti saya, yeay!
Dalam kegiatan itu, saya dan 13 orang lainnya yang terdiri atas enam mahasiswa Makassar, dua mahasiswa Republik Ceko, dua mahasiswa Malaysia, dan tiga mahasiswa Cina mengajar bahasa inggris siswa SD, SMP, dan SMA di Kecamatan Kalukku (Mamuju), Mamasa, dan Kecamatan Tutar (Polman). Namun sayang, saya tidak sempat menjalankan proyek di Mamuju, sebab saya juga mesti mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional (PJTLN) di Medan. Hingga akhirnya, saya baru mulai bergabung saat proyek berpindah ke Mamasa.
Mamasa punya udara yang sangat dingin sebab ia berada di daerah pegunungan. Butuh waktu sekitar tiga hingga empat jam untuk tiba di sana, dari Kabupaten Polman. Di Mamasa, kami mengajar di SMP Frater dari pagi hingga siang. Kemudian, pada sore hari para mahasiswa asing berlatih tari tradisional Mamasa. Sehari sebelum melanjutkan proyek di Tutar, mereka tampil menari di depan salah satu rumah adat Mamasa yaitu Rumah Ukir. Sambil disaksikan sejumlah penduduk setempat.
Selain itu, semangat anak-anak yang belajar bahasa inggris, menyapa, meminta foto bersama, dan tanda tangan, meninggalkan kesan tersendiri bagi kami. Mereka memperlakukan kami bak manusia suci yang diutus Tuhan untuk menyambangi sekolah mereka selama beberapa hari. Sehingga mereka tak ingin ketinggalan momen sakral itu. Padahal, kami hanya manusia yang biasa-biasa saja ketika berada di lingkungan sendiri, wkwkwk.
Selanjutnya, beberapa tempat wisata yang sempat kami kunjungi seperti Kuburan Tedong-Tedong, Patung Raksasa Bunda Maria, dan pohon pinus mampu menambah amunisi ku untuk menghadapi ruang kuliah satu semester ke depan.
Setelah menikmati keindahan Mamasa, proyek lalu berpindah ke Tutar, salah satu kecamatan di Polman. Kami menggunakan mobil avanza dan kijang untuk tiba di sana. Pada menit-menit awal perjalanan, semuanya masih terasa normal dan baik-baik saja. Namun, setelah belok kanan di depan masjid yang saya lupa namanya, seketika perjalanan berubah jadi track off road.
Iya. Keadaannya seperti yang kalian bayangkan bahkan mungkin lebih parah. Jalanan dipenuhi bebatuan, berkelok, menanjak, dan beberapa tikungan tajam. Oleh sebab itu, terkadang kepala kami sampai kejedot atap mobil dan tubuh kami terus terguncang. Waktu yang perlu kami tempuh pun kurang lebih tiga jam.
Yakin bahwa badai pasti berlalu, guncangan pun pasti akan berhenti. Kala itu hari sudah mulai sore ketika kami tiba di rumah kepala desa, dengan begitu maka getaran yang sejak tadi dirasakan selama perjalanan akhirnya terhenti. Sisa hari itu kami habiskan dengan bercengkerama bersama empunya rumah dan beristirahat.
Keesokan harinya, kami mulai menjalankan proyek mengajar bahasa inggris di SDN 002 Desa Piriang Tapiko. Untuk tiba di sekolah itu, kami harus menempuh perjalanan yang mengguncangkan selama 30 menit dengan mobil khusus bernama hard top.
Sepanjang 30 menit itu, kami harus melewati jalanan bebatuan, jembatan kayu, jalanan berkelok dan menanjak yang di sampingnya adalah jurang. Meski begitu, kejelekan akses jalanan, bagiku, dapat tertutupi dengan pemandangan gunung, pohon-pohon cokelat dan kapas yang rimbun serta meneduhkan.
Lalu, ketika tiba di sekolah, seakan film laskar pelangi terputar di kepalaku. Saya merasa seperti berada di dalam film itu, khususnya pada scene Lintang dan teman-temannya berada di sekolah. Ya, ruang kelas anak-anak SD di sana beralaskan tanah, berdidinding kayu usang, dan beratapkan seng model tua. Persis seperti di film.
Dan ternyata sekolah itu merupakan sekolah satu atap, sebab tiga ruang kelas untuk siswa SMP pun ada. Keadaan kelas mereka sedikit jauh lebih baik dibanding ruang kelas SD. Bangunannya sudah bertegel dan berdinding beton.
Kami dijamu dengan baik oleh para guru di sana. Setelah sedikit bercengkrama, kami pun membagi kelompok untuk mengajar di setiap kelas yang ada. Saya kebagian mengajar siswa SMP.
Jika pada umumnya siswa SMP sudah memiliki sedikit dasar dalam berbahasa inggris, namun berbeda dengan mereka. Hingga di hari kami datang, mereka belum pernah sekali pun belajar bahasa inggris.
Betapa tidak, tempat tinggal yang begitu jauh dari perkotaan dengan akses jalanan yang berbahaya. Di sana juga tak ada jaringan telepon apa lagi internet. Hal tersebut membuat guru-guru yang notabene tinggal di bagian kota Polman, jarang datang mengajar ke sekolah. Sehingga pengetahuan mereka masih sangat minim.
Maka dari itu, kami hanya fokus memperkenalkan mereka dengan abjad dan huruf dalam bahasa inggris. Selain bangunan dan pelajaran, pakaian yang mereka kenakan juga tak luput dari perhatianku, sebab ternyata masih ada beberapa siswa yang tidak mengenakan alas kaki dan baju yang sangat kebesaran. Meski begitu, mereka tetap antusias dalam belajar dan menerima materi dari kami.
Kami hanya sempat mengajar selama tiga hari di sana, sebab waktu kuliah yang semakin dekat membuat kami harus segera kembali ke Makassar. Jauh meninggalkan zona nyaman memang benar-benar membuat kita setidaknya sedikit melihat dan merasakan kehidupan yang benar-benar hidup.
Begitulah sepenggal perjalanan mengajar bahasa inggrisku bersama teman-teman yang seru. Liburan semester kali ini akan menjadi salah satu memori termanis yang tersimpan dalam memori jangka panjangku.
Penulis : Khintan
Staff Penyunting PK Identitas Unhas,
Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya Unhas,
Angkatan 2016.