Praktik penguasaan dan penindasan atas mahasiswa bekerja melalui produksi wacana. Saya sering mendengar ungkapan yang diucapkan dosen bahwa “kami (dosen) adalah orang tua kalian (mahasiswa) ketika berada di kampus”. Penggunaan ungkapan seperti itu tidak bisa kita anggap sebagai sesuatu yang biasa saja dan tidak bersifat politis. Bahasa bisa mengandung makna terselubung. Di dalamnya terkandung muatan ideologis.
Pengandaian dosen sebagai orang tua berimplikasi pada keharusan seorang anak (mahasiswa) untuk mematuhinya. Dalam hubungan keluarga, orang tua adalah satu-satunya subjek yang berhak memproduksi pelbagai aturan. Anak yang tak patuh pada orang tuanya mesti diberi terapi atau hukuman agar menjadi patuh. Pembangkangan terhadap anjuran dan nasihat orang tua adalah kedurhakaan yang mesti didisiplinkan.
Hal ini mirip dengan gaya Soeharto ketika menjalankan pemerintahan Orde Baru. Soeharto menempatkan dirinya sebagai “bapak” dalam relasinya dengan masyarakat sebagai anak. Pada kondisi ini, menurut Mulder (1985), seorang anak harus menghormati bapaknya yang termanifestasi dalam santun berbicara dan sungkan untuk menentang kehendak orang tuanya. Istilah untuk menggambarkan fenomena tersebut biasa disebut dengan politik Bapakisme.
Soeharto adalah bapak tertinggi (supreme Father). Bapak yang tahu segalanya, bapak yang menjadi pusat keluarga. Seorang bapak berhak menentukan baik-buruknya sesuatu. Sehingga apa yang dilakukan seorang anak mesti mendapat restu dari bapak. Dengan begitu anak menjadi terkungkung dan tak akan bebas melakukan sesuatu, ia hanya akan melakukan hal yang tak akan menyakiti bapak. “Asal bapak senang”.
Gaya politik Bapakisme kemudian diadopsi oleh kampus dan dosen untuk mendisiplinkan mahasiswanya. Mahasiswa diwacanakan oleh dosen. Wacana dibentuk sebagai sebuah mekanisme kontrol agar tak melenceng dari imajinasi ideal si dosen. Praktik pendisiplinan ini adalah strategi agar mahasiswa tak melakukan tindakan diluar kendali dan pengawasan dosen. Mahasiswa digembleng agar menjadi manusia-manusia yang patuh. Jika ada kekeliruan yang dilakukan dosen secara sadar maupun tidak, maka sikap kritis atau protes terhadapnya bisa saja dianggap sebagai bentuk pemberontakkan terhadap etika dan moral.
Akibatnya sudah tentu, sikap kritis yang seharusnya menjadi corak berfikir mahasiswa sebagai kaum terdidik, pelan-pelan ditekan hingga berada pada titik yang tak mungkin eksis. Politik Bapakisme yang diterapkan oleh dosen adalah pembungkaman terhadap budaya kritis. Lebih jauh lagi, hal ini sesungguhnya merupakan praktik pendisiplinan dan penindasan dalam relasi dosen-mahasiswa.
Model relasi pendidik dan peserta didik yang seperti itu, alih-alih membuat mahasiswa cerdas dan mandiri, malah menjadikan mahasiswa hanya sebagai objek-objek tertindas yang harus dibuat patuh dan ditaklukan. Dosen kemudian bisa dengan leluasa membuat standar etik-estetik dan beberapa regulasi meski tak logis. Semisal, tak boleh menggunakan kaos yang tidak berkerah ketika kuliah, tak boleh membaca buku ‘kiri’, tak boleh memakai sendal, gondrong dan lainnya. Regulasi seperti itu tak jarang kita temui di berbagai kampus. Padahal kita mafhum, aturan seperti itu tak memiliki hubungan sama sekali dengan proses penyerapan ilmu pengetahuan dan penyemaian kesadaran. Pada kondisi seperti itu, mahasiswa bukan lagi sebagai subjek yang merdeka dan dapat menentukan bagaimana dirinya sendiri. Dan di titik itulah domestifiasi dan penindasan terjadi.
Praktik penindasan dari dosen terhadap mahasiswa yang terjadi di kampus tak akan berakhir jika praktik penguasaan terselubung secara sadar seperti itu tak juga diakhiri. Pendidikan kita tak akan berhasil menciptakan manusia yang memiliki kemerdekaan dalam berfikir dan bertindak, jika para dosen masih gemar memanfaatkan ketakseimbangan dan ketidaksetaraan pengetahuan yang dimilikinya untuk mendominasi mahasiswa.
Berkampus akhirnya tak menjadi alat untuk transformasi sosial yang seperti yang diharapkan Henry Giroux. Jika tujuan pendidikan untuk membebaskan manusia dari kebodohan kemudian dimanipulasi untuk melanggenggkan penindasan, maka kita tak boleh terjebak dalam relasi dosen-mahasiswa yang tak kritis-demokratis sekaigus menindas.
Memahami dan mengkampanyekan bagaimana cara dosen beroperasi menindas mahasiswa menjadi penting dan mendesak, agar masa depan pendidikan kita tak jatuh ke dalam sekadar usaha –yang sangat dibenci Soekarno sebagai- exploitation de I’homme par I’homme, penindasan manusia atas manusia.
Penulis : Mario Hikmat,
Anggota LISAN Cab. Makassar