23.30 Wita
“Aku ingin kembali menjadi anak kecil.”
Tidak keras tidak pelan, suara itu terdengar memecah heningnya malam hingga berhasil menarik sebuah tanya dariku, “Mengapa? Bukankah dulu kamu yang tidak sabar ingin menjadi dewasa?”
Yah, tidakkah kamu ingat keinginanmu itu? Saat balita kamu ingin segera duduk di bangku Sekolah Dasar, setelah memenuhinya kamu tidak sabar masuk Sekolah Menengah Pertama, kemudian ingin cepat ke Sekolah Menengah Atas, seolah ada yang mengejarmu.
Kamu bilang ingin segera kuliah. Katamu ingin bebas, ingin mengatur semuanya sendiri, mengambil keputusan sendiri. Lalu mengapa sekarang kamu menengok ke belakang? Pada jejak waktu yang telah kamu tinggalkan dan tidak mungkin kembali. Kenapa?
“Aku takut, karena tiap kali angka di usiaku bertambah, semakin banyak juga yang menyadarkanku. Dewasa… bukan sesuatu yang menyenangkan.”
Ah, aku hampir lupa, tepat pukul 00.00 nanti, usianya akan bertambah lagi. Kali ini bukan hanya angka belakang yang berubah tetapi juga depan. Dia akan menginjak kepala dua.
Walau begitu, nalarku masih tidak mengerti apa yang dia takutkan. Terkadang, aku tidak pernah bisa memahaminya. “Jangan takut, ada aku yang akan menemanimu. Kamu tidak akan sendiri,” ujarku menenangkan, sedikit asal-asalan.
Dari pada pusing memikirkannya, kuputuskan untuk menjadi pendukungnya saja. Bukankah kami akan selalu bersama? Aku akan membantunya menghadapi ketakutan itu.
“Jangan mencoba menghiburku jika kamu pun memiliki pemikiran yang sama. Aku tahu kamu juga merasakannya. Ketakutan itu…. Aku tahu kamu mengerti.”
Aku terdiam. Mengapa dia mengatakan itu? Mengapa dia merasa kami memiliki ketakutan yang sama? Kapan aku bilang ingin kembali menjelajah masa lalu? Aku tidak pernah mengatakannya. Dia selalu saja seperti ini, merasa paling mengenal diriku. Menjengkelkannya …. suara-suara yang keluar dari dirinya selalu berhasil membuatku bimbang. Entah mengapa. Itu masih menjadi misteri yang tidak bisa kupecahkan.
“Kamu tahu akulah yang paling mengerti dirimu. Bukankah aku merasakan ini karena kamu? Bukankah keinginan ini juga adalah apa yang kamu harapkan di saat hening dan gelapmu?”
Benarkah? Apakah aku juga memiliki keinginan yang sama? Kembali menjadi anak kecil yang belum ternoda, belum melihat sisi gelap dunia, belum tahu perjuangan dan pengorbanan hanya untuk sekedar berpijak di bumi. Tetap polos, bebas, dan tidak terkekang.
“Sangat memusingkan menjadi dewasa, kita dipaksa mengemban tanggung jawab yang tidak bisa kita langgar. Belum lagi banyak pasang mata menatap, mulut mereka seolah siap mengunyah dan menelan, tidak akan membiarkan kita hidup dengan bebas. Bukankah kamu sudah merasakannya?”
Benar, sewaktu kecil aku tidak perlu pusing apakah tugas dan tanggung jawab yang diberikan padaku berjalan dengan baik atau berakhir mengerikan. Aku tidak perlu memikirkan bagaimana sosokku di mata orang lain. Aku tidak peduli atau mungkin… aku hanya belum mengenal ternyata manusia juga bisa kejam kepada manusia lain. Bukan hanya anjing yang saling menggigit, manusia pun sama binatangnya.
“Sebentar lagi kita akan lulus, saat itulah kita benar-benar menginjakkan kaki di wilayah yang lebih berbahaya, lebih memusingkan dari saat ini. Apakah kamu benar-benar siap? Tidakkah kamu takut? Saat ini saja tanggung jawab yang diberikan padamu sudah sangat membebani, mengekangmu. Sakit dan berdarah sekalipun kamu harus memenuhi tanggung jawab itu. Lalu bagaimana ke depannya? Dunia orang dewasa akan lebih kejam, kamu akan berdarah dengan luka menganga, namun… tidak akan ada yang peduli. Kamu hanya bisa menjilat lukamu sendiri di ruang kecil dalam sudut kamarmu, bukankah itu yang kamu lakukan sekarang?”
Suaranya kembali terdengar bersama dengan tangan tak kasat mata yang seolah menarikku dari surga, merobohkan keyakinanku.
“Bukankah perbuatanmu akhir-akhir ini telah menjadi buktinya? Kamu berbohong dan merugikan orang lain hanya untuk memenuhi tanggung jawabmu, juga untuk terlihat hebat di mata orang lain. Jika seperti ini, tidak akan lama lagi kamu akan berubah jadi manusia yang tidak aku kenal, kamu akan terbiasa menginjak dan mengoyak manusia lain untuk keuntunganmu. Kejahatan pertama mungkin tidak sengaja atau terpaksa, namun akan mudah melakukannya untuk kedua kalinya. Jika yang pertama berhasil dengan baik, mengapa yang kedua tidak bisa, benarkan?”
Aku menutup telinga, tidak ingin mendengar apa yang dikatakannya lagi. Dia selalu berhasil memaksaku menghadapi kenyataan, ketakutanku. Hal-hal yang berusaha kukubur jauh di dasar hati dan pikiranku. Aku selalu tahu, namun tidak ingin mengakuinya. Setengah dari kakiku mungkin sudah melangkah ke jalan gelap itu. Tanpa ada yang memaksa.
Seseorang….siapapun….tolong….
Suara dering ponsel yang kukenali berhasil menyadarkanku, menghempasnya bersama dengan suaranya. Dia menghilang namun kata-katanya tetap membekas.
Tanganku terulur mengambil benda persegi itu, sejenak melirik waktu yang tertera pada layar. Pukul 00.00 Wita. Ahh, waktu memang yang paling kejam. Dia tidak akan berhenti bahkan jika aku meminta dengan tangis berdarah. Bagaimanapun, cepat atau lambat aku harus menginjakkan kaki di jalan ini. Aku akan tetap menginjakkan kaki di dunia orang dewasa.
Tidak ingin suaranya hadir kembali, aku dengan cepat membuka pesan yang baru saja masuk. Kemudian senyum kecil hadir di bibirku melihat kata-kata yang dikirim dari orang paling berharga di dunia ini. Penopangku, tempatku bersandar.
“Selamat bertambah usia, sayang. Sekarang sudah kepala dua, yah? Anak mama sudah dewasa ternyata. Tapi bagi mama kamu tetap anak kecil yang selalu menempel, menangis, dan tertawa di pelukan mama. Tidak akan menjadi dewasa.”
Penulis Annur Nadia F. Denanda
Mahasiswa Agribinis angkatan 2019
Sekaligus Koordinator Liputan PK identitas Unhas