Alunan musik meraba lembut masuk ke telinga. Melow, membuat pendengarnya seakan terbuai dalam opera Yunani kuno. Air laut pun seakan menenangkan suasana. Riaknya tak menghancurkan hening yang begitu indah.
Eren mengangkat tangan kecilnya meraba setiap angin yang lewat dengan kerutan di wajahnya menandakan kepuasan. “Lihat sebentar lagi matahari terbenam!” Teriaknya mengagetkanku.
Langit bercampur aduk dengan warna khasnya, pertanda akan segera menjemput malam. Tampak seperti kuning keemasan dengan cahaya segar di kejauhan. Lembayung senja tengah berkaca di atas laut memperlihatkan keindahannya. Membuat Eren terus terkagum-kagum. Ia sangat menikmati setiap detik menuju malam itu.
“Berhenti lakukan itu!” Teriakku dengan nada tinggi penuh kejengkelan setelah Eren menabrakkan air di ujung kakiku.
“Apa yang salah denganmu?” Tanya Eren tak mengerti. Matahari belum saja tenggelam sempurna, kami telah beranjak.
*
“Assalamualaikum,” kataku di depan istana megah menurut kebanyakan tetangga. Tapi bagiku itu hanyalah gubuk yang menyeramkan penuh arwah dan masa lalu yang mewariskan kepedihan. Terus saja kakiku melangkah tanpa mengharapkan jawaban. Lalu tertidur dengan amarah tak jelas.
Semua hampir tak seperti biasa. Tidak ada lagi gelas plastik berisi kopi. Aku seperti membenci semua orang, tak satupun dari mereka mendapat salam pagi.
“Hai,” sapa Eren pelan dengan perasaan bersalah. Aku hanya menjawabnya, “ya,” dan memintanya melupakan kejadian kemarin. Tanpa senyum dan lebih sensitif, seperti itulah hari-hariku berlalu. Eren mulai mencemaskanku, sesekali ia bertanya tapi tak mendapat jawaban. Eren adalah sahabatku. Ia sesekali mampir ke rumah, tapi kali ini tanpa memberitahukanku. Ia berkeyakinan, ada yang salah denganku.
Sedari ia datang, aku hanya berbaring sibuk bermain game. Eren mulai mencari sesuatu dan mencurigai segalanya. Terlebih saat berada di kamarku, melihat semua telah berubah. Cat dinding berwarna lebih gelap. Ia juga tidak lagi melihat potret diriku dengan gaya-gaya unik yang kacau. Eren semakin dibuat bingung dan penasaran dengan keadaan yang tiba-tiba saja berubah setelah sekian lama tak lagi sempat mampir seperti biasanya.
Saat di kampus, Eren tidak banyak berbicara. Tepatnya, karena sibuk memperhatikan setiap gerak gerikku yang penuh diam. Ia memandangku aneh pagi itu. Pakaianku berantakan, mataku lelah, rambutku tak lagi terikat rapi. Eren terperangah, kaget menatap ujung kuku jariku menghitam rusak seperti telah menggali tanah. “Ini jelas terjadi sesuatu yang tidak beres,” yakinnya.
Di hari libur Eren kembali berkunjung. Aku tak menghiraukannya, hanya tertidur lelap di sudut kamar. Seperti detektif Eren pun melancarkan aksinya. Semuanya diperiksa namun tak menemukan jejak apapun. Ia pun bertanya kepada saudara perempuanku, ibu, dan ayah. Namun, semua menjawab “tidak” dan ”tidak tahu”.
Esok sorenya, kembali Eren mengajakku ke pantai yang sama. Tempat kami selalu menghabiskan waktu di penghujung senja. Di sana aku hanya duduk dan menggali pasir menggunakan telunjuk. Eren terus memandangiku. Tiba-tiba saja ia menabrak tanganku menggunakan kaki. Melemparkan gumpalan pasir tepat mendarat di punggungku.
“Aku tak ingin bermain,” balasku.
Eren tak peduli, ia terus mengganggu, menghamburkan rambutku dan menarik baju. Bruk, air laut berhamburan ke atas dan jatuh tak karuan. Eren telah mendorongku. Wajah ku memerah penuh marah!
“Kau marah? Marahlah aku tak memedulikanmu,” teriak Eren mengalahkan suara ombak. Ditambahnya dengan dorongan lebih keras membuat tubuhku sekali lagi jatuh ke dalam air. Ia menarik dan terus memukul tanpa ampun ke arahku.
“Marahlah. Marahlah. Keluarkan amarahmu, keluarkan semuanya,” teriaknya dicampur tangis sembari mengguman lembut di telingaku, “aku ingin kau kembali.”
Aku hanya terpaku dalam marah bercampur aduk. Rasanya ingin memukulinya dengan keras tapi bingung melihat tingkahnya. Eren menjatuhkan badannya di hadapanku menenggelamkan wajahnya di telapak tangan.
“Ada apa Eren? Ceritakan padaku,” tanyaku pelan.
“Seharusnya pertanyaan itu kutanyakan padamu sejak berbulan-bulan lalu,” timpalnya sambil meraih tubuhku. Memelukku erat sebagai seorang sahabat.
“Maafkan aku Eren. Aku telah membunuh semuanya!”
“Tidak!” Balasnya. “Kau tidak membunuhnya. Hanya saja kau marah, kecewa, sakit. Kau terlalu menempatkan mereka lebih dominan.”
“Aku tidak lagi menginginkannya Eren. Aku tidak membutuhkannya.” Eren melihatku putus asa. Wajahnya benar-benar kacau.
“Aku hanya perlu menghabiskan hidup ini sampai waktunya. Aku mati. Tertawa, bahagia, dan mencintai hanya membuat umurku semakin panjang. Aku benci peranku di dunia ini, Eren!. Hidup sebagai seorang anak dari orang tua yang sibuk, untuk menyapaku di pagi hari pun mereka tidak mau. Seorang adik yang hanya harus menundukkan kepala, mengangguk, dan berjalan. Tidur seperti seekor keledai. Maka sebelum aku mati, akan membuatku tenang jika aku membunuhnya lebih dulu.”
Renita Pausi Ardila
Mahasiswa Departemen Sastra Inggris
Fakultas Ilmu Budaya
Angkatan 2016