Hj Andi Syahrir Makkuradde. Namanya mungkin tidak asing bagi wartawan Makassar, khususnya era 70-an. Di balik kiprahnya sebagai wartawan senior dan anggota dewan kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sul-Sel, ia melalui rentetan peristiwa jatuh-bangun yang tercatat dalam sejarah.
Seperti sebagian dari kita, Syahrir mungkin salah seorang yang tak pernah menyangka takdir akan membawanya jauh dari apa yang pernah dicita-citakannya. Sejak kecil, ia bermimpi bisa menjadi tentara. Pengalaman empirisnya menyaksikan tebaran ketakutan di mana-mana, dan melihat bagaimana sekelompok prajurit berbaju loreng berlatih untuk membela negara terpatri dalam hatinya agar bisa bergabung dengan para tentara itu .
Waktu bergulir, membawa lelaki kelahiran Bone 10 Januari 1946 ini meninggalkan kampung halamannya menuju Kota Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Setelah menamatkan pendidikannya di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), ia melanjutkan pendidikannya ke Kota Makassar, tepatnya di Akademi Maritim selama tiga tahun lamanya. Kendati kemudian, takdir pun tidak juga membawanya menjadi tentara. Ia malah masuk ke dunia lain, dunia yang bernama jurnalistik.
“Kak Syahrir tidak pernah menyangka akan terjun terlalu dalam di dunia jurnalistik, Impian kecilnya tak pernah terbesit demikian. Lantaran terlahir di situasi labil kemerdekaan era 40-an, Syahrir kecil terpaksa hijrah meninggalkan Bone menuju Sengkang,” tulis M Dahlan Abubakar, Dosen Unhas yang cukup mengenal wartawan senior itu, di website Tribun Timur.
Kiprah Syahrir dalam terjun ke dunia jurnalistik bermula setelah bergabung di Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). Tak hanya itu, di sana ia juga menerbitkan koran mingguan bernama Koran Mahasiswa (KAMI). Koran ini pula lah yang mengantarnya menjadi peserta diklat jurnalistik nasional di Jakarta waktu itu.
“Bahkan dalam suatu lomba penulisan tingkat nasional, pria pendiam ini berhasil menyabet juara III,” tulis Dahlan.
Ayah dari dua orang anak ini terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Unhas pada tahun 1973. Ketika itu pasca pemilu I Orde Baru sedang memanas, ia pun terbawa arus politik. Berbagai gerakan dimasukinya demi memperjuangkan nasib bangsa.
Pada momen 15 Januari 1974, peristiwa Malapetaka Januari (Malari) pecah. Sebulan kemudian mantan ketua Badan Komisi Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia Timur ini beserta sembilan rekannya ditangkap dan ditahan pemerintah, karena dituduh terlibat dalam peristiwa tersebut. Ia pun dibebaskan delapan bulan kemudian.
Namun selepas dari penjara, ia masih menjadi incaran para intel. Bagaimana tidak, statusnya sebagai mahasiswa sekaligus wartawan seringkali membuat penguasa merasa tak nyaman. Pemerintah pun membatasi gerakan mahasiswa dengan melarang mahasiswa mendirikan media di luar kampus, bahkan di dalam kampus pun media itu diawasi. Syahrir yang merasa terjepit akhirnya bergerilya di Dewan Mahasiswa (Dema) Unhas.
Di Dema tersebut, suami Almarhum Andi Tappa ini menjabat sebagai Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa. Ia lalu diberi mandat bersama beberapa rekannya menerbitkan koran kampus. Hingga terlahirlah Penerbitan Kampus Identitas Unhas pada bulan Desember 1974 yang ditaja oleh Anwar Arifin.
“Di Identitas, Syahrir belajar arif dan menyesuaikan diri dengan lingkungan intelektual. Bersama Anwar Arifin, ia belajar berjuang menerbitkan koran kampus yang masih bertahan hingga saat ini,” tutur M Dahlan Abubakar dalam tulisannya.
Pada tahun 1979, Syahrir lalu diterima di Koran Tempo. Di situlah Alumnus Fakultas Hukum Unhas ini memulai pertarungan barunya sebagai wartawan professional. Dalam dunia kewartawanan, ia bukan hanya sekadar jusnalis, tetapi juga sebagai penulis yang memaparkan sesuatu dengan latar yang besar dan detail.
Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1980-an, Syahrir diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di Unhas. Namun pada akhirnya ia melepaskan diri dari CPNS itu lantaran tidak enak hati karena jadwalnya yang kian padat , dan merasa hanya makan gaji buta karena tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik.
Pada 2016 tepatnya tanggal 30 November, penyakit paru-paru basah menjangkit tubuhnya, hingga menyebakan ia dalam keadaan kritis. Ia lalu dilarikan ke Rumah Sakit Unhas. Tak berselang lama dirawat di rumah sakit, Syahrir akhirnya menutup usianya.
Penulis : Santi Kartini