15 Februari 2021
Tak banyak yang bisa ku ingat jika berhubungan dengan angka. Berat badan terakhirku, jumlah uang di dompetku, total tagihan Spaylater di ponselku, tanggal-tanggal perayaan, semuanya menguap dengan mudah. Termasuk tanggal hari ini, yang kalau kata perempuan di depanku harusnya sudah kuhapal di luar kepala.
Jadi mari bantu aku mengangkat palu dan memaku ini di dinding ingatan, 15 Februari 2013 adalah hari di mana aku meminta perempuan di depanku untuk menjadi kekasihku. Sekali lagi, 15 Februari! Ulangi, 15 Februari! Terakhir, 15 Februari! Oke, cukup.
Tapi tenang, Dee — kekasihku, bukan perempuan penuh drama yang akan menangis atau melayangkan tamparan pada prianya sebab lupa tanggal jadian. Dia hanya mengeluh sekali, sebelum mengembangkan senyum tulus dan merapatkan diri memelukku, sambil merapalkan ucapan terima kasih yang banyak sekali.
“Terima kasih ya Re, terima kasih sudah mau sama-sama. Terima kasih kamu sudah berani mengatakan cinta delapan tahun lalu di danau Unhas. Terima kasih sudah mau bertahan sejauh ini. Aku gak tahu gimana aku kalau gak sama kamu.”
Selain suara, perangai perempuan itu pun sama lembutnya. Delapan tahun terakhir ini, Dee memberi dan melakukan lebih banyak. Ku cium aroma yang menguar dari rambutnya, kontras sekali dengan rambutku yang jarang diguyur shampoo.
“Fine dining yuk. Kayak pasangan yang lewat di TikTok kamu itu.”
Dee meregang peluk mendengar ucapanku. Perempuan itu menatapku sangsi. Aku paham maksudnya.
“Di Sari Laut Mas Abid,” lanjutku kemudian yang membuatnya menahan tawa.
“Dasar kamu! Ayo, aku sudah lapar!”
Setibanya kami di sana, aku dan Dee makan dengan tenang. Dee selalu menegurku jika makan sambil bicara, padahal itu kebiasaanku bersama rekan wartawan sehabis mewawancarai narasumber.
“Maaf ya, anniv cuma bisa traktir kamu di sini.”
Tangan Dee terulur mengusap punggung tanganku. Ia bilang tidak keberatan. Jangan lupakan senyum manisnya yang kemudian menular padaku. Tapi senyum milikku tak bertahan lama setelah dia melanjutkan kalimatnya. “Kan lagi nabung supaya kamu bisa nikahin aku tahun ini.”
Seandainya aku punya banyak uang, mungkin aku akan mendaftar kelas akting. Masalahnya tubuhku yang menegang, pandanganku yang tiba-tiba jatuh, dan gigitan di bibirku selalu bisa memperlihatkan kelemahanku setiap kali Dee membahas perihal pernikahan.
Seperti yang sudah-sudah, Dee paham diamku dan itu akan berlanjut dengan ia yang menyodorkan solusi terbaiknya.
“Kamu beneran gak mau terima tawaran aku? Gaji di sana lumayan tinggi, Re. Tiga bahkan empat kali lipat dibanding gaji kamu sekarang. Kerjanya sama-sama menulis juga kan, Re.”
“Aku gak mau Dee. Kamu kayak gak kenal aku aja. Buat apa aku selama ini tulis berita kritik pemerintah kalau ujung-ujungnya aku kerja jadi Humas Pemprov. Buat apa aku berusaha kuak bobroknya mereka kalau ujungnya aku harus duduk di kantor ber-AC dan tulis berita pencitraan buat badung-badung sialan itu!”
Dan seperti yang sudah-sudah pula, Dee tidak membujuk lagi. Ia kenal baik kerasnya kepalaku.
Makassar seperti kota-kota rantau lainnya saat lebaran Idul Fitri, lebih lengang, lebih sunyi, lebih kosong, dan entah kenapa lebih indah. Keindahan itu bertambah karena kehadiran perempuan yang tengah memotong-motong buras di piring menjadi beberapa bagian untuk kemudian disirami kuah kari ayam.
Untuk pertama kalinya, Dee tidak pulang ke Bone. Ia lebaran di sini, bersamaku yang sudah sering tidak pulang. Di tengah kesibukannya mengaduk kari, Dee bertanya kabar keluargaku di kampung dan mengusulkan untuk melakukan panggilan video bersama mereka.
Aku terdiam. Keluargaku bukan kumpulan orang yang mengisi lebaran dengan bersuka cita di ruang tamu, tidak ada proses sungkeman, tidak ada makan dan foto bersama, tidak ada. Aku bisa membayangkan apa yang sedang mereka lakukan. Mamak pasti tengah live di Facebook, memamerkan baju lilac mengkilap berpadu perhiasan emas tiruan yang mulai menghitam.
Samir, si sulung menghilang sejak empat bulan lalu, digantikan rentenir yang rutin menyambangi rumah menagih hutang. Lela, anak ketiga itu tidak betah di rumah, hobinya melancong ke mana saja bersama gengnya, berambut pirang dengan iPhone HDC di tangan, memaksakan diri agar setara dengan yang lain.
Nunung, si bungsu, dia satu-satunya yang masih sering kuajak komunikasi. Dia satu-satunya yang sehari menjelang lebaran akan menggosok kamar mandi yang bacin itu, mengepel lantai yang tehelnya sudah retak, menyusun kue mentega sisa tahun lalu di atas meja. Dan hari ini, ia juga satu-satunya yang akan mengunjungi kuburan Bapak.
Lantas aku? Anak kedua, si pengecut yang tak berani pulang ke rumah. Pemimpi yang pernah membanggakan cita-cita di ruang makan sebelum kemudian menjudikan nasib ke kota, lantas mengenal bagaimana pemerintah dan segala tetek-bengeknya ternyata mengitari dan siap menghantam bak angin topang.
“Makan, Re.”
Suara piring yang diletakkan menghentikan lamunanku. Udara mengantar aroma kari ayam membelai hidungku.
Ketika sedang menyantap makanan buatannya, Dee mengungkapkan, Astrid, adiknya dilamar. Mereka dua bersaudara, terpaut tiga tahun dengan Dee.
“Berapa uang panainya?” Itu yang pertama kutanyakan.
Dee menjawab dua ratus juta. Bahuku terkulai, kari ayam buatan Dee kehilangan kelezatannya. Melihatku lama diam, Dee langsung menyahut, “Astrid dokter muda, Re, wajar kan. Aku pasti gak sampai segitu, kok.”
Aku tersenyum kecut. Dee memang bukan dokter, tapi ia seorang dosen muda di kampus tempat kami kuliah dulu. Cantik, pintar, baik. Kidung pujian memenuhi setiap lorong yang perempuan itu jejaki. Aku yakin, banyak pria berebut menggantikan posisiku. Pria-pria yang rela membayar mahal demi meminang si Cantik Dee.
Aku sering membayangkan bagaimana hubunganku dengan Dee akan berakhir, meski akhir yang kuinginkan adalah pelaminan. Tapi bagi orang miskin, sebuah ingin harus dikendalikan, bukan?
Malam itu. Di hari ulang tahunku, Dee datang dengan kue Harvest di tangannya. Keceriaan perempuan itu tidak berlangsung lama saat ia melihat lembaran kertas berserakan di atas mejaku.
“Kamu ikut pelatihan itu?”
“Aku lolos Dee,” ucapku mengoreksi.
“Kita sudah membicarakannya kan, Re?”
Benar. Lima bulan lalu, saat ku ceritakan bahwa beasiswa pelatihan jurnalis di Inggris kembali buka, beasiswa yang kulewatkan dua tahun lalu, dipatok oleh temanku, Jaka yang kini jadi redaktur pelaksana salah satu media besar di ibu kota.
Saat itu Dee memohon agar aku tidak mendaftar. Beasiswa pelatihan itu hanya mengakomodir program belajar saja, tidak ada uang saku, tidak ada fasilitas tempat tinggal. Lagipula, ikut pelatihan berarti aku meninggalkan Dee setahun penuh. Sedang aku sudah berjanji akan segera melamarnya. Uang tabunganku bisa tandas jika berhasil lolos dan ikut pelatihan itu.
Detik itu, kuberjanji pada Dee tidak akan mendaftar. Dee seperti biasa, memelukku sambil berkata, tahun depan setelah menikah, jika ada pendaftaran pelatihan lagi, aku akan mendukungmu Re.
“ Aku takut kehilangan kesempatan lagi Dee, ” belaku pada Dee yang sudah meletakkan kue Harvest tiramisu itu di atas meja sembarangan.
“Tapi kamu tidak takut kehilangan aku?”
“Kamu tidak akan hilang kalau kamu memutuskan untuk tetap tunggu aku.” Perempuan itu tidak lagi menatap sayu, matanya menyorot tak terima.
“Kamu ngomong seolah-olah hubungan ini porosnya ada di aku. Kamu sadar gak sih Re. Beberapa tahun terakhir, hubungan kita berputar di kamu. Tombol on-off hubungan kita kamu yang pegang. Kita arahnya ke mana, kamu yang setir dan aku cuma bisa ngikut, gak peduli kamu bawa kita melalui jalan yang gak aku tahu tujuannya.”
Deeina, perempuan itu menjeda. Aku jarang melihat air mata sedih perempuan itu, ia mudah menangis, tapi seringnya karena terharu bahagia. Kulihat ia menjilat bibir.
“Aku jadi mempertanyakan Re. Pernikahan ini…” Ada jeda pendek lagi di sana.
“Jangan-jangan, cuma aku yang mau.”
“Aku mau Dee… Tapi…”
Kuremas rambutku setelah tidak menemukan kata yang tepat.
“Tapi apa?” Perempuan itu menuntut.
Kecamuk dalam kepalaku makin bergerilya.
“Aku mau berjuang demi mimpiku Dee…”
“Apa aku bukan bagian dari mimpi kamu?”
Kamu mimpiku Dee. Mimpi terbesarku, tapi sekaligus mimpi tersulitku. Ku tahan kalimat yang mengantri ingin keluar itu, jika ingin menyudahi, lebih baik melakukannya dengan cepat. Ketika mulutku siap terbuka, gelombang udara lebih dulu mengirim suara bergetar Dee.
“Kamu tahu alasan sebenarnya aku tidak pulang lebaran ke Bone? Bukan karena aku pengen cobain sensasi lebaran di sini. Itu aku bohong Re. Tetta melarang aku pulang ke rumah kecuali aku membawa kamu melamarku. Kalau aku pulang tanpa kamu, aku harus siap dinikahkan dengan pilihan Tetta. Aku bohong saat kamu bertanya berapa uang panai Astrid, dengar dua ratus juta saja kamu kaget. Aslinya adek aku dilamar lima ratus juta, Re. Aku tidak mau kamu merasa rendah karena membandingkan diri dengan calon Astrid.”
Dee berhenti sebentar untuk duduk, meluruhkan tubuh ke kursi plastik yang merahnya sudah memudar.
“Aku yang kena, Re. Aku dibicarakan orang-orang di kampungku. Banyak sekali sebutan yang dilayangkan kepadaku. Aku disebut perawan tua, aku disebut gila kerja, aku bahkan disebut pernah hamil, mandul, dan apapun alasan lain yang mereka buat untuk menjawab kenapa aku belum menikah. Aku capek, Re.”
Pria tidak boleh menangis, itu kata almarhum Bapak dulu. Tapi Pak, sepertinya itu pengecualian untuk pria yang hatinya dipatahkan oleh takdir. Perempuanku sedang menangis Pak, biarkan aku menemaninya, supaya ia tidak menangis seorang diri.
“Bukan cuma kamu yang punya badai Re, aku juga. Bahkan sadar atau tidak, badaiku itu kamu.”
Aku sadar, Dee. Mari kita sudahi badaimu itu ya sayang.
Lama, sunyi mengitari kami berdua.
“Jadi, kita harus bagaimana, Re?”
Perempuan itu sudah selesai, selesai bicara, selesai pula berusaha.
Di saat seperti ini. Keheningan bisa terasa lebih mencekam dibanding pertengkaran. Sebab jika itu terjadi, artinya salah satu di antara kita memilih menyerah. Bukan, seorang Dee tidak kenal menyerah. Adalah aku:
“Kita sampai di sini saja ya Dee…”
Maafkan aku Dee, mau bagaimanapun aku berusaha, aku tidak akan pernah cukup untuk orang seperti kamu. Aku, keluargaku, dan kemelaratan yang sejak lahir membersamaiku, tidak seharusnya jadi mimpi buruk buatmu.
Dini hari itu, aku menyambut usia tiga puluh satu tahun dengan menyaksikan Dee yang menangis mengharap welas asih Tuhan. Kami berhasil mencintai satu sama lain, tapi Tuhan entah kenapa selalu punya rencana lain.
Penulis: Elma
Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas