“Bumi ini bisa mencukupi tujuh generasi, namun tidak akan pernah cukup untuk orang yang serakah, ” Mahatma Gandhi.
Penyebaran Covid-19 kian hari semakin meningkat. Melansir laman covid19 sejauh ini kasus pasien positif corona terkonfirmasi sebanyak 11 juta penduduk dengan total kematian mencapai 500 ribu kasus di 216 negara. Indonesia sendiri dalam beberapa minggu terakhir mengalami kenaikan diatas seribu orang positif per harinya.
Berakhirnya pendemi covid-19 tentunya sangat dinantikan masyarakat. Semua menginginkan keadaan normal kembali, tetapi harus sedikit bersabar setidaknya hingga dua tahun ke depan. Laporan dari peneliti Centre For Infectious Disease Research and Policy (CIDRAP) dengan mengacu Flu Spanyol 1918, mengemukakan bahwa covid-19 akan berlangsung sekitar 18 hingga 24 bulan ke depan. Memakai hitungan sederhana, Pendemi virus corona akan tetap ada di tengah-tengah manusia setidaknya hingga 2022.
Selain itu, penyebaran virus ini berpengaruh pada menurunnya polusi udara namun, tak berlangsung lama. Sebelum Covid melanda, kualitas udara kota Jakarta pernah bertengger di peringkat empat sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Sedangkan saat pemerintah menerapkan PSBB untuk menekan laju penyebaran Covid-19, terjadi penurunan polusi udara.
Berdasarkan data Indeks kualitas udara (AQI) pada Selasa (19/5/2020) tingkat polusi udara di Jakarta berada pada angka 67 parameter konsentrasi PM2.5 sebesar 19.7 g/m kubik yang menunjukkan bahwa kualitas udara di Ibu Kota termasuk kategori sedang dengan menempati peringkat 24 di antara kota-kota besar di dunia. Bukan hanya Jakarta penurunan secara signifikan tingkat polusi udara juga terjadi beberapa kota di dunia. Tapi kesumringahan itu hanya sesaat.
Selain polusi yang kembali menyelimuti bumi. Persoalan lain tak kalah pelik. Jika skenario buruk dari peneliti Centre For Infectious Disease Research and Policy (CIDRAP) yang telah penulis paparkan sebelumnya benar terjadi. Bumi akan dihujani satu hantaman keras lagi, persoalan limbah medis yang akan menjadi ancaman selanjutnya. Hal itu juga diungkapkan oleh Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI, Agus Haryono. Ia mengatakan, “Pandemi Covid-19 di satu sisi memberikan berkah turunnya emisi gas buang yang menghambat perubahan iklim. Namun di sisi lain, ada ancaman berupa sampah atau limbah dari aktivitas manusia terhadap virus ini”.
Melonjaknya pasien positif covid-19 berbanding lurus dengan limbah medis yang dihasilkan. Sekretaris Jenderal Perkumpulan Ahli Lingkungan Indonesia (Indonesian Environmental Scientists Association/IESA), Dr Lina Tri Mugi Astuti mengatakan bahwa satu orang pasien positif dapat menghasilkan 14.3 kg limbah medis per harinya. Angka ini belum lagi ditambah limbah medis dari pasien rawat inap yang menderita penyakit selain covid-19.
Terkait dengan pengelolaan limbah medis yang setiap hari mengalami lonjakan ini. Kemenkes telah mengeluarkan pedoman pengelolaan limbah rumah sakit rujukan, rumah sakit darurat, dan puskesmas yang menangani Pasien covid-19. Tetapi, ada beberapa persoalan dalam pengelolaan limbah medis yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh kemenkes .
Beberapa persoalan itu diantaranya, limbah medis yang bercampur dengan limbah rumah tangga. Berdasarkan temuan observasi dan investigasi dari Koalisi Persampahan Nasional mulai tanggal 1 hingga 23 Juni 2020 yang dilakukan di salah satu TPA Bekasi menemukan bahwa limbah medis banyak ditemukan di tempat pembuangan akhir domestik. Beberapa diantaranya yakni masker, sarung tangan, dan tisu habis pakai. Tentunya ini sangat berbahaya karena limbah medis tergolong limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya). Berbahaya bagi mereka yang bersentuhan langsung.
Temuan lapangan cukup menggambarkan perubahan hanya sekadar pepesan kosong yang dilakukan oleh pengambil kebijakan. Sangat mengerikan bagi para pemulung yang harus berjibaku dengan persoalan ekonomi, juga dihadapkan dengan penularan penyakit mematikan ini melalui limbah B3 yang ia pilah. Mereka anak bangsa yang harus negara ini tetap perhatikan.
Kemudian, laporan lain dari ocean magazine melalui tangkapan layar bawah laut memperlihatkan banyaknya limbah medis yang ditemukan di terumbu karang, seperti masker, sarung tangan, dan suntik. Ini akan memperparah pencemaran laut yang selama ini bumi alami.
Permasalahan limbah medis ini tentunya membutuhkan perhatian serius bagi semua kalangan, terutama pengambil kebijakan. Perhatian bukan hanya dalam penyediaan APD bagi tenaga medis, tetapi juga pembuangan limbah medis. Pembangunan incinerator harus diperbanyak dan dipercepat untuk meningkatkan kemampuan pemusnahan limbah medis di seluruh Indonesia. Bila otoritas lalai dalam mengelolanya, bukan tidak mungkin limbah medis jadi masalah sumber penyakit baru.
Penulis : Andi Ashabul Kahfi
Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Angkatan 2016.