Pada tahun 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Nadiem Makarim, mengeluarkan kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang beragam program di antaranya magang bersertifikat, Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM), kampus mengajar, dan studi independen. Program yang ditawarkan Kemendikbud menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Di tambah lagi tantangan dari adanya Pandemi Covid-19 menyebabkan proses belajar mengajar dialihkan ke dalam jaringan.
Namun setahun lebih Covid-19 berlangsung, dan pada saat ini telah mengalami penurunan kasus. Pemerintah pun telah mengeluarkan instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 44 Tahun 2021 yang tertulis status Covid-19 di kota Indonesia khususnya juga kota Makassar telah berada pada level 2 yang sebelumnya level 4. Berdasarkan instruksi tersebut, pemerintah pusat mengizinkan sekolah dan perguruan tinggi di wilayah PPKM level 2 untuk menggelar pembelajaran tatap muka dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.
Dengan kebijakan, mahasiswa telah mempersiapkan diri untuk mengikuti perkuliahan tatap muka. Begitu pun dengan Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) antara perguruan tinggi yang telah disiapkan akan digelar secara langsung. Tetapi dalam proses persiapan keberangkatan mahasiswa maupun kesiapan perguruan tinggi penerima dan menerima mendapat permasalahan.
Berdasarkan Panduan Operasional Buku (POB) bagi mahasiswa PMM, mahasiswa mendapatkan bantuan langsung yang dijanjikan terdiri dari, biaya transportasi tiket, biaya rapid antigen sebanyak 2 kali (pergi dan pulang) Rp 250.000, Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebesar 2 juta 4 ratus, biaya hidup 7 ratus ribu biaya akomodasi, 5 ratus ribu selama 4 bulan efektif kegiatan, biaya pulsa sebesar 8 ratus ribu rupiah. Masing-masing jenis bantuan memiliki ketentuan tersendiri.
Menurut mahasiswa Peternakan Muhammad Jibran, ia belum menerima bantuan finansial sama sekali. Lantaran dana yang belum cair dan perlu menyesuaikan persyaratan administrasi. “Ada banyak persyaratan administrasi yang akan dilakukan untuk mencarikan dana bantuan,” ucapnya saat diwawancari via Whatsapp, Senin (20/09).
Bukan hanya peserta PMM yang mengalami kendala bantuan finansial, tetapi peserta Studi Independen pun mengalaminya. Asril Mahadi yang sudah berada di lokasi magang yakni Kabupaten Banyuwangi. Ia menceritakan bahwa temannya ada yang membeli sendiri tiket perjalanan ke lokasi perusahaan sebab belum diberikan bantuan dari pihak MBKM. Tetapi menurutnya uang itu akan diganti.
“Beberapa peserta membeli tiket keberangkatannya sendiri sebab belum dikasih, namun pihak MBKM memberikan informasi bahwa bakal diganti,” jelasnya mahasiswa angkatan 2019, saat diwawancari via Whatsapp, Senin (20/09).
Lain hal dengan mahasiswa luar yang sedang mengikuti perkuliahan di Makassar. Mahasiswa Universitas Pattimura Mikel, menceritakan tidak mengalami kendala dana. Dalam hal ini biaya tes polymase chain reaction (PCR), penginapan dan uang saku selama di kampus penerima. Namun mengenai potongan UKT sudah ditanggung oleh Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi (BIDIKMISI).
“Selama di Makassar tidak ada kendala secara dana,” tuturnya.
Terkait bantuan pulsa sebesar 8 ratus ribu rupiah yang tercantum dalam Panduan Operasional Buku PMM. Mikel mengatakan belum menerima bantuan tersebut. Hal ini dikonfirmasi Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Sub PMM MBKM, Drs Andi Ilham Makhmud menjelaskan mengenai biaya pulsa ditiadakan dikarenakan Kemendikbud telah memberikan bantuan pulsa sampai November untuk seluruh mahasiswa.
“Bantuan pulsa sebesar 2 ratus ribu per bulan atau 8 ratus ribu dalam satu semester tidak bisa dilakukan karena Kemendikbud telah menyiapkan bantuan kuota sampai November untuk seluruh mahasiswa, jadi sementar kami memberhentikan dulu,” jelasnya.
Kemudian, Ilham mengakui terjadi permasalahan di awal mahasiswa berangkat ke kampus penerima PMM, sebab belum menerima bantuan pada proses keberangkatannya.
Ilham menjelaskan bantuan finansial ini menggunakan sistem “bisnis proses” di mana tim keuangan dari masing-masing perguraan tinggi mempunyai kelompok sendiri. Selain itu, program MBKM didukung oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
“Bisnis proses” merupakan kunci bagi mahasiswa untuk kelancaran menerima bantuan finansial yang disediakan pihak MBKM, yang dimaksud bisnis proses ialah tata cara proses agar mahasiswa dapat menerima dana tersebut. Salah satu bagian bisnis proses adalah data mahasiswa yang mereka input.
Dosen farmasi Unhas ini menceritakan program ini pertama kali dilakukan, dengan itu mereka harus berhati-hati dalam mengambil kebijakan agar tidak memunculkan kekeliruan.
“Kita dengan LPDP setiap hari berkoordinasi bagaimana mencari solusi dari persoalan-persoalan tersebut, bagaimana tata keuangannya yang accountable sehingga tidak akan salah arah,” jelasnya saat diwawancarai via Zoom, Selasa (05/10).
Menurut Ilham banyak data yang tidak akurat diterima oleh Sub Pokja PMM, seperti nomor rekening yang berbeda, nama mahasiswa yang disingkat, sehingga menyulitkan untuk dibaca. Apalagi di sistem LPDP kemarin, ada satu mahasiswa yang bermasalah, akan menghambat 8,000 mahasiswa yang lain. Namun permasalahan ini telah ditemukan jalan keluarnya.
“Ada empat mahasiswa yang mengalami masalah, hal ini akan menghalangi yang 8,000 mahasiwa lainnya, sehingga kami berbincang dengan LPDP untuk memberikan solusi dimana kami mendahulukan 4,000 mahasiswa dan kemudian tahap keduanya 4,000 lagi. Yang sudah beres di dahulukan sehingga tidak mengalangi yang lainnya dan yang masih bermasalah kami perbaiki,” tuturnya.
Namun begitu, ia tetap berharap mahasiswa mendapatkan keuntungan di semua progran MBKM. Walau terdapat kekurangan menurutnya hal ini jangan menjadi kendala. Di samping itu, mahasiswa harus memberikan masukan dan akan menjadi refleksi bagi tim Pokja.
Muhammad Alif M, Nur Alya Azahra,
dan Lusius Kasimirus Aga