Ketika berada di semester akhir, mahasiswa akan dihadapkan oleh tugas akhir sebagai syarat kelulusan dari perguruan tinggi. Skripsi merupakan tugas akhir jenjang sarjana berdasarkan permasalahan atau fenomena yang terjadi sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 53 Tahun 2023 mengenai Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Salah satu hal yang menarik pada aturan baru ini adalah pembebasan tugas akhir. Mahasiswa dapat memilih bentuk tugas akhirnya dapat berupa prototype, proyek dan sebagainya.
Bebas skripsi adalah istilah yang memiliki beberapa arti bergantung pada konteksnya. Dalam konteks akademik, “bebas skripsi” dapat merujuk pada mahasiswa yang telah menyelesaikan semua persyaratan akademik dan tidak lagi memiliki kewajiban untuk menyelesaikan tugas akhir sebagai bagian dari program studi mereka. Biasanya berarti bahwa mereka telah menyelesaikan semua mata kuliah yang diperlukan dan telah memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar.
Di sisi lain, “bebas skripsi” juga bisa merujuk pada adanya opsi untuk menulis skripsi. Beberapa institusi pendidikan tinggi atau program studi menyediakan opsi bagi mahasiswa untuk memilih topik penelitian mereka sendiri dan mengeksplorasi minat akademik mereka dan mengembangkan penelitian yang lebih mandiri dan tanpa batas.
Fenomena bebas skripsi ini tentu menjadi polemik di kalangan akademisi. Dilansir dari bundel identitas Unhas Edisi 2015, Menteri Riset dan Perguruan Tinggi saat itu, Muhammad Natsir mengeluarkan aturan baru yang mewacanakan skripsi bukan lagi sebagai satu-satunya syarat akhir kelulusan. Konon ini dilakukan Natsir untuk menanggapi munculnya kecurangan dalam bentuk pembuatan ijazah palsu, sehingga ada mahasiswa yang membeli skripsi.
Senada dengan itu, Wakil Dekan bagian Akademik Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam pada saat itu Dr Eng Amiruddin MSi turut menanggapi hal tersebut. “Bisa saja (tanpa skripsi, red), dengan catatan mahasiswa tetap melakukan penelitian. Tetap namanya tugas akhir tetapi bukan skripsi contohnya mahasiswa membuat artikel yang sudah siap dipublikasikan,” lugasnya.
Serupa dengan itu, Unhas ternyata pernah mengeluarkan aturan bebas skripsi bagi mereka yang telah meraih medali emas pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas). Dilansir dari identitasunhas.com, Unhas mengeluarkan Surat Keputusan Rektor Nomor 888/UN.4/KEP/2021. SK tersebut berisi pemberian penghargaan bagi mahasiswa peraih emas kategori presentasi pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) ke-33.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Unhas pada saat itu, Prof Dr drg A Arsunan Arsin MKes mengatakan penghargaan tersebut sebagai apresiasi mahasiswa untuk terus semangat berinovasi di bidang penalaran.
“Ibu rektor (Prof Dwia Aries Tina Pulubuhu) beri penghargaan karena baru tahun 2020 kemarin kita dalam sejarah masuk lima besar lolos pendanaan. Adanya penghargaan ini diharapkan bisa membakar semangat mahasiswa yang lain untuk terus berinovasi demi nama kampus kita,” ujarnya.
Di beberapa jurusan di Unhas ternyata menerapkan skripsi karya sebagai bentuk tugas akhirnya. Alih-alih berbentuk karya tulis ilmiah skripsi karya menghasilkan keluaran sebuah karya yang nyata, terdapat proses penciptaan di dalamnya seperti yang terjadi di departemen Ilmu Komunikasi dan Arsitektur.
Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi Unhas, Nosakros Arya SSos MIKom mengatakan skripsi karya secara metodologi tidak jauh berbeda dengan skripsi pada umumnya. Skripsi jenis ini masih menggunakan kaidah-kaidah ilmiah dalam proses pembuatannya.
“Memang tetap ada proses ilmiah di dalamnya. Misalnya ingin buat film, kita harus tau kajian tentang film terlebih dahulu, seperti ilmu tentang film, sinematografi, dan seterusnya. Jadi sebenarnya itu adalah skripsi yang wujudnya nyata, makanya namanya karya,” jelas Nosakros.
Sementara itu, Teknik Arsitektur Unhas membagi jenis skripsinya menjadi dua, yaitu skripsi berwujud riset dan perancangan. Skripsi perancangan inilah kemudian masuk dalam kategori skripsi jenis karya. Di 2022, salah satu Mahasiswa Teknik Arsitektur yang mengambil skripsi perancangan (karya), Muhammad Fathir Athariq, juga menyambut baik adanya skripsi karya ini. Menurutnya, skripsi jenis ini dapat menjadi ajang pembuktian diri atas pemahaman konsep yang telah dipelajari selama kuliah.
“Kalau saya mungkin sudah sesuai, karena kita Jurusan Arsitektur tugas akhirnya memang merancang dan adanya maket atau video 3D betul-betul memperlihatkan bahwa kita paham dengan ilmu-ilmu (yang didapatkan) sehingga bisa dipraktikkan,” ungkap mahasiswa angkatan 2018 itu.
Dengan adanya aturan pembebasan mahasiswa dalam menentukan bentuk tugas akhirnya, tentu akan menjadi hal yang sangat menarik untuk diikuti perkembangannya. Mahasiswa bebas memilih bentuk tugas akhirnya, sehingga tugas akhir tidak hanya berbentuk karya tulis ilmiah tetapi bisa juga berbentuk proyek ataupun prototype untuk mengimplementasikan pengetahuan yang telah didapatkan selama perkuliahan.
Jadi, apakah sobat iden menginginkan kebebasan memilih bentuk tugas akhirnya?
Alfarysi Dwi Putra
