Melihat sang surya terbenam dari tepi pantai sudah menjadi rutinitas bagiku. Sepeninggal orangtuaku, aku tinggal bersama nenekku yang seorang pengrajin ikan asin. Selain nelayan, profesi ini memang banyak digeluti oleh masyarakat lokal. Sepulang sekolah aku selalu membantu nenekku mengolah ikan asin jambal untuk dijual ke kota. Tapi bukan nenekku yang ke kota. Ia akan menitipkan hasil olahannya untuk dijual di pasar atau toko oleh-oleh. Meskipun nenekku masih mampu mengolah ikan asin, ia sudah tidak kuat untuk bepergian jauh belum lagi ia harus menjaga ku.
Aku sudah tinggal lebih dari 5 tahun disini. Aku sudah sangat familiar dengan kehidupan masyarakat pesisir. Bahkan beberapa teman laki-laki ku sudah diajari melaut oleh ayah mereka. Aku kan anak perempuan. Tidak mungkin aku diizinkan nenek untuk melaut. Hanya saja, pantai tempat kami tinggal sedikit demi sedikit mulai berubah. Aku tidak tau apa sebabnya. Aku jarang menonton TV atau mendengarkan radio. TV yang nenek punya sudah rusak dan radionya juga sudah kuno. Maklum saja kalau aku kurang mengerti apa yang terjadi sekarang.
Akhir-akhir ini tangkapan nelayan juga mulai berkurang. Aku pikir ini terjadi karena cuaca buruk atau air laut sedang pasang. Namun, ada hal lain di balik itu semua. Aku pernah dengar nenek dan beberapa tetangga ku sedang berbicara kalau tak jauh dari kawasan tempat tinggal kami ada tumpahan minyak. Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Aku masih berusia 10 tahun. Namun, aku pernah mendengar guru di sekolah mengatakan kalau bumi kita saat ini sudah tua dan sering sakit. Mungkin itu sebabnya sekarang sering terjadi bencana alam. Kalau kita sakit flu, ada virus yang menyebabkan penyakit kita muncul dan bisa saja membuatnya tambah parah. Tapi kalau aku sakit nenekku memberi obat padaku dan aku sembuh. Lalu kalau bumi sakit virusnya apa? Dan obatnya apa?
“Nenek, sekarang laut kita juga sedang sakit ya?”
“Sepertinya begitu. Kita berdoa saja pada Tuhan agar laut kita cepat sembuh.”
“Tapi kalau lautnya tidak minum obat sembuhnya bagaimana?”
Nenek hanya tersenyum mendengar pertanyaan ku yang lugu. Aku hanya bicara apa yang ku pikir benar. Jika kita sakit, kita harus minum obat agar cepat sembuh. Aku tidak bumi kita sakit terlalu lama. Aku kasihan melihat tangkapan nelayan yang makin sedikit. Apa aku harus mencarikan obat untuk penyakit yamg sedang diderita oleh laut ku? Tapi aku harus tahu dulu apa sebab dari penyakit ini. Sampai sekarang aku masih bertanya-tanya akan hal itu. Atau Tuhan yang memberikan penyakit ini pada bumi?
Aku juga mulai sadar. Semakin hari aku sering melihat beberapa sampah plastik hanyut di sekitar bibir pantai. Aku tidak tahu sampah-sampah ini datang darimana. Sejauh yang aku tahu, masyarakat di sekitar ini berusaha sebaik mungkin untuk mengolah sampah rumah tangga mereka. Apa ini penyakit bumi yang baru? Aku juga pernah dengar bahwa akhir-akhir ini banyak pantai yang mulai tercemar oleh sampah plastik dan limbah lainnya. Aku takut hewan laut ikut sakit karena memakan plastik-plastik ini.
Masyarakat sekitar jadi punya kegiatan lain. Membersihkan sampah-sampah asing yang berdatangan entah darimana di sekitar pantai. Sebagian teman-teman ku malah mengumpulkan sampah dan dijadikan mainan. Setiap sore aku tidak lagi bisa duduk di tipe pantai sambil menikmati desiran ombak. Melainkan membantu nenek untuk membersihkan sampah-sampah ini.
“Nenek, apa bumi kita sudah lama sakit?”
“Nenek tidak tahu. Yang pasti di zaman nenek masih seusiamu nenek masih bisa menikmati bersihnya pantai ini.”
“Terus virus dari penyakit bumi apa nek? Kata guruku kalau kita sedang sakit pasti ada virus yang membuat penyakit kita menjadi lebih parah.”
“Ya ampun, cucuku semakin pandai berbicara.” Jawabnya sambil tertawa kecil
“Jawab nek, aku mau tahu.”
“Virus yang kamu maksud mungkin ketamakan dan keserakahan manusia nak. Semakin hari manusia semakin serakah. Bumi yang mereka tempati sudah tidak dipedulikan. Tanah yang mereka injak, air yang mereka minum, bahkan udara yang mereka hirup menjadi tercemar karena ego mereka sendiri.”
“Aku tidak mengerti nek.” Ujarku sambil menggelengkan kepala
“Kelak kamu akan mengerti nak. Belajar saja yang rajin agar kamu bisa menjadi obat untuk penyakit bagi bumi kita.”
Nenek segera mengemasi kantong sampah dan segera masuk ke rumah. Meninggalkan diriku yang masih bingung dengan jawaban nenek. Aku bisa jadi obat untuk bumi? Entahlah. Aku harap aku bisa melakukan hal yang diharapkan oleh nenekku. Aku sangat menyayangi tempat ini. Bersih atau kotor aku akan selalu menjaganya seperti nenek dan Tuhan yang selalu menjaga ku.
Aku kembali duduk di pasir. Menatap matahari terbenam yang begitu menghangatkan hati. Aku harap aku dan semua orang di belahan bumi manapun tetap bisa merasakan kehangatan seperti ini dan melupakan keserakahan mereka agar bumi cepat sembuh.
Jika virus itu datang dari manusia, seharusnya penangkal virus itu datang pula dari manusia. Kepedulian dan cinta dari kita sangat berharga bagi seluruh aspek kehidupan di bumi ini
Penulis: Isnaeni Nursukmawati,
Mahasiswa Jurusan Sosiologi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas,
Angkatan 2019.