Aku menghembuskan napas panjang. Antara realita dan khayalan bak berkumpul pada satu tumpu. Mataku mengedar ke beberapa penjuru, mencoba menangkap bayangan yang nampak. Sesekali, pupil ini bergerak sekananya.
“Dia mau pindah, Ustadzah”
Kalimat itu seakan menusukku perlahan. Tangisnya yang tak kunjung reda, membuat batinku bertanya-tanya. Tapi kuurungkan niatku bertanya, aku memandanginya nanar.
“Firda..”
Tangisnya semakin menjadi. Si empunya nama, membuang mukanya. Menolak untuk menjawab walau hanya sebuah anggukan. Aku terjebak dalam diam, lalu berkata,
“Firda.. Ayo berhenti dulu nangisnya, sayang. Kita sholat ba’diyah isya’ dulu, nanti kalo Firda udah siap cerita, Ustadzah siap ngedengerin kok.”
Aku meninggalkannya dalam tangis, menuju shaf terbelakang masjid. Kulihat punggungnya mulai bangkit, lalu meraih sajadah di sampingnya. Aku tersenyum, setidaknya yakin dia tidak apa-apa. Aku memulai sholatku. Dalam hati aku sampaikan pada Ilahi, apa yang aku rasakan. Perlahan-lahan air mataku jatuh tak diundang. Berita tadi membuatku bingung sejuta kata.
Seusai sholat, aku memanggilnya. Kali ini, ia mengangguk. Berlari kecil ke arahku dengan mata merah dan wajah sembab. Buru-buru, ia menutupi wajahnya dengan mukenah yang dikenakan. Aku tersenyum. Entah apa yang harus dikatakan, aku hanya ingin memeluknya.
“Firda, sini sayang”
Ia melompat ke arahku, menangis lebih keras dari sebelumnya. Aku memeluknya hangat. Dia bahkan belum memulai ceritanya, tapi air mataku jatuh tiba-tiba. Selang beberapa menit, tangisnya terhenti sesaat.
“Firda.. Kok Firda pindah? Katanya Firda mau jadi sahabat ustadzah? Kenapa Firda bohong..?”
Tangisnya pecah kembali, dan menjadi-jadi. Ia menenggelamkan wajahnya dengan sengaja. Firda memelukku erat, seakan enggan untuk dilepas. Sementara aku mengelus kepalanya, ia bercerita banyak. Sesenggukan ia bercerita, aku tak membalasnya. Terjebak dalam kalutnya pikiran.
“Firda.. hiksss nggak mau…. pindah hikss, Ustadzah.. Firda nggak mauuu hikss. Ustadzah tolong,” air mata Firda jatuh membasahi lenganku.
Aku terpaku, jawabannya membuatku merasa bersalah. Berbagai pertanyaan justru membuat bocah kecil ini terjebak dalam kesedihan. Elusanku berhenti, aku pun tergerak untuk bertanya menenangkan.
“Firda sayang.. Kalo Ustadzah boleh tau, alasannya apa?”
“Biaya Ustadzah hiksss, adek Firda.. banyak”
Aku terhenyak.
“Firda nggak bisa jelasin?”
“Aku.. hiks.. Aku udah coba jelasin Ustadzah.. Tapi.. Tapi.. ”
“Ya Allah,” entah apa yang harus aku katakan, tangisku pecah. Seakan menyambut tangis Firda yang jatuh mendahului
“Kalo Firda di luar pondok, emang Firda hiks… bisa ngelanjutin hafalan Qur’an, Ustadzah? EMANG FIRDA BISA USTADZAH?!? NGGAK KAN, USTADZAAAAAH?! NGGAAAAAKKKK!!!!”
Dia mengangkat wajahnya perlahan. Mata merah dan wajah sembabnya terlihat lebih parah dari sebelumnya. Aku memegangi wajahnya, mengusap air matanya yang jatuh berebutan.
“FIRDA… FIRDA.. NGGAK MAU… HIKSSS… TOLONG FIRDA, USTADZAH… HIKS”
Batinku berkecamuk. Aku hanya ingin waktu berhenti.
Aku hanya ingin waktu berhenti.
***
“ASSALAMUALAIKUMMMMM USTADZAHHHH”
“AFWAN USTADZAAAH, USTADZAH RARAAAA”
“USTADZAHHH”
Teriakan-teriakan kecil itu menusuk pagi hari yang tenang ini. Membelah langit yang masih tersipu merah.
“Waalaikumsalam.. Ada apa, sayang? Mau hafalan?”, mataku tersenyum hangat, membalas sapaan bocah-bocah kecil tersebut.
“IYAHHH USTADZAAAAH! Kita mau setor hafalan Qur’an! Hehehe”, ucap Firda. Bocah-bocah kecil lainnya mengangguk pasti mengiyakan.
Aku menghela napas. Menerima dan mengoreksi hafalan mereka satu persatu. Beginilah tugasku sebagai guru honorer. Walaupun terkadang tampak membosankan, namun senyum merekalah yang menguatkanku. Setiap pagi ada saja yang datang ke kamarku, sekedar curhat, menyetor hafalan, dan lain sebagainya.
“Sodaqallahu-l-adzim. Pinterrr. Semuanya pintar.. Mumtaza!”, dua jempol sengaja kuacungkan. Mereka tersenyum bahagia. Salah satu dari mereka tertawa lepas melihat banyaknya bintang yang aku berikan di buku laporan hafalan.
“FIRDA!!! Hayoo ketawanya kok nggak dikontrol”
Ia memegangi mulutnya yang terbuka lebar. Menutupi barisan giginya yang berbaris sejajar. Matanya berbinar, seakan ingin bercerita banyak. Para santriwati berbaris menyalamiku, wajah mereka secerah mentari pagi. Aku mengelus kepala mereka satu persatu, menyelipkan sebait doa untuk para penghafal Qur’an masa depan.
“Hehehehe,” Firda tertawa. Ia sama sekali tidak bergerak dari tempat duduknya.
“Firda… Kok nggak kembali ke kamar?,” ujarku. Ia hanya membalas pertanyaanku dengan tawanya yang khas. Aku menggeleng dan berkata. “Kenapa? Mau curhat lagi yah?”
Ia mengangguk mantab dan berjalan ke arahku. Tanpa disuruh, beribu kisah pun ia ceritakan. Entah sebuah rahasia, sampai hal-hal yang tidak penting pun tak segan ia ceritakan. Aku tidak pernah menjawab, hanya mengangguk mendengarkan. Dan Firda pun tidak menuntut sebuah jawaban, ia hanya nyaman didengarkan.
“Firda.. Jadi sahabat ustadzah ya disini?”
Firda tertawa.
***
Hari-hari berjalan sama seperti biasanya. Tidak ada lagi tawa khas Firda, atau bahkan kedatangannya setelah sholat subuh di depan kamar. Aku benar-benar tidak tahu, apa yang sebenarnya Allah SWT rencanakan. Aku pun benar-benar tidak tahu, kepada siapa aku harus mengutuk.
“Ya Allah, jagalah Firda dalam sejuknya ayat-ayatmu..”
Penulis : Nadhira Noor Rabbani Sidiki,
Mahasiswa Departemen Sastra Prancis,
Fakultas Ilmu Budaya Unhas,
Angkatan 2019