“Selain doa, yang aku rasakan tulisanku merupakan media komunikasiku dengan ayah.”
Petikan kalimat di atas dikutip pada buku Jendela, halaman 104 dalam judul tulisan Sepucuk surat untuk ketiadaan. Buku perdana yang ditulis sosok jejak langkah identitas Cindy D Munandar, alumni Sastra Inggris Unhas. Di bulan Oktober 2018 bukunya yang berisi antologi cerpen berjumlah 127 halaman, terbit setelah dicicilnya mulai tahun 2014. Energi merampungkan buku, sebenarnya datang dari dorongan sang ayah.
Sosok yang paling berperan mendukungnya untuk belajar dan memulai menulis, hingga ajal menjemput di malam 17 Februari 2010. Gadis yang akrab dipanggil Cindy ini, memang sama sekali tak memiliki gairah untuk menekuni dunia menulis. Tetapi sang ayah di masa hidupnya, selalu melakukan berbagai cara agar anaknya mau belajar menulis. Awalnya ayah Cindy merangsang minat baca, dengan sering membawa Cindy ke toko buku. Membeli beberapa buku untuk dibaca kemudian dikoleksi.
Tak sampai di situ, Cindy mengungkapkan, soal ayahnya yang tidak tanggung-tanggung meminjamkan laptop untuknya dengan niat anaknya bisa merangkai kata sederhana di laptop. Saat itu, Cindy masih kelas empat SD. Bukan main girangnya, bisa menyentuh benda elit di zamannya.
Kini, usahanya yang ditanamkan ke anaknya sejak kecil menuai hasil. Kebiasaan membaca beragam buku, yang diasah sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, ikut mempertajam kemampuan meramu kalimat dan berimajinasi Cindy. Ia pun akhirnya mulai menulis, berangkat dari cerita ringan yang dialaminya sehari-hari.
Memang mendiang ayah Cindy, sangat menginginkan anaknya bisa menghasilkan buku, tetapi saat itu Cindy masih terbilang menganggap menulis bukanlah sesuatu yang perlu diseriusi. “Cita-cita saya pada saat itu bukan menjadi seorang penulis, tapi hanya mau seperti mereka, jadi dokter atau psikolog,” tuturnya.
Menginjak bangku SMP, Cindy yang semakin menganggap menulis bukanlah minatnya, sempat meninggalkan dunia tulis-menulis yang diimpikan ayahnya. Ia menghabiskan waktu senggangnya di jejaring media sosial. Sampai-sampai ayahnya memperingatkan agar dirinya tak larut dan lalai mengejar impian sesungguhnya.
“Ayah saya, sampai-sampai pernah masuk ke kamar, lalu menegur saya sambil mengatakan jangan karena hobimu itu, kamu melupakan cita-citamu menjadi penulis. Kemudian saya hanya mengerutkan dahi, lalu berkata siapa juga yang mau menjadi penulis,” katanya mengenang kembali masa SMP yang sedikit bandel.
Tak luput diceritakan gadis kelahiran 10 Mei 1996 ini, pada malam sebelum sosok ayah berpamitan kepadanya. Waktu itu tepatnya 16 Februari 2010, Cindy yang saat itu masih SMP, dipesan oleh ayahnya agar kelak ia bisa menjadi penulis. Keinginan itu tak putus disampaikan sang ayah. “Malam itu mati lampu ayah bilang, kamu nanti kalau besar jadi penulis saja yah. Saya tidak menanggapi, karena memang saya tidak mau jadi penulis,” Kata Cindy. Keesokan harinya tepat 17 Februari 2018 ayahnya pun wafat.
Saat bersekolah di SMAN 5 Makassar, Cindy mulai memantapkan niat menjadi seorang penulis. Ia kemudian masuk di Fakultas Ilmu Budaya tahun 2014. Lewat tulisan-tulisannya, Cindy punya cara tersendiri untuk mewujudkan keinginan sang ayah. Walau perkataan “Kamu harus menjadi seorang penulis,” dari sang ayah tak pernah lagi didengarnya.
Eksperimen menulis dimulainya dengan memanfaatkan media sosial. Cindy kemudian diam-diam membuat akun tumblr lalu belajar menulis di sana. Kemudian perlahan ia memanfaatkan instagram, dan membagikan tulisannya di sana. Tak disangkanya, postingannya mendapat respon bagus dari citizen. Dari situ, Cindy semakin memiliki kepercayaan diri untuk aktif menulis, hingga melahirkan buku jendela.
Perempuan yang usianya beranjak 23 tahun ini, mengatakan sangat bersyukur karena memiliki kedua orang tua yang sangat pintar mengeskplorasi bakat anak-anaknya.
Cindy juga berpesan kepada siapa saja yang mau belajar dan memulai menulis bahwa penting untuk mengenali minat, juga membiasakan membaca dan terpenting tetap menjadi diri sendiri. “Jadilah diri sendiri, ada banyak sekali jenis tulisan. Tapi coba cari yang memang kamu suka, jangan ikut-kutan karena si A menulis ini, tapi ternyata kemampuan kamu bukan di situ, jangan,” tuturnya menutup wawancara.
Syahrir Muliawan