“Cinta itu indah, begitu juga kebinasaan yang membuntutinya. Orang harus berani, menanggung akibatnya,” Pramoedya Ananta Toer.
Begitu kiranya tulisan yang muncul di layar pada akhir film Bumi Manusia. Tulisan yang dikutip dari buku berjudul sama ini dituliskan oleh salah satu penulis sastra termasyhur di tanah air, Pramoedya Ananta Toer. Pada awalnya buku ini sempat dilarang di masa pemerintahan Orde Baru, tepatnya 1981 silam karena pembahasannya condong pada politik sayap kiri. Kini, buku itu telah beredar bebas dan bisa dinikmati siapa saja penikmat sastra. Bukan hanya isinya yang menarik tapi juga sarat makna.
Seuntai kalimat dari film itu membuat saya merengungi kembali makna cinta. Jika dipikir lebih jauh, penafsiran akan cinta hingga hari ini belum mencapai kesepakatan antar para pemikirnya.
Banyak teori bertebaran di jalan, di ruang kelas, di alam liar, bahkan di hati manusia sendiri tentang cinta dan bagaimana memaknainya. Cinta memang selalu dimaknai dengan cara dan pendekatan berbeda-beda. Karena hingga saat ini memang belum ada makna utuh yang dapat mendefinisikan cinta.
Selama saya hidup pun, agaknya baru di tanggal 11 Mei 2023 rasa penasaran saya tentang cinta muncul. Untuk itu, saya menanyakan tentang arti cinta kepada kawan saya. Jawabannya beragam, dari kata sederhana seperti tidak tahu, hingga jawaban berdasarkan pandangan filsuf.
Menurut saya, cinta tidak sesempit kisah tentang dua orang yang saling suka dan menghabiskan malam minggu berdua karena menjalin ikatan. Sungguh pemikiran yang agak kurang luas ketika kita menganggap cinta sebatas hal tersebut. Cinta lebih dari itu. Bahkan cinta harusnya tidak terbatas.
Sejak kecil, dengan cara bagaimanapun kita sudah belajar tentang cinta. Cinta terhadap hidup, manusia, alam, dan sebagainya. Hal sederhana adalah cinta pada diri sendiri. Bagaimana kita merasa senang terhadap diri sendiri, bagaimana kita tetap hidup meski tahu akan lebih berat ke depannya, bagaimana kita belajar mencari jawaban dari apa yang tidak kita ketahui atau hal lainnya. Itu semua, sadar atau tidak, dilakukan dengan alasan cinta akan sesuatu.
Namun, cinta terhadap diri adalah hal yang pertama kali harus ditanamkan. Ketika saya mengikuti upgrading suatu kepengurusan lembaga, saya ingat pematerinya mengatakan, “Bagaimana kita bisa mencintai orang lain, kalau tidak mencintai diri sendiri?”
Sekitar pukul 3 pagi, ketika saya belum tertidur karena tugas kuliah yang berat, saya membaca tulisan di layar gawai saya, tulisannya kurang lebih: Jika kita mencintai diri kita sendiri, kita dapat mencintai orang lain, mengurangi kebencian dan ketakutan, serta membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik untuk ditinggali.
Saya setuju cinta seharusnya melahirkan perdamaian. Jika tidak demikian mungkin harus direnungi lagi apakah itu benar-benar cinta atau fanatisme akan sesuatu atau mungkin hanya sebuah nafsu dan hasrat belaka.
Merujuk kembali ke kalimat yang ditulis Pram di atas, “Cinta itu indah, begitu juga kebinasaan yang membuntutinya. Orang harus berani, menanggung akibatnya.”
Saya setuju cinta itu indah, bahkan bukan cuma indah, tapi sangat indah. Ketika saya bertanya tentang cinta kepada teman saya, ia menggunakan pemikiran dari salah satu filsuf masa lalu, mengatakan cinta itu sebagai dorongan diri untuk mengetahui dan merenungkan keindahan.
Namun, mengapa cinta dibuntuti oleh kebinasaan?
Menurut saya, karena keberanian untuk mengalami cinta memang memiliki konsekuensi. Dan kebinasaan adalah konsekuensi cinta. Entah itu berupa kecewa, patah hati, atau hal yang berat seperti kematian.
Nah, kalimat selanjutnya yaitu “Orang harus berani, menanggung akibatnya,” mengharuskan kita memilih. Apakah kita ingin menanggung akibatnya, atau tidak. Namun, hal seperti ini tidak seharusnya menjadi penghalang untuk mencintai, sekali lagi ingat cinta di sini bukan cinta yang disempitkan.
Maka jatuh cintalah, kepada diri sendiri, kepada orang lain, kepada lingkungan, kepada bumi, kepada alam semesta, bahkan kepada Tuhan. Hiasilah kehidupan dengan cinta. Jangan takut mengambil keputusan dalam hidup, karena selama kita mencintai sesuatu memang akan selalu ada risiko dalam setiap keputusan.
Saya pernah membaca tulisan dari bahasa Arab yang artinya kurang lebih: “Kita tidak tahu, di bagian bumi mana, di hati yang mana, atau di keputusan yang mana yang terbaik bagi kita. Tetapi kita tahu bahwa yang terbaik adalah yang dipilihkan Allah untuk kita.”
Jadi cintailah hidup yang dijalani apapun keputusannya dan apapun resikonya.
Tulisan ini ditulis berdasarkan pemikiran dan pengalaman saya, seorang remaja berusia 19 tahun menuju 20. Di sebuah tempat sederhana sambil minum kopi Vietnam drip sebagai pemantiknya untuk berpikir. Dan ditulis dengan alasan cinta akan apa yang dilakukannya dan ingin membagikannya. Selamat melanjutkan hidup dengan penuh cinta.
Muh. Amar Masyhudul Haq
Penulis adalah mahasiswa FMIPA Unhas
Sekaligus Reporter PK identitas