Tanpa disadari, Covid-19 semakin lama memunculkan batasan dalam kehidupan sehari-hari dengan intensitas dan bentuk yang berbeda-beda, salah satunya aspek pendidikan yang membuat kehidupan sangat berat dan bahkan mematikan bagi sebagian orang. Sementara yang lain dapat melalui dengan relatif mudah. Kasus stres akibat kenaikan kuantitas tugas telah sedikit banyak menunjukkan betapa beratnya pandemi, bagi masyarakat yang termarjinalkan dan inilah yang disebut kesenjangan.
Revolusi daring bagi penulis bukan berarti pula peningkatan, karena kemajuan teknologi mendegradasi aspek kemanusiaan, sedangkan disrupsi daring berpotensi mendegradasi kohesifitas (kedekatan) sosial di antara masyakarat, lalu apalah arti kemajuan teknologi apabila perspektif peningkatan secara konstruk kapitalis tersebut justru berdampak pada degradasi nilai humanisme.
Wajah industri 4.0 mungkin telah memberi jalan menuju disrupsi dalam sosial kehidupan, namun datangnya pendemi justru mendesak terakselerasi secara drastis. Disrupsi dipandang sebagai konsekuensi revolusi industri 4.0 yang merupakan pergeseran secara fundamental dalam tatanan sosial masyarakat. Pergeseran tersebut akan memicu adanya perubahan sikap dan perilaku individu maupun kelompok.
Pada aspek pendidikan, pengajaran bisa digantikan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, namun subtansi pendidikan yang didalamnya sarat akan penanaman nilai (value), pembimbingan, dan muatan karakter, dengan adanya kemajuan teknologi secanggih apapun, tidak akan bisa menggantikan peran dan kehadiran pendidik.
Maka tak heran Talcot parson berkata dalam Teori Structural Fungsional bahwa sahnya eksistensi dari perdosenan tinggi adalah sebagai bagian dari media sosialisasi, tempat dimana anak menemukan jati dirinya dan membuka wawasan baru terhadap dunia luar, kehadiran sekolah juga sebagai wadah pemberi motivasi dan prestasi atas pencapaian yang diraih.
Indonesia merupakan masyarakat yang memiliki kedekatan sosial yang tinggi. Disrupsi akan mengubah pola interaksi sosial langsung menjadi daring, dan inovasi berjalan cepat, seperti halnya Big Data, IOT, MOCs dan sebagainya.
Begitupun dengan munculnya aplikasi multiplatform seperti halnya zenius, ruang dosen, quippe, dan lainnya. Hal ini sebagai alternatif kebutuhan sekunder pendidikan, berbeda dengan disrupsi di tengah pandemi, yang berkonsekuensi untuk menyasar pada perubahan pola pendidikan primer, seperti pola pembelajaran di perdosenan tinggi yang seharusnya dipusatkan pada peran tenaga pendidik sebagai episentrum infiltrasi value pada peserta didik.
Disrupsi dan Kesenjangan Pendidikan
Melihat fenomena disrupsi hari ini, pendidikan mulai menyesuaikan dengan kondisi pandemi yang membentuk manusia, yang berpotensi terenggut oleh kemajuan teknologi. Masyarakat harus dapat adaptasi dengan cepat dengan tetap mempertahankan kesadaran humanis agar tidak terkikis.
Segelintir kebijakan mulai dicanangkan, namun kampus belum terimplementasi secara merata. program pola Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sebagai solusi, tetapi nyatanya PJJ bukanlah model pendidikan, dan ketakutan terbesar terdegradasinya interaksi sosial dan infiltrasi value dalam pendidikan. Sejatinya pendidikan merupakan upaya mencerdaskan anak bangsa secara holistik yang tidak hanya berporos pada peningkatan kecerdasan intelektual, juga harus mengembangkan kecerdasan emosional-sosial, serta spiritual. Menjadi insan berkarakter.
Berdasarkan hasil Social Network Analysis (SNA) selama masa sistem pembelajaran daring dari Mei hingga Juni, dengan #MendikbudDicariMahasiswa, terlihat jelas bahwa terdapat dua perspektif besar yang saling bertentangan, yang mengindikasikan adanya polarisasi terhadap pandangan dan kebijakan selama sistem pembelajaran daring.
Ada interaksi emosional yang kecewa atau tidak puas terhadap kebijakan pendidikan selama pandemi mulai dari UKT, kuota pemerintah, hingga kendala pemerataan jaringan. Sedangkan, yang lain menyatakan kepuasan. Intinya mayoritas mahasiswa cenderung kecewa dengan kebijakan dan sistem pembelajaran selama daring berlangsung, dan realitas itulah yang hingga saat ini masih terjadi.
Selain itu, masih banyak dosen yang mengalami kesenjangan mengenai pengaplikasian teknologi yang baik. Bagi dosen, persiapan PJJ membutuhkan waktu dan kemampuan khusus dalam melakukan pembelajaran. Kompetensi profesionalitas dengan pelatihan harus terus digenjot untuk mendukung daya penguat kemapanan sumber daya menghadapi disrupsi.
Diperlukan adanya persiapan sumber daya yang mapan terlebih dahulu untuk mensinergiskan antara entitas manusia dan teknologi menghadapi disrupsi ini. Kita harus mengetahui bahwa dalam penerapan pola pendidikan daring, diperlukan pertimbangan kondisi tiap demografi daerah dan keadaan sosial.
Pada akhinya disrupsi pendidikan di Indonesia masih menyisakan segelintir anomali, digitalisasi yang dipandang sebagai kemajuan dalam kacamata kapitalis, tentu belum dapat dimaknai sebagai peningkatan dari segi revolusi humanis, selain itu kesiapan faktor dan daya dukung harus menjadi pertimbangan awal sebelum mengimplementasikan secara komperehensif.
Membangun insan yang cerdas dan berkarakter adalah esensi dari pendidikan seutuhnya. Keduanya tidak bisa dipisahkan, bagaikan dua keping sisi mata uang. Manusia cerdas tapi tidak berkarakter adalah manusia yang membahayakan. Persona yang berkarakter namun, tidak cerdas adalah manusia lemah.
Kesenjangan memang telah menjadi kondisi faktual bangsa ini, jauh sebelum Covid-19 melanda, namun bagaimana pun formulasi kebijakan harus dapat menjawab tantangan demi menjaga subtansi pendidikan. Pendidikan sejatinya haruslah inklusif dan dapat digapai oleh siapapun. Sudah sepatutnya kesenjangan yang terjadi dapat segera dipecahkan, agar pemerataan pendidikan dapat terwujud.
Penulis Andi Muhfi Zandi M merupakan Juara 2 Lomba Opini Dies Natalis ke-46 identitas Unhas, sekaligus Mahasiswa FISIP Universitas Brawijaya.