Pagi mulai tiba. Matahari mulai merangkak naik, menggapai langit untuk menyinari dunia. Hari ini cerah, awan hitam tak nampak. Saya bertemu dengan beberapa relawan di tempat yang telah disepakati. Awal pertemuan, kami saling menyapa, lalu siap-siap untuk berangkat. Sebelumnya, kami tertunduk, melingkar dan saling mengucapkan doa sesuai keyakinan masing-masing.

Kami berangkat ke Sekolah Kolong yang terletak di Kampung Bara Barayya, Dusun Tanete Bulu, Desa Bontomanurung, Kecamatan Tompo Bulu, Kabupaten Maros. Perjalanan untuk tiba di titik pertama (tempat menyimpan kendaraan) memakan waktu yang sekiranya lebih satu jam.
Kami duduk di rumah panggung, lalu istirahat sejenak. Berlanjut menunaikan kewajiban. Sambil menunggu tim kedua membawa bahan-bahan material. Sebab Sekolah Kolong merupakan gerakan sosial, selain di bidang pendidikan. Namun sekarang ini sedang membangun sekolah untuk adik-adik yang ada di sana.

Setelah beberapa waktu berlalu, tim kedua akhirnya tiba juga, bersama bahan material, yakni seng dan semen. Semua relawan bersepakat untuk tidak dulu membawa semen, sebab lebih baik mendahulukan yang ringan untuk dibawa ke lokasi Sekolah. Kami bergegas, bekerja sama untuk melipat seng agar lebih mudah untuk dibawa. Sementara di tempat lain, divisi komsumsi sedang menyiapkan asupan bahan bakar untuk perjalanan yang cukup jauh. Melewati lembah, gunung dan sungai.
Langkah kaki kami semakin menjauh bersama material. Di perjalanan, nampak jejeran gunung nan elok, pohon-pohon hijau terlihat semakin kecil. Langkah kami penuh semangat, memasuki hutan yang cukup rimbun. Terlihat Rombongan di depan rihat sejenak. Hingga kuputuskan jua untuk singgah meregangkan otot. Tak lama, seorang kawan berseru untuk melanjutkan perjalanan. Semua bergerak dan mengambil bawaan masing-masing. Jalanan yang kami tempuh cukup ekstrem, penurunan hampir 80 derajat, disertai tanah licin.
Aku melangkah pelan-pelan, kuusahakan untuk tidak jatuh di jalan terjal. Namun apalah daya, sandal yang kupakai malah tersangkut di akar pohon mangga. Plak... aku akhirnya terpontang panting bersama bawaanku. Aku bergegas untuk bangkit kembali. Berusaha untuk tidak terlihat oleh kawan-kawan yang lain. Aku segera mengangkut kembali seng dan tasku yang terjatuh. Aku kembali berjalan menyusul teman dengan kaki telanjang. Sandalku putus.
Beberapa waktu berlalu, kami akhirnya tiba juga di tempat tujuan. Aku dan beberapa kawan, memilih untuk berada di teras rumah bagian depan. Menikmati kopi yang masih panas, lalu bercengkerama. Kami menceritakan pengalaman serta alasan ikut bergabung di Sekolah Kolong. Tak terasa malam telah larut. Satu persatu dari kami memasuki ruang tengah untuk istirahat. Hanya tersisa beberapa orang, salah satunya aku. Pembahasan tengah malam makin seru saja. Mulain dari gunung, buku hingga ke perihal cinta.

Keperpercayaan kalimat pendidikan untuk semua, dengan melihat realitas di tahun 2018 yang katanya menuju “revolusi industri 4.0”, ternyata masih ada sekolah yang hanya berada di bawah kolong rumah.
Melihat keadaan sekolah di sini cukup mengharukan. Kupikir hanya sekolahku saja yang dulu tidak layak, namun sekolah yang kujumpai kali ini bahkan jauh lebih tidak layak dibanding sekolahku yang dulu. Sekolah yang ada di pelosok negeri ini. Dari situlah, aku turut kagum dan bangga kepada kawan-kawan yang menghabiskan waktu pekannya, untuk selalu bertandang ke tempat ini. Aku salut dengan para anak muda yang rela menjauh dari kota, tanpa sinyal, tanpa kerlap-kerlip lampu, demi sebuah dedikasi. Memanusiakan manusia.
Tak lupa kepada Daeng Raga, salah satu masyarakat di sana yang telah memberikan kami tempat penginapan. Ia sosok yang sangat luar biasa. Walau tak sempat berbicara banyak dengan beliau, tapi banyak hal yang bisa kudapatkan darinya. Utamanya tentang kegigihan dan perjuangan.
Perjalanan pulang tidak banyak menguras tenaga. Tidak seperti pada perjalanan pertama. setelah melewati jembatan gantung, dan sedikit mendaki, tibalah kami pada pemandangan alam yang sungguh luar biasa indah. Seolah alam memberi pesan untuk kembali lagi, dan lagi.
Tepat pukul 17.09 kami tiba di tempat penyimpanan kendaraan. Beristirahat sejenak, lalu berdoa dan bersiap untuk berangkat menuju kota Makassar. Tiba di rumah pukul 20.11 malam, akhirnya aku sadar, lelah yang ada hanya biasa saja jika dibandingkan adik-adik yang ada di sana. Ketika sebagian dari kita merasa hidup ini sangat sulit, kusarankan untuk sesekali ke desa. Mungkin hal itu akan membuatmu sadar, kita masih lebih beruntung dari sebagian manusia yang ada di Indonesia. spesial untuk para relawan yang keren, terima kasih membuatku menemukan keluarga baru. Ayo atur lagi, kita ke sana lagi, ajak yang lain. Makin ramai makin seru, maka lihatlah senyum semangat manis dari adik-adik kita. Mari ke Sekolah Kolong.
Penulis : Bagus. WS
Penggiat Literasi dan dan Pemerhati Sosial