Libur semester telah lama dinanti. Teman-teman sekelasku tertawa riang, mengekspresikan kebahagiaan atas berakhirnya perkuliahan semester ini. Mereka telah terbebas dari dosen killer yang mengajari kami, serta tumpukan tugas yang menyiksa hingga membuat kami rela tak tidur.
Liburan semester ini dimanfaatkan teman-temanku untuk pulang kampung. Tak terkecuali Yusuf Umar, sahabat satu kosku yang berasal dari Aceh. Saya lebih sering memanggilnya dengan Aduen. Kata yang ku peroleh dari internet. Tak salah saya memanggil dia dengan kata ini, karena umurnya 1 tahun lebih tua dari saya. Dia juga setuju dengan sebutan nama itu. Katanya, aduen dalam bahasa Aceh berarti kakak laki-laki, sesuai dengan realita umur kami.
Aduen, telah mempersiapkan diri untuk pulang kampung sejak dua minggu yang lalu. Pakaian sudah disiapkannya ke dalam koper bersama kue khas makassar yang dibelinya dua hari lalu. Katanya, ia akan memborong kue khas makassar karena pulang kampung semester lalu, orang di rumahnya berpesan untuk dibawakan oleh-oleh khas makassar, khususnya bannang-bannang (orang bugis menyebutnya nennung-nennung, atau sarang burung). Kata kakaknya kue itu enak dan unik, seperti benang yang sembrawutan.
*****
Malam ini, malam terakhir kami bersama karena besoknya si Aduen akan pulang kampung.
“Kau tak pulang,daeng?” tanyanya padaku.
“kèe tidak pulang. Mauka cari kerja dulu,” jawabku menggoda Aduen dengan sedikit bahasa Aceh dengan logat Makassarku .
Saat berbaring di tempat tidur, saya dengan Aduen kembali membangun cerita. Kali ini tentang pengharapan dan semangat juang. Motivasi memperjuangkan hidup yang kerap kali terlontar dari mulut Aduen semakin menambah semangatku untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan minatku, bekerja di kantoran. Setelah melalui percakapan panjang, kami mulai terlelap.
***
“Ashalatu kahirun minannaum…”
Lantunan azan subuh membangunkan tidurku. Saya pun membangunkan Aduen. Setelah itu, kami menuju masjid dekat kos untuk menunaikan kewajiban. Tak lupa doa-doa penyemangat kami panjatkan pada sang khalik.
Pagi ini, pagi yang menyedihkan bagi kami berdua. Si Auden akan berangkat dengan kemeja birunya yang kubelikan sebulan lalu. Kemeja itu sengaja kubelikan untuknya saat mendapat upah hasil dari les privatku.
“gagah sekali ki’ pakai baju itu,” kataku, menggoda Auden. Ia hanya tersenyum dengan senyuman khasnya. Kami lalu saling merangkul. Dalam rangkulan yang hangat itu, mengalirlah kata-kata penyamangat kami. Kata-kata itu terus terucap seiring derasnya air mata yang mengalir di wajah kami berdua.
“hati-hati ki‘. Salamak ki sampai tujuan ta,” kataku, Setelah melepas rangkulan, saya kemudian mengangkat koper Auden menuju mobil jemputannya. Sebelum naik ke mobil, kami kembali berpelukan di samping mobil.
“Saya pulang ya,” kata Auden. Saya hanya tersenyum, sembari membalasnya “Selamat sampai tujuan,”. Setelah kepergian Auden, Saya kembali ke kamar untuk merapikannya.
Hari ini, saya berencana untuk mencari pekerjaan. Beberapa hari yang lalu saya telah memasukkan lamaran kerja di sebuah perusahaan dekat kampusku. Katanya, HRD akan menelepon untuk jadwal wawancara, hari ini tepatnya, tetapi sampai sekarang ponselku masih belum berdering.
“Mungkin si HRD-nya lupa,”kataku dalam hati.
Saya berharap ada panggilan masuk di ponselku, utamanya dari HRD perusahaan, tetapi sampai sore pun panggilan telepon dari si HRD tersebut belum masuk juga. Saya mulai patah semangat. Mungkin saja belum rezeki untuk bekerja di perusahaan itu.
****
Sudah tiga hari saya menanti telepon HRD, tetapi tak kunjung datang jua. Akhirnya saya putuskan untuk melamar pekerjaan di tempat lain. Saya pun mulai mencari lowongan kerja lewat notebook pemberian Auden beberapa bulan yang lalu. Notebook itu diperolehnya saat mendapat hadiah juara kompetisi nasional di Bandung beberapa bulan yang lalu. Saya pun kembali teringat padanya. ingin ku berkabar, tapi kupikir, saya tak mau menganggunya dulu. Mungkin saat ini dia sedang temu kangen dengan keluarganya. Saya pun mengurungkan niat.
Setelah melihat-lihat pekerjaan di laman lowongan kerja, saya merasa tak ada yang cocok denganku. Semua persyaratannya minimal berpendidikan S1. Kalau pun ada untuk lulusan SMA, hanya sebagai sales saja. Namun, bagiku pekerjaan itu juga mulia. Tapi sayang, saya tak berbakat di bidang itu. Saya pun mengurungkan niat.
*****
Ponsel ku berbunyi, saya harap itu dari HRD perusahaan. Saya pun segera mengambilnya. Sayang, ternyata itu bukan dari HRD, tetapi dari dosenku. Saya sedikit ragu untuk menjawab panggilan itu, mungkin saja itu untuk perbaikan ujian, pikirku.
Ponselku kembali berbunyi, ternyata dari nomor yang sama. Dengan perasaan takut, saya menjawab panggilan itu. Ternyata dosenku meminta saya untuk menemuinya siang ini. Saya pun segera bersiap dengan tampilan serapi mungkin. Akhirnya tiba lah saya di depan ruangan dosenku. Perasaan takut kembali menghampiriku. Mungkin saya akan disuruh ujian lagi. Entah..
“Assalamualaikum,” ucapku sambil mengetuk pintu ruangan dosen.
“waalaikum salam. silahkan masuk!” sahut dosenku dari dalam ruangannya.
Saya pun di suruhnya duduk. Ia menceritakan suatu hal. Hal yang tak kusangka akan masa depanku. Hari ini ia baru saja mendapat undangan dari pihak rekorat. Undangan itu dari Menteri Pendidikan. Undangan beasiswa melanjutkan studi sampai doktor. Hanya ada sepuluh mahasiswa dari seluruh Indonesia yang menerima beasiswa ini. Saya salah satunya, Haeruddin.
Mendengar itu, sontak, air mataku langsung jatuh. Tangis bahagia pun tercipta, saya segera menghubungi Auden untuk menyampaikan kabar gembira ini. Auden menanggapinya dengan penuh bahagia jua.
“Ini adalah rezekimu, proses perjuangan dan cita-citamu selama ini, yang ingin kau raih dalam keterbatasanmu. Semua harapan dan cita-cita yang tertempel di dinding kamar adalah dinding kebahagiaan. Yakinlah akan mimpimu, insya Allah segala mimpi-mimpi yang kau tulis di dinding kebahagiaan itu akan tergapai.” Ungkap Auden melalui telepon.
Kami pun mengakhiri percakapan sore itu dengan penuh kebahagiaan dan berucap rindu ingin segera berjumpa.
Hae’ Azzam
Aggota Forum Lingkar Pena