“Don’t demand that things happen as you wish, but wish that they happen as they do happen, and you will go on well.” – Epictetus
Sadar atau tidak, bahwa ada orang yang mencintai kesedihan, bahkan dengan sengaja membuat dirinya bersedih. Tidak banyak yang sadar akan hal ini. Apa yang menyebabkannya? Secara biologis manusia lebih cepat merangsang rasa kesedihan dan mendefinisikannya, dibandingkan kebahagiaan itu sendiri.
Penyebab lain, bahwasannya manusia selalu saja mengharapkan hal-hal baik dalam kehidupannya, dan ketika itu tidak sesuai harapan, ia akan merasa sakit hati, kecewa yang berujung membuatnya bersedih. Hal ini berkesinambungan dengan filosofi stoikisme, konsep stoikisme menganggap bahwa penderitaan yang kita alami disebabkan oleh diri sendiri.
Sedikit cerita mengenai seorang wanita penderita Kardiomiopati Takotsubo, sebuah penyakit yang disebabkan sakit hati yang tak kian sembuh. Sebut saja namanya Kanyah, kesedihannya memupuk sejak di bangku Sekolah Menengah Atas, saat dia putus dengan kekasihnya. Hubungan yang telah dijalani selama dua tahun kandas karena orang ketiga yang membuatnya merasakan sakit hati mendalam, karena merasa dikhianati oleh sang kekasih.
Dalam konsep stoikisme, hal yang dirasakan Kanyah adalah sebuah kesalahan yang disebabkan oleh dirinya, menilik penyebab dari kesedihannya yang disebabkan oleh putus, dimana hal tersebut tidak pernah terpikir oleh dirinya, ia hanya berekspektasi atas kebahagian yang terus menerus dan tidak menyadari bahwa kemungkinan terburuk dapat terjadi.
Sebenarnya, perasaan kesedihan dan kebahagiaan sangatlah berkaitan dengan ekspektasi. Ekspektasi adalah harapan yang tidak konstan, yang timbul dari gagasan tentang sesuatu di masa mendatang. Ketika kita berekspektasi bahwa hal yang diharapkan berjalan baik, tapi ternyata hal tersebut tidak berjalan dengan baik, hal tersebut membuat kita merasa sedih. Dibandingkan ketika kita realistis terhadap kemungkinan akan tidak berjalan baik, kita memang mengantisipasi hal tersebut. Seperti halnya Kanyah, jika saat memutuskan memulai hubungan telah mengekspektasikan akan terjadi kemungkinan terburuk yaitu tidak akan bersama, ia tidak akan merasakan sakit yang terlalu dalam sampai membuatnya menderita Kardiomiopati Takotsubo.
Stoikisme menganggap bahwa ekspektasi yang lebih baik adalah mengekspektasikan hal terburuk dalam memandang masa depan. Ekspektasi lebih sering membawa ke hal-hal yang menyakitkan, ekspektasi juga berbanding lurus dengan rasa kecewa. Semakin tinggi ekspektasi maka akan semakin tinggi pula rasa kecewa yang akan didapatkan, dan pada akhirnya ekspektasi tinggi tersebut hanya menciptakan emosi-emosi negatif yang menimbulkan kesedihan.
Berekspektasi pada hal yang terburuk membuat kita lebih siap menghadapi hal buruk yang mungkin akan terjadi. Dengan begitu, ketika kemungkinan terburuknya menjadi realita, kita tidak kaget dan sekecewa itu. Karena kita sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuknya dan kita siap menghadapi hal tersebut dan dapat mengendalikan perasaan itu. Kalaupun ternyata realitasnya tidak seburuk yang diekspektasikan, kita akan lebih bersyukur dan bahagia karena realitasnya tidak seburuk itu.
Hal tersebutlah yang ditekankan oleh filosofi stoikisme. Stoikisme merupakan sebuah filosofi yang berkaitan dengan kebahagiaan hidup dan bagaimana menghindari pikiran-pikiran stres dan jenuh, yang menitikberatkan pada kesadaran dan perubahan pola pikir. Ilmu ini mengajarkan pada kita tentang bagaimana kebahagiaan seseorang itu bersumber dari hal-hal yang dapat dikendalikan. Seseorang yang telah menerapkan stoikisme tidak akan mudah terbawa oleh emosi dan tetap tenang ketika dihadapi oleh kemungkinan terburuk.
Para filsuf stoic menganggap kebahagiaan itu bukan untuk dikejar. Cara mendapatkan kebahagiaan tersebut dengan bagaimana kita dapat mengurangi emosi negatif, mulai dari marah, dan sedih, dengan memperbaiki pandangan atau perspektif. Dari hal-hal itu kita akan lebih mampu mengendalikan perilaku dalam menghadapi emosi tersebut dan mencapai kebahagiaan dengan ketenangan sekaligus.
Jika sejauh kamu membaca tulisan ini, kamu menganggap bahwa stoikisme mengajarkan kita untuk pesimis, hal itu salah. Stoikisme tentunya juga tidak mengajarkan manusia optimis, konsep pemikiran ini menekankan dalam berharap segala hal itu secara rasionalitas dan realistis dengan menuntut pada pemikiran dan pertimbangan yang logis, yaitu dengan konsep selalu melakukan yang terbaik dan bersiap untuk hal yang buruk.
Bukan hal yang mudah memulai konsep pemikiran ini, mengingat sejak kecil kita didoktrin untuk mendambakan hal-hal baik. Sama dengan halnya saya, sudah sejak lama saya mengetahui konsep pemikiran ini, namun terkadang saya tetap saja terluka dikarenakan hanya mengekspektasikan yang terbaik, mengubah suatu pola pikir memang membutuhkan proses dan waktu yang lama.
“Jika kamu mengharapkan bahwa semesta hanya memberikan semua hal-hal baik yang diinginkan, maka yang kamu dapatkan justru kekecewaan.” Hidupmu tergantung pada bagaimana kamu memandangnya.
Nur Alya Azzahra
Penulis Merupakan Mahasiswa Program Studi Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin
Angkatan 2019
sekaligus Reporter Identitas