Konstruksi sosial membentuk berbagai macam sterotip masyarakat pada umumnya terhadap perempuan. Semisal, perempuan cantik diidentikkan dengan kulit putih atau sawo matang, tinggi semampai, rambut panjang, dsb. Maka, perempuan dengan penampilan yang bersebelahan dengan sterotip tadi ialah perempuan yang kurang cantik atau tidak cantik sama sekali. Selanjutnya, citra perempuan tak jarang dikait-kaitkan dengan kasur, sumur, dan dapur. Seakan perempuan ada hanya untuk menjadi bawahan laki-laki.
Akan tetapi, lambat laun, perempuan mulai bangkit dan berusaha mendapatkan tempat dan citra yang lebih baik. Hal itu sekarang kita kenal dengan sebutan kesetaraan gender. Para perempuan mulai menyuarakan kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Lalu, bagaimana kesetaraan gender selayaknya diterapkan? Berikut kutipan wawancara Reporter identitas, Ervina, bersama Endah Lismartini atau yang kerap disapa Mbak Endah saat memberikan materi di acara Kelas Sekolah Jurnalistik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar.
Bagaimana tanggapan Anda terkait penerapan konsep kesetaran gender dalam dunia pendidikan khususnya di Perguruan Tinggi?
Yang harus diingat adalah bahwa perempuan juga punya hak yang sama untuk mendapatkan kesempatan belajar dan perempuan juga punya hak yang sama untuk berkiprah di dunia pendidikan. Jadi jangan lagi karena dia perempuan dia tidak boleh mengambil jurusan ini atau jurusan itu. Disinilah dilihat bahwa walaupun identik dengan laki-laki, seorang perempuan pun boleh mengambil jurusan tersebut. Karena setiap makhluk itu mempunyai hak yang sama. Jadi, meskipun dia perempuan jika ia memiliki keinginan atau ketertarikan di dunia-dunia maskulin, itu perempuan punya hak yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi.
Kebetulan di Unhas itu, rektornya adalah perempuan, bagaimana pandangan Mbak terhadap itu?
Senang banget. Karena memang di dunia pendidikan itu, banyak juga yang masih maskulin, terutama pendidikan tinggi. Kepala sekolah perempuan di SD, SMP, dan SMA sekarang sudah mulai banyak. Namun jabatan rektor masih banyak diduduki oleh kaum laki-laki. Jadi kalau di Unhas rektornya perempuan keren banget. Berarti kesetaraan mulai bermain di Unhas. Artinya Unhas sudah memberikan kesempatan yang setara bagi perempuan untuk mengaktualisasikan potensinya.
Namun, bagaimana dengan tanggapan beberapa pihak yang masih memandang itu sebelah mata dengan mengatakan kenapa rektor Unhas itu perempuan?
Orang-orang yang mengatakan dan berpandangan seperti itu perlu diajak berdiskusi tentang kesetaraan gender. Tidak boleh terjadi diskriminasi hanya karena dia perempuan. Dia tidak boleh jadi rektor padahal secara kompetensi dia sangat layak atau dari segi keilmuan dia layak untuk jadi rektor. Jangan karena merasa laki-laki, si perempuan ini menjadi tidak berhak, tidak boleh seperti itu juga kalau dia berkompeten, kenapa tidak. Waktunya perempuan, waktunya maju, dan bukan berarti tidak layak, ini hanya berkaitan dengan tidak adanya kesempatan.
Mengenai kasus pelecehan di UGM, bagaimana pandangan Mbak terkait dengan hal itu? Kenapa justru korban seakan disalahkan oleh publik?
Jadi begini, jika terjadi kasus pelecehan, kekerasan, dll. Hal pertama yang mesti kita lakukan adalah berpihak kepada korban. Jadi, cukup dengarkan korban. Karena kan itu terjadi di tempat yang sulit untuk mendapatkan saksi sehingga yang perlu kita percaya adalah korban. Karena dia yang merasa dirugikan, dia yang merasa dilecehkan dan dia juga yang merasa mengalami hal itu.
Apa yang melatarbelakangi sehigga kasus-kasus pelecehan masih terjadi di lingkungan pendidikan?
Karena tidak semua orang mau menerima perubahan atas pola berpikir. Selama ini orang sudah terlalu nyaman dengan posisi bahwa laki-laki adalah yang paling utama dibanding perempuan, laki-laki lebih super power, laki-laki adalah ordinat dan perempuan adalah subordinat. Sehingga meski di kampus, hal tersebut masih terjadi karena memang butuh jiwa besar untuk menerima hal itu, karena sekarang eranya kesetaraan.
Bagaimana sih sebenarnya perguruan tinggi melihat kasus seperti yang terjadi di UGM ?
Sebaiknya hal pertama adalah tidak menghakimi, tidak langsung memutuskan siapa salah dan siapa yang benar. Karena penghakiman itu tetap ranahnya hakim. Harusnya perguruan tinggi, melihat kasus dengan mencari solusi tetapi tidak langsung menghakimi bahwa tidak ada pelecehan seksual, itu terjadi karena suka sama suka, tidak bisa seperti itu. Tapi pihak kampus wajib mendengarkan semua pihak. Saat korban telah melapor, itu telah masuk pada ranah pengadilan, baru setelah itu kampus mengikuti apa yang telah divoniskan oleh pengadilan. Jadi jangan mengambil tindakan sendiri.
Perlukah ada regulasi dari pihak kampus terkait dengan penanggulangan dari kasus tersebut?
Itu petlu karena sekarang kasus-kasus seperti itu, banyak terjadi. Jadi kampus yang progresif, harusnya juga cepat mengadopsi ini. Apalagi di zaman sekarang orang-orang tidak takut lagi bicara saat ia menganggap itu adalah pelecehan. Regulasi yang pantas untuk dibentuk itu adalah ranahnya kampus untuk membentuk perwakilan-perwakilan mahasiswa dan meminta saran untuk mencegah hal tersebut terjadi.
Sebagai agen perubahan, ketika terjadi pikiran-pikiran yang memerdekalan seseorang, mahasiswa punya peran di situ. Untuk menyebarkan bahwa setiap perempuan setiap manusia punya hak yang sama untuk hidup, beraktivitas dan untuk mengaktualisasikan dirinya serta untuk meluangkan potensinya perempuan punya hak yang sama. Laki-laki dan perempuan, tidak hanya untuk salah satunya. Jadilah mahasiswa yang mengambil peran sebagai agent of change, jangan hanya kuliah pulang kuliah pulang.
Semoga perempuan dari Sabang sampai Marauke akan bisa berdiri setara dengan laki-laki, bisa sama-sama mendapatkan hak yang sama. Semua perempuan bisa mendapatkan hak yang sama untuk menjadi pejabat publik, serta untuk mengaktualisasikan diri dan potensinya. Sehingga ke depannya perempuan dapat mengatakan “Saya mau ini, Saya akan melakukan ini, dan Saya akan mewujudkan mimpi Saya”.
Data Diri
Nama : Endah Lismartini
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, November 2nd 1973
Pendidikan : Sarjana Komunikasi, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta
Jenjang Karir
2015 – sekarang : Editor berita di viva.co.id
2014 – 2015 : Editor berita di rimanews.com
2013 – 2014 : Editor berita di kabar3.com
2011 – 2013 : co editor, Tabloid Prioritas
2004 – 2011 : free lance editor
2002 – 2004 : Editor Majalah Ummi dan Aisha
1999 – 2002 : Reporter Majalah Pilar
1997 – 1999 : Reporter Tabloid PARON