“Saya merasa hidup ketika menari dan menulis.”
Kutipan ini datang dari Fitrah Ramadhan, seorang mahasiswa difabel di Universitas Hasanuddin (Unhas). Sebagai seorang tuli, Fitrah menemukan kekuatan dalam setiap gerakan tarian dan setiap kata yang ia tulis. Di tengah kesunyian, ia menciptakan suara yang membawa pesan inklusivitas dan semangat kepada semua orang.
Memulai kembali perjalanan akademisnya, Fitrah mengenang betapa sulitnya bagi seseorang dengan keterbatasan sepertinya untuk bisa berkuliah di Kampus Merah. Saat itu, Unhas belum menggandeng kampus inklusif sehingga para difabel memiliki peluang kecil. Fitrah bahkan membutuhkan waktu tiga tahun untuk mencoba hingga akhirnya dinyatakan resmi menjadi mahasiswa Sastra Indonesia Unhas.
Dulu, Fitrah sempat berkuliah di Universitas Negeri Makassar (UNM). Namun, seorang dosen Unhas yang juga pejuang disabilitas, Dr Ishak Salim SIP MA, terus mendorong setiap kalangan difabel untuk berkuliah di kampus terbaik se-Indonesia Timur itu. Berkat dukungan tersebut, ia menjadi mahasiswa baru untuk kedua kalinya meskipun ada perbedaan usia yang jauh dengan teman-teman angkatannya.
“Saya tidak malu karena punya tujuan ingin mewujudkan kampus inklusif. Itulah mengapa saya yakin berkuliah di sini adalah bagian dari motivasi para teman tuli agar dapat berkuliah juga,” tulis Fitrah saat dihubungi melalui WhatsApp.
Namun, perjalanan Fitrah di Unhas bukan tanpa hambatan. Pemberian materi oleh dosen dan sesi presentasi kelompok menjadi tantangan tersendiri baginya. Saat dosen mengajar, ia harus mengandalkan aplikasi teks suara di ponselnya. Namun, aplikasi ini tidak selalu bekerja dengan sempurna akibat sinyal yang buruk dan suara yang sering bertabrakan dengan suara latar yang bercampur.
Sebagai mahasiswa Tuli, Fitrah menemukan panggilan baru dalam mengajar bahasa isyarat bersama Pusat Disabilitas (Pusdis) Unhas. Kelas ini pertama kali diinisiasi oleh Ishak dan para relawan difabel lainnya di Unhas.
Tak ingin menyebut dirinya guru, Fitrah menegaskan dirinya adalah teman Isyarat. Sejak tahun lalu, ia mulai mengajarkan bahasa isyarat dengan menggunakan ekspresi tubuh yang dihubungkan dengan emosi. Pria kelahiran Gowa ini merasa bahagia saat mengajar dan bertemu dengan Teman Dengar yang juga berharap kampus menjadi lebih inklusif.
Di luar kesibukannya sebagai mahasiswa dan Teman Isyarat, Fitrah tetap menjalankan hobinya, menulis. Kegemarannya satu ini bermula setelah mengikuti suatu proyek menulis sebelum pandemi Covid-19. Kala itu, ia berkenalan dengan dua penulis ternama, Lily Yulianti Farid dan Erni Aladjai. Bermula dari bimbingan keduanya, Fitrah menyadari bakatnya di dunia sastra dan berhasil melahirkan banyak puisi hingga saat ini.
Bagi Fitrah, hidup di dunia tanpa suara adalah anugerah yang patut disyukuri. Ia menemukan keistimewaan dalam dunianya, yang membawanya untuk selalu bersabar dan bersyukur atas takdirnya.
Berbeda dengan kebanyakan orang, ia bisa “mendengar” musik melalui sentuhan tangannya, merasakan setiap getaran dan alunan nada. Tidak heran, mahasiswa tuli ini juga senang menari mengikuti irama musik, terutama hip hop.
Fitrah turut andil sebagai aktivis tuli bahkan sebelum berkuliah. Tahun 2017, saat masih duduk di bangku SMA, ia pernah mengikuti pelatihan bagi komunitas tuli di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta selama seminggu. Pengalaman ini membawanya untuk mendampingi komunitas tuli di Sulawesi Selatan.
Perjalanan Fitrah tidak berhenti di sana. Di tahun 2018, setelah lulus SMA, ia mendirikan komunitas seni “Empat Titik” bersama teman-teman tuli dan dengar. Di sana, ia mengekspresikan dirinya sebagai pantomim, penari, dan penulis puisi.
Salah satu aksi yang paling berkesan baginya adalah saat ia menyuarakan perlunya penerimaan lowongan kerja bagi Teman Tuli, yang berujung pada keberhasilan mereka bekerja sebagai kru di sebuah restoran cepat saji di Makassar.
Sebagai penutup dialog, aktivis dan seniman tuli ini mengharapkan kesetaraan bagi Teman Difabel tanpa memandang keterbatasan, hambatan, ataupun kondisi mereka.
“Sebagai manusia, saya harap pendidikan itu memberikan kesempatan banyak, aksesibilitas matang, dan kemauan hak yang sama kepada setiap anak difabel. Lingkungan maupun tempat kerja saya harap juga memberi dampak inklusif tanpa kata diskriminasi,” pungkasnya.
Nurul Fahmi Bandang