Gempa bumi yang telah mengguncang Sulawesi Barat dengan getaran 6,3 Magnitudo mampu merobohkan kantor Gubernur Sulbar di Mamuju, serta merusak rumah-rumah di Majene, seperti kutip dari kompas.com. Kejadian yang berlangsung singkat tersebut menjadikan status Majene-Mamuju dalam status siaga bencana oleh BMKG. Setelah gempa dahsyat yang menewaskan 105 korban jiwa tersebut dan menyebabkan ratusan orang luka-luka serta traumatis.
Penduduk tidak lagi berani untuk menetap di rumah karena adanya gempa susulan. Parahnya lagi, warga mengalami kesulitan konsumsi sehari-hari, kehilangan harta benda, artinya seluruh penopang ekonomi tidak berjalan, dan administrasi menjadi tidak berfungsi.
Oleh karena itu, berbagai bantuan mengalir ke lokasi bencana guna membantu masyarakat. Tak terkecuali Universitas Hasanuddin, salah satu responnya dengan mengeluarkan kebijakan Uang Kuliah Tunggal. Namun niat baik, belum tentu baik.
Kebijakan yang sulit kepada mahasiswa yang terdampak bencana ini, tertuang dalam surat keputusan rektor dengan No. 266/UN.41/KEP/2021 tentang Pembebasan Sementara Pembayaran Uang Kuliah Tunggal bagi Mahasiswa Unhas Korban Bencana Alam. Mahasiswa harus memenuhi syarat berkas dari pemerintahan setempat seperti lurah atau kantor desa. Surat penyataan yang menandakan mahasiswa itu memang benar-benar korban bencana dan menyertakan foto tempat sebelum dan sesudah bencana.
Perlu koreksi aturan mempermudah korban bencana, bukannya menyulitkan. Unhas selaku instansi kampus humanis, semestinya mampu melakukan verifikasi automatis terhadap pangkalan data mahasiswa asal Majene-Mamuju.
Permohonan surat hanya ditekankan kepada mereka yang sistem administrasinya terbuka dan mampu mengurus berkas-berkas tersebut. Padahal akses administrasi tidak berjalan dan tidak ada jaminan keselamatan pejabat publik di lokasi bencana.
Lumpuhnya pelayanan publik membuat mahasiswa menjadi sulit melanjutkan status mahasiswa. Pihak administrator dan pembuat kebijakan universitas ingin administrasi berjalan serta memiliki branding “peduli kemanusiaan” dengan mempromosikan kampus humanis yang mampu memberikan bantuan. Tujuan memang sangatlah bagus, namun fakta lapangan berbanding terbalik, rektorat keliru dalam membaca peristiwa kemanusiaan tersebut yang hanya memberikan harapan palsu bagi mahasiswa.
Ketulusan rektorat Unhas mestinya terlihat dalam melakukan verifikasi secara mandiri. Data yang tersimpan sejak pendaftaran mahasiswa baru semestinya telah menjadi data kongkrit untuk melakukan verifikasi kepada mahasiswa korban bencana. Maka tidak perlu lagi ada verifikasi data, karena sejak awal telah memiliki data mahasiswa.
Oleh karena itu, perlu koreksi aturan mempermudah korban bencana, bukannya menyulitkan. Unhas selaku instansi kampus humanis, semestinya mampu melakukan verifikasi automatis terhadap pangkalan data mahasiswa asal Majene-Mamuju.
Rektorat yang malas dalam mengecek pangkalan data, pembacaan fakta lapangan yang keliru, harapan palsu gratis UKT untuk korban, lumpuhnya administrasi desa, suasana pengungsian yang mencekam, gempa yang tidak bisa diprediksi, ditambah dengan tidak masuknya akses listrik untuk mencetak dokumen dan mengisi daya baterai telepon menjadikan masalah yang sangat kompleks untuk dilakukan.
Kita percaya Unhas merupakan kampus humanis, dimana perguruan tinggi mestinya melahirkan manusia-manusia andal dalam bidang keilmuwan dan mampu berdaya guna di tengah masyarakat. Sumber daya potensial ini pun ada dalam mahasiswa Sulbar. Unhas salah satu kiblat pendidikan di Indonesia semestinya menjaga potensi sumber daya manusia itu, dengan memberikan kemudahan untuk mengakses UKT gratis. Jika tidak menjaga sumber daya manusia, maka untuk apa kampus di’ada’kan?
Penulis Achmad Husein Nyompa merupakan mahasiswa Ilmu Kelautan, FIKP, angkatan 2016, sekaligus Ketua Umum Komisariat Ilmu dan Teknologi Kelautan Unhas