Memperingati Hari Anti Narkoba Sedunia yang jatuh pada 26 Juni, tentunya kita harus lebih progresif dalam berpikir. Khususnya dalam memberikan solusi terhadap penanganan kasus narkotika yang semakin merajalela. Salah satu prinsip penegakan hukum yang bisa dijadikan corong pemulihan dan penyelesaian kasus Narkotika adalah prinsip keadilan restoratif (restorative justice) yang secara konsepsional telah diperbincangkan sejak dahulu namun, pelaksanaannya masih belum terlihat secara jelas di Indonesia.
Aturan terhadap penyalahgunaan narkotika secara realitas memang tidak memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana. Hal ini dibuktikan berdasarkan data dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) yang dikutip oleh World Drugs Report tahun 2019 menunjukkan bahwa, setidaknya ada 271 juta jiwa seluruh dunia atau 5,5 % dari jumlah populasi global penduduk dunia dengan rentang usia antara 15 sampai 64 tahun telah mengonsumsi narkoba.
Di samping itu, dilansir dari press realease Badan Narkotika Nasional akhir tahun 2019, menyebutkan terhadap orang yang pernah memakai narkotika menjadi berhenti menggunakan dan tidak mengkonsumsi narkotika kembali, terjadi penurunan sekitar 0,6 % dari jumlah 4,53 juta jiwa (2,40 %) menjadi 3,41 juta jiwa (1,80 %), sehingga hampir sekitar satu juta jiwa penduduk Indonesia berhasil diselamatkan dari pengaruh narkotika.
Dari data ini, terlihat pada tahun 2019 terjadi peningkatan sebesar 0,03 %, dimana kenaikan ini disebabkan oleh adanya peningkatan penyalahgunaan narkotika jenis baru (New Psychoactive Substances) yang di tahun-tahun sebelumnya belum terdaftar di dalam lampiran UU Narkotika dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 13 Tahun 2014 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika.
Adapun tersangka kasus narkotika yang berhasil ditangkap BNN dan Polri di tahun 2019 sebanyak 42.649 orang pelaku. Di samping itu tahun 2019 BNN berhasil memetakan 98 jaringan sindikat narkotika, sebanyak 84 jaringan sindikat narkotika telah berhasil diungkap BNN.
Salah satu wilayah di Indonesia yang mengalami banyak kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika terdapat di Kota Makassar. Berdasarkan data yang diberikan oleh Kapolres Pelabuhan Makassar pada tahun 2019, mengungkapkan sepanjang tahun 2018 hingga 2019 tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang ditangani Polres Pelabuhan Makassar ada 148 laporan, dan tersangkanya ada 202 laki-laki dan 9 orang perempuan, dengan barang bukti 570, 967 gram sabu, 5,8 Kg ganja, 4,7200 gram ekstasi dan 100 butir obat daftar G, dilansir dari makassar.tribunnews.
Data lain juga diberikan oleh Direktur Narkoba Polda Sulawesi Selatan yang menyatakan bahwa sepanjang tahun 2019 terjadi 1760 kasus, di mana terjadi peningkatan 40 kasus dari tahun 2018. Sedangkan pelaku yang ditangkap sebanyak 2.386 orang dan 2 orang ditembak mati, seperti dikutip dari news detik.com.
Berdasarkan data tersebut menunjukkan adanya suatu realitas sosial bahwa betapa pun banyaknya regulasi dan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemangku kebijakan dalam hal ini Pemerintah RI beserta legislatif, tetap saja tindak pidana Narkotika mengalami fluktuasi secara signifikan hingga hari ini.
Keadilan Restoratif Sebagai Alternatif Pemidanaan
Pada dasarnya UU Narkotika juga merupakan bentuk abstraksi manifestasi dari prinsip restorative justice atau restorasi, restorative justice merupakan alternatif atau cara lain peradilan kriminal dengan mengedepankan pendekatan integrasi pelaku. Di satu sisi dan korban/masyarakat di lain sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat.
Prinsip dasar restorative justice adalah terjadi pemulihan kepada mereka yang menderita akibat kejahatan, pelaku memiliki kesempatan terlibat dalam pemulihan keadaan (restorasi), dan pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum dan masyarakat berperan untuk melestarikan perdamaian yang adil.
Tujuan pada prinsip restorative justice adalah untuk mereformasi criminal justice system yang selama ini tumbuh dan berkembang pada masyarakat Indonesia. Konsep criminal justice system dinilai telah mengalami ketertinggalan dalam hal pemidanaan. Sistem pemidanaan yang masih mengedepankan asas primum remidium, menjadikan hukuman penjara sebagai jalur yang utama. Padahal dalam konteks kekinian, sistem pemidanaan bukan lagi bertumpu pada pelaku melainkan telah mengarah pada penyelerasan antara pelaku maupun korban dalam sebuah perkara pidana.
Prinsip-prinsip restorative justice setidaknya terbagi atas 3 (tiga) poin besar, antara lain, 1) Membuat pelanggar bertanggungjawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya; 2) Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya di samping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif, melibatkan para korban, orang tua, keluarga besar, sekolah dan teman sebaya; 3) Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam hal menyelesaikan masalah, menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi sosial yang formal.
Kesulitan dalam penegakan prinsip restorative justice pada sistem peradilan di Indonesia diakibatkan oleh sikap penegak hukum yang bertendensi formalistik. Sehingga untuk menguak nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat masih sangat sulit. Sedangkan dalam mayoritas peraturan perundang-undangan yang ada pada era dewasa ini telah banyak yang berorientasi pada restorative justice.
Terdapat beberapa program dalam konsep keadilan restoratif, yaitu a) Mediasi; b) Victim-Offender Mediation Programmes (Mediasi Penal); c) Restoratif Conference (Conferencing); d) Family and Community Group Conferencing; e) Informal Mediation (Mediasi Informal); f) Traditional Village or Tribal Moots; g) Reparation Negotiation Programmes; h) Circles (Lingkaran); dan i) Reparative Board/Youth Panel.
Secara universal dapat dipahami prinsip restorative justice pada dasarnya menjunjung tinggi nilai-nilai pemulihan dan keseimbangan di antara para pihak yang berperkara dalam konteks pidana. Yang awalnya hanya mengedepankan pemidanaan dengan tujuan memenjarakan seorang pelaku tindak pidana, sekarang dengan adanya konsepsi restorative justice akan senantiasa mengedepankan nilai musyawarah untuk menghasilkan keputusan yang mengedepankan kepentingan bersama di jalur hukum maupun di luar hukum. Khususnya dalam perkara narkoba adanya rehabilitasi sebagai upaya penyembuhan pelaku penyalahguna Narkotika.
Jika dilihat secara konsepsional, maka pendekatan keadilan restoratif sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia, hal ini dikarenakan negara yang mayoritas masyarakatnya menyukai musyawarah dan majemuk. Berabad-abad lamanya Indonesia menganut yang namanya hukum adat, dalam hukum adat menitikberatkan musyawarah mufakat pada setiap penyelesaian perkara. Oleh karena itu, keadilan restoratif bukanlah hal baru, sehingga sangat efektif jika diterapkan walaupun tentunya harus melalui banyak penyesuaian dengan kultur sosial.
M. Aris Munandar,
Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Hasanuddin dan
Aktivis Hak Asasi Manusia.