Guru Besar Unhas sedang menjadi sorotan akhir-akhir ini. Pemicunya lantaran beberapa orang guru besar hadir dalam acara Focus Group Discussion (FGD) yang juga tampak salah satu bakal calon Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Halid pada 12 Desember 2017 di Hotel Clarion, Makassar. Publik mempertanyakan kenetralan mereka sebagai Pegawai Negeri Selatan (PNS) dalam kegiatan politik.
Hal ini juga yang membuat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memanggil 7 guru besar yang terlibat dalam FGD dua pekan setelah acara diadakan. Dari ke-7 guru besar itu, terdapat 3 guru besar Unhas. Seperti Prof Dr Amran Razak dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Prof Dr Syamsul Bachri dari Fakultas Teknik, dan Prof Dr Tahir Kasnawi dari Fisip .
Dilansir dari Harian Fajar, Ketua Bawaslu Sulsel, Laode Arumahi, memanggil 7 guru besar itu untuk mendengarkan klarifikasi mereka soal kecurigaan keterlibatannya dalam politik praktis.
Dosen yang notabene berstatus PNS memang menurut aturan dilarang melakukan politik praktis. Regulasi itu diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Tepatnya, pada pasal 9 ayat (2) berbunyi: “Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.
Tuntutan ASN untuk netral juga dijelaskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disipilin Pegawai Negeri Sipil (PNS). Disebutkan dalam Pasal 4 ayat (15) tidak boleh memberikan dukungan kepada calon kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Kata Mendukung dalam aturan itu lalu dijabarkan ke dalam beberapa item seperti: “Terlibat dalam kegiatan kampanye, dan menggunakan fasilitas terkait tentang kegiatan kampanye. Selain itu, membuat keputusan mendukung atau merugikan pasangan calon.” Juga “PNS mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan pasangan calon.”
Bukan hanya dua aturan itu, dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, pada Pasal 6 (h) berbunyi: “Nilai-nilai dasar yang harus dijunjung tinggi seorang PNS meliputi profesionalisme, netralitas dan bermoral tinggi.” Juga pada Pasal 11 (c) berbunyi: “Etika terhadap diri sendiri meliputi menghondari konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan.”
Lantas, bagaimana dengan kegiatan FGD pada bulan lalu, atau tindakan PNS berupa tenaga pengajar yang terang-terangan mendukung bakal calon kepala daerah? Apakah melanggar aturan ASN, walaupun belum terdaftar sebagai calon kepala daerah?
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Prof Dr Deddy Tiksnawadi Tikson MS memberikan tanggapan soal itu. Menurutnya, dalam menelaah kasus ini, terlebih dahulu harus tahu, kegiatan atau tindakan seperti apa yang termasuk dalam aturan itu.
“Bagaimana kita mendefinisikan kegiatan politik? Kegiatan politik itu jika sudah resmi ada calon dan ada masa kampanye, itu aturan dalam undang undang. Ketika belum ada calon pasangan resmi dam belum ada masa kampanye itu artinya belum ada kegiatan politik,” kata Deddy saat berbincang dengan Identitas di ruangannya beberapa waktu lalu.
Menurutnya, perlu ada pembuktian yang lebih lanjut untuk menetapkan apakah seorang dosen mendukung salah satu calon atau tidak.
“Ketika ada dosen yang mengikuti kegiatan bakal calon, belum bisa dikatakan kegiatan politik, tetapi memiliki kecenderungan. Misal, seorang bakal calon menyampaikan pendapatnya di depan para professor, kegiatan tersebut bisa dikatakan akademik, tapi forumnya belum tentu forum akademik, bisa jadi itu forum sosial ataupun forum politik,”
“Apakah ada sanksi untuk dosen yang terlibat dalam forum politik? Itu tidak ada aturan yang mengatur, kecuali jika ada statemen bahwa kelompok tertentu mendukung salah satu calon. Selama tidak ada bukti berupa rekaman atau hitam di atas putih itu tidak dapat disanksi,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Deddy mengatakan, memang harus jelas tindakan yang mengarah kepada kegiatan politik. Selain itu, undang-udang mengatur PNS harus netral. Menurutnya, netral yang disebut dalam regulasi itu juga harus jelas.
Sementara itu, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Sofian Effendi telah mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada beberapa lembaga pemerintahan dan pejabat negara pada 10 November 2017 termasuk ke Universitas Hasanuddin (Unhas).
Surat edaran ini oleh Sekretaris Unhas, Prof Dr Nasaruddin Salam MT kemudian diteruskan ke beberapa pejabat fakultas. Seperti, dekan fakultas, dekan sekolah pascasarjana, ketua lembaga, direktur, kepala biro dan kepala UPT.
Surat KASN ini berisi penilaian terhadap aktifitas Aparatur Sipil Negara (ASN) selama ini. Menurut dalam surat edaran, aktifitas berupa menghadiri deklarasi bakal calon belum bisa diketegorikan sebagai pelanggaran dasar.
“Bahwa sikap dan tindakan serta perilaku ASN sebagaimana tersebut di atas, belum dapat dikategorikan melanggar ketentuan pasal 4 angka 15 Peraturan Pemerintah nomor 53 Tahun 2010, karena belum ada penetapan pasangan calon dan masa kampanye, namun sudah dapat dikategirikan pelanggaran nilai dasar, kode etik dan kode perilaku sebagaimana tersebut pada ketentuan Pasal 4 huruf d dan pasal 5 ayat (2) huruf d, e, h dan huruf l.”
“Terhadap oknum ASN yang melakukan pelanggaran kode etik dan kode perilaku dikenakan sanksi moral sebagaimaa disebut dalam pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS dan bahkan sesuai Pasal 16, dapat dikenakan tindakan administratif sesuai peraturan perundang-undangan, atas rekomendasi Majelis Kode Etik.”
Sanksi Pemberhentian Secara Tidak Hormat
Dalam surat KASN, juga disebutkan sanksi-sanksi jika seorang PNS kepergok mendukung yang sudah terdaftar sebagai calon kepala daerah. Mulai dari sanksi sedang, hingga sanksi berat.
Seorang PNS akan dikenakan sanksi sedang jika memberikan dukungan kepada calon anggota DPD atau calon kepala daerah/wakil kepala daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai fotokopi KTP atau surat keterangan tanda penduduk.
“Jenis hukuman disiplin sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari: (a) penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun; (b) penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun; (c) penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun.”
Sedangkan itu, seorang PNS akan dikenakan sanksi berat jika memberikan dukungan kepada calon kepala daerah/wakil kepala daerah dengan cara menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanhe dan atau membuat keputusan dan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye.
“Jenis hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari: (a) penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun; (b) pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah; (c) pembebasan dari jabatan; (d) pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan (e) pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.”
Berdasar hal itu, Ketua Komisi ASN meminta kerja sama kepada para lembaga pemerintahan dan pejabat negara untuk memantau mentralitan PNS dalam pilkada. Jika tetap melakukan pelanggaran maka akan diproses sesuai dengan aturan berlaku.
Reporter: Sri Hadriana (Koordinator), Khintan Jelita, Resky Ida Suryadi, Wandi Janwar, Mutmainnah