Sebagai komunitas sosial, Wanua Panrita berfokus mendorong peningkatan kualitas pendidikan serta memajukan sosial ekonomi masyarakat pelosok.
Atas kegelisahan dan kesamaan visi misi terhadap minimnya akses pendidikan di daerah pelosok, Hasdinar bersama enam orang rekannya, Tia, Ocang, Hamri, Lidya, Wahid, dan Amir membentuk sebuah komunitas untuk mewadahi anak-anak pelosok yang tidak dapat mengenyam pendidikan sebagaimana mestinya.
Lembaga Pemberdayaan dan Pendampingan Masyarakat Wanua Panrita, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Wanua Panrita adalah lembaga sosial yang dibentuk atas tujuan mewujudkan kemandirian pelosok dengan memajukan pendidikan dan perekonomian. Sejak dibentuk pada tanggal 3 Desember 2018, komunitas ini telah menggaet sebanyak 50 relawan.
Istilah Wanua Panrita yang digunakan rupanya memiliki makna yang cukup unik. Wanua Panrita diambil dari bahasa Bugis. Wanua yang artinya tempat, dan Panrita yang artinya orang yang ahli di bidangnya. Bisa diartikan rumah para cendekiawan.
Desa binaan komunitas ini terletak di Dusun Cindakko, Kabupaten Maros. Daerah ini cukup sulit dijangkau karena akses kendaraan yang sangat minim, para relawan bahkan harus berjalan kaki atau menaiki motor khusus agar dapat menjangkau lokasi tersebut. Yang menjadi keunikan dari komunitas ini, Wanua Panrita menjalankan multiprogram dalam membangun desa binaanya.
“Ada tiga program yang kami jalankan, yaitu Sahabat Pelosok, Pelosok Mandiri, dan Kopi untuk Pendidikan. Ketiga program ini pun memiliki keterkaitan dan berkesinambungan,” ujar Hasdinar yang saat ini menjabat sebagai ketua Wanua Panrita.
Dinar, begitu ia biasa disapa, menjelasakan program Sahabat Pelosok adalam program perekrutan bagi relawan Wanua Panrita. Relawan ini yang nantinya akan dikirim ke lokasi desa binaan untuk mengabdi selama satu pekan.
Selanjutnya, program Pelosok Mandiri adalah program perekrutan bagi tenaga pengajar, yang disebut Guru Panrita. Nantinya, Guru Panrita ini akan mengajar selama satu tahun di lokasi pengabdian serta membimbing tenaga pengajar lokal yang nantinya akan menjadi pengajar bagi masyarakat setempat.
Sedangkan, program Kopi untuk Pendidikan adalah kegiatan yang dimaksudkan dapat membantu memajukan sosial ekonomi masyarakat pelosok. Untuk diketahui, Dusun Condakko merupakan daerah penghasil kopi yang cukup potensial karena berada pada ketinggian 600-1.300 mdpl.
“Kopi di Cindakko ini cukup khas, dan rasanya tidak kalah enak dengan kopi lainnya, sayangnya masyarakat setempat kurang memanfaatkan dan hanya diolah untuk konsumsi pribadi,” ujar Dinar, Kamis (21/20).
Melalui program Kopi untuk Pendidikan ini, nantinya warga diharapkan dapat lebih mandiri melalui hasil pengelolaan komoditi kopi dalam mendukung biaya pendidikan bagi anak-anak dusun Cindakko.
“Januari kemarin sudah dilakukan penanaman sebanyak 22 ribu bibit kopi. Dari waktu penanaman hingga panen, membutuhkan waktu 2 tahun, saat ini sedang dalam perawatan,” terangnya.
Meskipun usia komunitas ini baru memasuki tahun kedua, nyatanya sudah cukup dikenal orang-orang. Bahkan menurut Dinar, ada beberapa relawan yang berasal dari luar Pulau Sulawesi. Wanua panrita menetapkan batasan usia bagi yang ingin bergabung menjadi relawan, yaitu 21-35 tahun.
Saat ditanya mengenai rencana kedepannya, Dinar mengaku belum ada rencana untuk melebarkan langkah. “Saat ini mungkin belum ada, karena masih baru juga, terlebih apa yang kami rintis ini sebenarnya program jangka panjang. Tapi tidak menutup kemungkinan kami akan menjelajahi daerah pelosok lainnya, untuk saat ini masih fokus di Cindakko,” tutupnya.
Urwatul Wutsqaa