Menjadi duta Indonesia di ajang internasional mungkin sekilas terdengar sangat tidak mungkin atau terlalu tinggi untuk menjadi kenyataan. Namun, dengan doa dan kerja keras ternyata semua itu mampu diwujudkan bahkan Tuhan berikan lebih dari yang diimpikan sebelumnya. Hal itu telah saya buktikan. Beberapa waktu lalu saya terpilih menjadi delegasi provinsi Sulawesi Selatan untuk The 45th Ship for Southeast Asian and Japanese Youth Program (SSEAYP) atau Program Kapal Pemuda Asia Tenggara-Jepang. Program itu saya ikuti bersama 330 pemuda-pemudi hebat dari 10 negara ASEAN dan negara Jepang.
SSEAYP merupakan acara tahunan yang diselenggarakan Cabinet Office of Japan (CAO) dengan pemerintah negara ASEAN. Program ini bertujuan membangun hubungan persahabatan di antara pemuda ASEAN dan Jepang sekaligus saling mengenalkan budaya dari negara masing-masing. Program tersebut berlangsung selama 52 hari dari bulan Oktober sampai Desember.
Selama 52 hari itu, seluruh Participating Youth (PY)-sebutan untuk peserta SSEAYP-beserta seluruh admin yang bertugas berlayar dengan kapal pesiar megah Nippon Maru. Kami mengarungi lautan dari Jepang menuju ke Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, Vietnam, dan kembali ke Jepang. Adapun kegiatan yang dilakukan selama program terbagi atas dua, yakni kegiatan selama berada di atas kapal (On Board Activity) dan kegiatan selama berada di negara tujuan (Country Program).
On Board Activity terdiri atas Discussion Group, Solidarity Group, PY Seminar, National Presentation, Voluntary Activity, Contingent Presentation, Go and Grow Presentation, dan masih banyak lagi. Sedangkan untuk Country Program terdiri atas Courtesy Call, Institutional Visit, Homestay Program, dan Local Youth Interaction. Wah, sudah terbayang bukan betapa kerennya program ini?
Nah, awalnya saya melihat informasi pendaftaran program Pertukaran Pemuda Antarnegara (PPAN) di sosial media. Setelah saya telusuri, untuk tahun 2018 PCMI (Purna Caraka Muda Indonesia) Sulawesi Selatan menyelenggarakan seleksi guna mencari satu kandidat untuk program SSEAYP dan AIYEP (Australia-Indonesia Youth Exchange Program). Kemudian, saya mengumpulkan formulir pendaftaran ke kantor Dispora Sulsel. Berhubung saat itu usia saya masih 20 tahun, jadi program yang bisa saya ikuti adalah SSEAYP. Sedangkan yang boleh mendaftar program AIYEP ialah mereka yang berusia 21-25 tahun.
Setelah lulus seleksi berkas masih ada tahapan lain yang harus dilulusi yaitu tahap wawancara, tes esai, penampilan budaya, serta forum diskusi dan Amazing Race. Lalu, setelah terpilih menjadi kandidat Sulawesi Selatan, selanjutnya seluruh kandidat yang berasal dari 27 provinsi lainnya berkumpul di Jakarta untuk berpartisipasi dalam Pre-Departure Training (PDT) selama 20 hari. Di sana seluruh kandidat mendapatkan pembekalan dari segi pengetahuan mengenai SSEAYP, pelatihan baris-berbaris, seni, diskusi, dan lain sebagainya.
Tak lupa, seluruh kandidat juga dipertemukan oleh National Leader yang mendampingi kontingen Indonesia selama melaksanakan program SSEAYP tahun 2018, Desy Marlita. Ia juga merupakan delegasi SSEAYP tahun 1995 silam. Setelah PDT usai, Kontingen Indonesia dikukuhkan menjadi Kontingen Garuda 45 dan dinyatakan telah siap berangkat program dengan membawa nama kebanggaan negara Indonesia. Seluruh rangkaian acara ini diselenggarakan oleh SSEAYP International Indonesia (SII) dan Kemenpora.
Oleh sebab itu, perjalanan sekali seumur hidup ini sangat membekas di dalam ingatan saya. Selain mendapatkan banyak teman baru dari sebelas negara, ada banyak sekali pelajaran dan pengalaman baru yang didapatkan. Semisal, memahami budaya orang lain dan membangun rasa toleransi antar sesama PY. Sebab meski masih sama-sama orang Asia, namun ada banyak sekali perbedaan dari segi budaya, kebiasaan dan gaya hidup, jenis-jenis makanan yang nyentrik, dan lain sebagainya.
Lebih lanjut, pengalaman hidup di kabin kapal merupakan salah satu hal yang paling sulit terlupakan. Betapa tidak, dalam satu kabin terdiri dari tiga orang PY yang harus berbagi tempat tidur, kamar kecil dan meja rias. Kami harus menerima kekurangan dan memaklumi kebiasaan satu sama lain setiap harinya. Saat hendak makan juga kami harus mengantri. Tak hanya itu, pun ketika assembly kami harus berbaris terlebih dahulu.
Memang semuanya terasa berat di awal. Namun seiring berjalannya waktu semua itu berubah jadi kebiasaan. Bahkan sekarang ini menyisakan kenangan manis untuk dikenang, istilahnya sih SSEAYP-sick.Bagiku, mereka adalah keluarga yang senantiasa menjaga dan bersama saya di tengah lautan lepas. Mereka adalah orang-orang pertama yang saya lihat di pagi hari dan di malam hari sebelum memejamkan mata.
Nurnaningsih, Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Departemen Sastra Inggris, Angkatan 2016