Tanah masih basah akibat hujan sore tadi – dengan tulang, daging dan darah yang tersisa—aku dan ketiga kawanku menyusuri jalan yang licin. Sepanjang jalan, sesekali berpapasan dengan beberapa kendaraan roda empat, roda dua, semakin jauh kendaraan truk lebih banyak kami jumpai. Sepeda tidak kelihatan. Di sini belum gelap tapi udaranya mulai dingin. Aku masukkan kedua tanganku ke dalam kantong jaket yang kukenakan. “Hangat,” kataku. Sementara kawanku, si Cipto sibuk mengendarai motor vespa berwarna kuning yang ia beri nama Sherly. Sudah hampir tiga jam kami di perjalanan, sudah ribuan kali aku tanyakan pada kawanku kapan akan tiba. Cipto akan menengok ke belakang dan berkata “sedikit lagi”. Setelah itu, kubiarkan mataku bebas menelanjangi pemandangan di sekitarku. Kuangkat kepalaku ke atas untuk melihat atap bumi, memang benar – warna langit di desa dan di kota benar-benar berbeda.
Hari mulai gelap, Cipto yang kami anggap sebagai penunjuk jalan, memutuskan untuk mencari desa terdekat dari lokasi kami. Katanya bahaya berkendara karna sudah mulai gelap, selain itu jalanan di depan juga semakin kecil. Kami sepakat. Setelah berkendara kurang lebih dua kilometer, kami menemukan lapangan luas di pinggir desa yang bernama desa Moncong. Kami membangun tenda kemudian membuat api unggun di sana. Tidak lupa makan dan bercerita banyak hal. Malam semakin larut, mata meminta haknya.
***
Udara masih sangat dingin. Aku putuskan keluar dari tenda untuk membuat kopi. Di sebelah timur langit yang luas, matahari masih malu-malu untuk menampakkan wajahnya. Tapi, selain itu – ada sesuatu yang menarik perhatianku. Mungkin karna kemarin sudah gelap, aku tidak jeli melihatnya. Di desa ini, yang jauh dari hiruk pikuk kota dan jaringan internet, terdapat sebuah bangunan sekolah. Kuurungkan niatku untuk membuat kopi dan memilih untuk mendekati bangunan tua itu. Bangunan yang kumaksud adalah bangunan yang bahkan jauh dari kata sederhana. Tidak lagi kokoh dengan tembok kayu yang kelihatan sangat rapuh. Beratapkan langit dan tanah adalah ubin dari bangunan ini. Hanya terdiri dari tiga ruangan kelas, ada papan dan sisa arang di dalamnya, sepertinya mereka gunakan sebagai pengganti papan tulis dan kapur. Setiap kelasnya kujumpai gambar burung garuda yang merupakan simbol pancasila. Betapa mereka tidak melupakan pancasila, tetapi dilupakan oleh negaranya sendiri. kubuka mataku lebar-lebar dan mencoba melihat kejauhan, ternyata ada tujuh rumah di desa ini. Satu sekolah dan satu lagi musala. Ketika kembali di tenda, kutemukan tiga kawanku sedang berbincang dengan seorang bapak. Melihat wajahnya, kuperkirakan ia berumur 50 tahun ke atas. Si bapak hanya memakai sarung, bagian dadanya dibiarkan telanjang. Kulemparkan senyum termanis kepada mereka yang melihat ke arahku.
Aku dan teman-teman larut dalam diskusi bersama si bapak. Karena penasaran, aku mencoba bertanya mengenai bangunan sekolah tadi. Katanya, sekolah itu tidak lagi digunakan karena tidak ada guru yang mengajar di sana. Pernah ada, waktu itu bangunannya masih lumayan bagus. Ada satu guru perempuan, selama kurang lebih tiga bulan ia mengajar di sini. Tapi, terakhir kali ia pamit, guru itu bilang akses untuk masuk ke sini sangat sulit dan berbahaya. Keesokan harinya, anak-anak sudah datang pagi-pagi untuk belajar. Bahkan setelah diberitahu bahwa gurunya berhenti, mereka tetap menunggu. Aku tertegun, sedih rasanya mendengar anak bangsa yang semangatnya begitu membara ingin belajar tetapi dibatasi dengan ketidaktersediaannya fasilitas. Orang-orang yang berkewajiban atas pendidikan anak-anak itu, malah sibuk menanam kota dan merampok desa.
“Padahal pendidikan bukan hanya milik mereka orang-orang hedonis, pendidikan juga berhak dirasakan oleh orang-orang yang termarginalkan,” batinku.
Sebelum si bapak meninggalkan kami, kawanku Ningsih berkata “belajar boleh dilakukan di mana dan kapan saja, yang mengajar juga tidak selamanya guru. Siapapun, ketika ia memberitahumu sesuatu yang tidak kau ketahui, maka ia adalah guru bagimu”. Mendengar perkataan Ningsih, kami tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala. Memang benar, pelajaran tidak selamanya didapatkan di bangku sekolah, tidak selamanya tentang baju seragam serta buku dan pulpen. Bagiku, guru terbaik adalah pengalamanku. Tinggi dan rendahnya jenjang pendidikan, bukanlah ukuran mulia dan hinanya seseorang.
Si bapak kemudian meninggalkan kami yang segera beres-beres karna akan melanjutkan perjalanan. Tenda dilipat dan dimasukkan ke dalam tas, aku dan Ningsih memungut sampah di sekitar tenda.
“Aku kasihan dengan anak-anak di sini,” ujarku
“Huft” Ningsih menghela napas. “Zaman sekarang, orang-orang sibuk mengejar gelar ini atau gelar itu, sampai lupa bahwa gelar kemanusiaanlah yang sangat dibutuhkan” tambahnya, Cipto dan Wanto hanya melihat sekilas ke arah kami.
Angin sejuk tiba-tiba menembus masuk ke sela-sela jaket ku. Awan hitam berkumpul di langit, sepertinya akan turun hujan. Perlahan, ribuan air kecil jatuh membasahi tanah desa Moncong. Dari kejauhan seorang anak kecil berlari ke arah kami seraya melambaikan tangannya. Dengan napas yang tersengal-sengal, anak itu mengajak kami berteduh di rumahnya. Tentu saja, dengan senang hati kami terima niat baiknya. Kami disuguhkan minuman hangat, tidak tahu nama minumannya – tapi, aku yakin ada campuran jahe di dalamnya. Anak yang tadi, duduk di depanku. Rambutnya dibiarkan terurai hingga sebahu. Manis.
“Namanya siapa?” tanyaku.
“Nama saya Aina. Kalau sudah besar, mau jadi guru” anak itu tersenyum, kelihatan giginya ompong. Semuanya tersenyum mendengar jawaban anak kecil itu.
“Kenapa Aina mau jadi guru?” tanyaku lagi.
“Biar bisa ajar adik” empat kata tersebut membuatku sedih, haru rasanya. Kalimat itu dikeluarkan dari mulut mungil seorang anak kecil. Satu kepala berjuta mimpi.
***
Di atas hamparan padang sabana, tanpa sengaja aku bertemu anak kecil manis bernama Aina serta cita-cita mulia miliknya. Tak lupa juga, sepenggal cerita sedihnya, anak kecil itu harus berhenti bersekolah sebab orang yang berkewajiban atas hak Aina, memilih untuk menutup mata. Padahal, UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa “Pendidikan ialah hak segala bangsa”. Faktanya “Pendidikan ialah milik mereka yang beruang ”. Siapa orang-orang itu? Kupikir kalian semua tahu.
2021
Penulis: Resky Amalia,
Mahasiswa Departemen Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Budaya Unhas,
Angkatan 2018.
Baca Juga: Skenario