“Manusia diselamatkan melalui cinta dan cinta itu sendiri,” Viktor Frankl.
Sebagai insan yang memiliki akal, tentunya kita berada di Bumi ini dengan alasan, tujuan, dan seharusnya, dengan makna. Jika belum paham, makna yang dimaksud adalah suatu ‘hal’ yang bisa membuat manusia bertahan dalam setiap penderitaan dan kesulitan. Tentu, penderitaan menjadi salah satu hal yang pasti ada di kehidupan setiap manusia.
Mengapa membahas ini? Menurut penulis, manusia yang tidak memiliki makna bisa dikatakan orang yang tak ‘hidup’. Ia mudah tergiur dengan pahitnya kehidupan, lantas apakah manusia seperti itu dapat bertahan untuk menghadapi kencangnya ombak?
Menjalani hidup begitu-begitu saja tanpa memiliki arah merupakan suatu hal yang sangat fatal bagi manusia. Tentunya kita semua pernah berpikir atau setidaknya coba untuk merenung dengan sebuah pertanyaan, “Buat apa saya hidup dan sebenarnya apa yang saya harus lakukan di Bumi ini?”
Sebagian orang mungkin mengatakan hidup untuk mencari uang atau hidup untuk berbakti kepada orang tua. Tapi ada sekelompok dari populasi tersebut mengaku hidup karena cinta. Permasalahan cinta pasti membuat orang sedikit risih karena teringat dengan masa lalu mereka, tapi dalam konteks ini cinta bukanlah hanya sekedar saling menyukai atau saling menyayangi, tapi lebih dari itu.
Cinta bukanlah sekedar saling menyukai atau saling memberi, artinya melebihi itu. Pemahaman tentang cinta sebenarnya sangat sulit disatukan karena setiap orang memiliki pandangannya tersendiri terhadap konsep cinta. Namun, tidak ada yang salah atau benar dalam masing-masing konsep tersebut.
Seorang psikatri, Viktor Frankl membukukan pengalamannya sebagai salah satu tawanan yang harus bertahan di kamp-kamp konsentrasi Nazi. Tak perlu ceritakan panjang lebar namun pada intinya, sekuat apapun manusia itu, tentunya hanya sedikit yang dapat keluar dari kamp tersebut dengan akal yang sehat. Penderitaan dan penyiksaan yang ia alami adalah hal-hal yang sangat menyeramkan. Jika para pembaca ingin mencari lebih tahu, bukunya berjudul “Man’s Search for Meaning”.
Menceritakan sedikit tentang Viktor, saat ia dipindah dalam kamp konsentrasi, ia sudah berkeluarga dengan istri yang kala itu masih hamil dan masih hidup dengan orang tua dan kakak. Dalam bukunya ia menceritakan mengapa dapat bertahan dalam penderitaan. Alasannya ia bertahan karena keluarganya. Ia memandang bahwa cinta tidak dibatasi oleh jarak, karena selama ada waktu luang, ia dapat merasakan hangat kasih dari sang keluarga seperti istrinya.
Namun saat keluar dari kamp, semua hal berubah. Tak lagi ada istrinya dan hampir semua anggota keluarganya telah dibunuh. Lantas apa yang ia alami dijadikan sebuah jawaban untuk pertanyaan yang selalu ada di pikirannya. Menurutnya, kita dapat menemukan makna dalam hidup kita dengan tiga cara: 1) dengan membuat sebuah karya atau melakukan suatu perbuatan; 2) dengan mengalami sesuatu atau berjumpa dengan seseorang; dan 3) mengambil sikap terhadap penderitaan yang tak dapat dihindarkan.
Yang ingin ditekankan disini adalah poin kedua. Viktor sendiri elaborasikan bahwa cinta hanyalah salah satu cara untuk memahami seseorang. Tidak ada siapapun yang dapat memahami esensi sebagai manusia tanpa cinta. Melalui cinta, ia memiliki kemampuan untuk melihat sifat dan fitur pada sosok yang ia cintai, bahkan dapat menemukan potensi di dalam dirinya sendiri yang belum disadari.
Penulis menyadari bahwa sebenarnya, bisa dikatakan masa mahasiswa semestinya belum merasakan cinta sesungguhnya. Namun jika lahir dan dibesarkan kepada keluarga yang harmonis, maka orang tersebut dapat memahami cinta sesungguhnya karena cinta yang paling pertama adalah kepada kedua orang tua. Cinta yang tak mengenal jarak, tenaga, maupun dari waktu yang telah mereka menghabiskan. Seperti yang digambarkan dalam sebuah bait lagu “cinta sejati yang bisa memberi tanpa harus menerima.” Maka menurut penulis, hal tersebut adalah cinta sesungguhnya.
Penulis sangat mengapresiasi orang-orang yang hidup untuk membahagiakan orang tua. Karena mereka merasa bahwa selama ini yang membesarkan mereka dengan setulus cintanya tanpa kenal lelah adalah orang tua. Walaupun seumur hidup berusaha membalas cinta mereka, hanya sebanding dengan setetes air dalam lautan.
Penulis berharap, dengan adanya tulisan ini, para pembaca jangan menyepelekan pencarian makna dalam kehidupan kalian. Karena pada intisarinya, jika Viktor Frankl dalam penderitaan dan penyiksaan yang ia alami dapat menemukan makna untuk hidup. Mengapa kita tidak bisa mencari makna dalam hidup sendiri? Salah satu metode tersebut yakni dengan mencari makna dalam cinta dan melalui cinta itu sendiri.
Muhammad Alif
Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Program Studi Ilmu Kelautan
Angkatan 2019
sekaligus Reporter PK identitas Unhas Tahun 2022