Aku melihatnya pertama kali dalam sebuah diskusi. Dari argumennya, aku tahu dia berwawasan. Diksinya tepat dalam bahasa yang tinggi-kadang tidak kupahami artinya. Mungkin karena aku kurang piawai dalam berargumen seperti dia. Kata-katanya selalu mendasar, fundamental dan filosofis.
Namanya Dey. Dari namanya, aku mengira dia mahasiswa Jurusan Ekonomi. Terlalu flamboyan untuk jurusan filsafat, menurutku. Belakangan, aku tahu kalau Dey seorang penulis. Lebih dari itu, aku pun tahu kalau dialah aktivis kampus yang pernah heboh, di-skorsing karena tulisannya yang dianggap terlalu kritis terhadap birokrat kampus. Suatu kesempatan, aku menonton pertunjukan teater. Lakonnya terlalu sinis, menurutku. Aku tak habis pikir, seorang mahasiswa rela mengundurkan diri dari kampus hanya karena merasa gagal memperjuangkan kawannya yang di-DO. Penulisnya terlalu idealis, kataku pada teman yang mengajakku. Belakangan, aku tahu bahwa penulis naskahnya adalah Dey. Aku penasaran.
***
Di bawah pohon dekat perpustakaan, Dey duduk sendiri, membaca buku. Aku mendekat. Dia melihatku, lalu melanjutkan membaca. Seolah aku tak ada di situ.
“Hay,” sapaku dengan senyum. Ragu.
“Ya,” jawabnya hampir tak terdengar. Matanya tetap melekat pada buku.
Desau angin terdengar jelas, mahasiswa berlalu-lalang. Pohon tampak sesekali menjatuhkan daunnya. Dey tetap fokus pada bacaannya, awalnya kuberharap dia bertanya tujuanku menyapanya. Tapi tak ada apapun yang dia ucapkan. Sesekali mengangguk kecil, seperti menangkap dengan jelas apa yang ingin diungkapkan si penulis pada pembacanya.
“Baca apa? Kelihatannya serius banget,” kataku dengan harap suasana bisa lebih cair.
“Buku,” jawabnya singkat.
“Maksud saya buku apa?”
Dia menatapku, dari tatapannya, aku paham, dia merasa terusik.
“Kamu wartawan?” jawaban sinis dan tatapan dinginnya membuatku terkesiap. Lalu melanjutkan bacaannya.
***
Hari-hari berikutnya, aku memperhatikan Dey dari jauh, mempelajari pola perilakunya. Jujur, ini hal paling konyol yang pernah kulakukan. Aku teringat ketika dosen Biologi mengajakku mengamati perilaku orang utan di pedalaman Kalimantan. Dan saat ini, aku serasa mengulang hal yang sama, dengan objek yang berbeda. Aku senyum. Dey seorang penyendiri. Kerjanya, baca buku dan merenung. Entah merenungkan apa. Aku jadi berspekulasi. Mungkin para filsuf seperti Sokrates dulunya suka menyendiri atau merenung. Untuk memahami lebih, butuh perenungan. Kurang lebih seperti itu yang dikatakan Dey saat diskusi dulu.
Aku kemudian mencari cara untuk mengajaknya berbincang-bincang. Sebelum ke kampus, aku membuat nasi goreng untuk Dey. Sepanjang jalan menuju kampus, aku memikirkan kalimat terbaik untuk memulai basa-basi. Setidaknya, jawaban dari pertanyaan itu bukan “ya” atau “tidak”
Di bawah pohon, seperti biasa, Dey bertukar pikiran dengan bukunya. Aku mendekat.
“Membaca dan berpikir itu butuh energi,” kataku.
Dia terus membaca. Aku menunggu reaksinya. Dia tetap ddiam. Seolah tak menyadari kehadiranku. Jujur, Aku jengkel. Apakah memang sikap para pilsuf seperti ini?
“Kamu dengar Aku kan?” kataku sehalus mungkin, meskipun sebetulnya aku sedang menahan kesal.
Dia menatapku dengan raut muka datar.
“Kamu bicara denganku?” jawabnya enteng. Ya Tuhan, apakah semua mahasiswa filsafat se-menjengkel-kan ini?
“Iya, aku dengar,” balasnya.
“Terus?” tanyaku, agak ketus, tapi di sisi lain kumerasa ada jalan.
“Terus apa?” Dia menyerngitkan dahi.
“Terus kenapa tidak dijawab?”
“Pertama, aku setuju dengan yang kamu katakan, tak perlu dibantah kan? Kedua, tadinya aku mengira kamu bicara sama orang lain.”
Aku memikirkan kembali kata-kataku tadi. Buru-buru, aku mencari topik pembicaraan baru.
“Kamu punya banyak buku? Boleh pinjam?”
“Boleh”
Suasana kembali hening, aku mengeluarkan tempat nasi berwarna pink.
“Kamu belum makan kan?”
“Sudah”
“Simpan untuk nanti siang. Jangan ditolak, pamali kata orang tua.” Aku pergi.
***
Aku selalu menyapanya, meski sikap dinginnya tak juga hilang. Perbincangan akan sedikit berbobot ketika aku bertanya tentang buku, pemikiran para cendekdiawan dan filsuf. Dia akan menjelaskan padaku. Rinci.
Sebelum pulang kuliah, aku menemui temanku yang kutu buku. Meminjam bukunya. Ku tanyakan bab-bab penting dan poin utama yang ingin disampaikan penulis buku. Di rumah, aku membaca bab-bab yang penting itu. Sekadar untuk mencari bahan perbincangan esok harinya. Aku tertawa sendiri memikirkannya. Resep itu manjur, aku merasa diskusiku dengan Dey lebih berbobot. Suasana lebih dialektis. Meski sebenarnya, aku lebih banyak diam. Dey yang menjelaskan, atau meluruskan jika aku keliru. Sikap dinginnya memudar. Tetiba aku merasa bersalah telah menghakiminya secara sepihak. Demi Tuhan, sejak dulu aku selalu menilai laki-laki dari ketampanannya. Kini aku sadar, bahwa isi kepala, wawasan dan gagasan lebih dari sekadar ketampanan. Rasa penasaranku perlahan berubah. Jujur, aku jatuh cinta.
Kedekatanku dengannya semakin terasa, Dia tak menolak lagi jika kubuatkan nasi goreng. Dia lebih terbuka, banyak hal baru yang aku pelajari darinya. Kami sering makan dan jalan bersama. Rasa cintaku kian membesar. Tetapi, aku merasa dia tak memiliki perasaan yang lebih padaku. Hanya sebatas teman diskusi. Dengan berbagai pertimbangan, aku menyatakan cinta padanya. Mungkin dia akan illfeel padaku, atau menganggapku perempuan murahan. Ya, segalanya telah kupertimbangkan. Sejak saat itu, dia kembali dengan sikapnya yang dulu. Yang paling kusesalkan, dia menghindar.
Dari temannya, aku kemudian tahu, dia cukup selektif untuk dekat dengan perempuan. Pun jika iya, itu akan dilakukannya sembunyi-sembunyi. Katanya, dia malu disebut mati kiri-istilah untuk laki-laki yang mudah takluk karena perempuan. Aku heran, orang bergagasan seperti Dey tiba-tiba seperti sosok yang tak berprinsip. Seketika hilang hormat dan kagumku padanya, lebih tepatnya aku kecewa.
Melalui telepon aku memintanya bertemu, meskipun cuma semenit. Di tempat biasa.
“Ini yang kutakutkan,” katanya pelan, tak mau menatapku dengan sikap dinginnya. Meski begitu, aku menangkap ada semacam rasa bersalah. Entah.
“Aku sedih, sekaligus merasa kasihan. Malu aku menyebutmu sebagai aktivis, demonstran yang menginginkan kebebasan, melawan penindasan, tapi didikte dalam percintaan,” kataku. Sekilas, ku lihat perubahan raut wajahnya.
“Aku cuma mau bilang terima kasih telah menjadi teman diskusiku. Ini buku yang dulu aku pinjam,” kataku menyodorkan buku.
“Besok aku akan pergi ke Amerika, mengikuti orang tuaku.” Setelah merasa semuanya selesai, aku pergi. Dey masih terpaku, mungkin merasa tersinggung. Entahlah, aku tak peduli.
***
Beberapa saat sebelum pesawat mengudara, panggilan Dey masuk berkali-kali. Semuanya kutolak. Sebelum mematikan telepon, kumengirim pesan, “Semoga idealismemu membesarkanmu bersama teman-teman aktivismu.” Telepon ku matikan bersamaan dengan air mataku mengalir di pipi. “Maafkan Aku Dey,” lirihku.
Penulis :
Ahmad Alfarid
Mahasiswa Jurusan Biologi 2015
Anggota FLP Unhas