Hutan Kota menjadi salah satu julukan yang disematkan pada Universitas Hasanuddin (Unhas) karena lingkungannya yang terkenal asri. Kampus top di Indonesia Timur ini tak hentinya berupaya menciptakan lingkungan terbaik untuk para penghuninya. Salah satunya dengan sempat mempelopori dan menerapkan konsep Greener, Healthier, and Safer (GHS) setelah Universitas Indonesia (UI) dan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Berdasarkan terbitan identitas tahun 2010, Unhas mulai menggarap konsep GHS dengan tujuan menciptakan lingkungan kampus yang hijau, sehat dan aman. Konsep ini digadang-gadang akan mewujudkan suasana kampus yang bersih, serta bebas dari polusi dan asap kendaraan.
Di tahun tersebut, konsep GHS memusatkan rencananya pada penggunaan sepeda di lingkungan kampus untuk meminimalisir penggunaan kendaraan bermesin. Sepeda yang tersedia kala itu berjumlah 100 buah yang dapat digunakan mahasiswa dan dosen dengan mengajukan peminjaman ke rektorat. Rencananya, sepeda tersebut ditargetkan akan ditambah sebanyak 500 buah dan akan dilakukan pembuatan standplast, sebuah tempat penitipan sepeda di tiap fakultas.
Penerapan GHS juga mengarah pada penggunaan transportasi publik dengan resiko rendah, yaitu shuttle bus, serta pembangunan 10-16 shelter sepeda dan jalur hijau untuk pejalan kaki.
Ibarat ekspektasi tak sesuai realita, sayangnya realisasi dari konsep ini kian menjadi cerita belaka. Penerapan GHS mengalami ketidakstabilan. Menurut terbitan identitas 2012, Unhas yang kala itu telah menggelontorkan dana hingga dua milyar untuk pembangunan rute sepeda, memiliki sepeda berjumlah 400 buah, satu buah bus, dan dua shelter, lantas memunculkan tanya dari sivitas akademika akan efektivitasnya. Bagaimana tidak, beberapa sepeda malah terlihat digudangkan karena besinya yang berkarat dan berban satu.
Tidak sampai di situ, bak kebaikan tak selalu berbuah manis, program ini juga mendapat protes dari pedagang yang menjajakan jualannya di sekitar lingkar politeknik. Hal ini dikarenakan, jalur lingkar tempat mereka berjualan akan dibangun sebuah halte dan dilalui oleh angkutan kota (angkot) Namun, para pedagang enggan untuk minggat meninggalkan lapaknya. Akibatnya, realisasi program ini menjadi semakin terhambat.
Setahun kemudian, Unhas melakukan uji coba terhadap shuttle bus dan angkot. Bus tersebut yang kemudian mengantar ke tempat tujuan di dalam area Unhas. Untuk pete-pete sendiri, jalur masuknya diterapkan melalui pintu satu dan keluar di pintu nol agar meminimalisir polusi di lingkungan Unhas. Namun, hal ini turut menuai keluhan dari sopir angkot, pasalnya pintu nol kala itu belum layak dilalui angkot.
Di samping itu, pendapatan yang didapatkan supir pun juga berkurang. Maka, Wakil Rektor II kala itu, Prof Dr Andi Wardihan Sinrang memutuskan untuk mengarahkan sementara jalur keluar angkot berada di pintu satu pula. “Untuk sementara ini, selama masa perbaikan pintu nol, jalur angkot diarahkan masuk melalui pintu satu dan keluar melalui pintu satu pula,” ujar Prof Wardihan dalam terbitan identitas 2013.
Kritikan demi kritikan pun keluar dari mulut mahasiswa. Regulasi ini justru menghambat mobilisasi beberapa mahasiswa untuk sampai ke tempat belajar, karena harus dua kali mengambil kendaraan. Banyak pihak juga merasa birokrasi Unhas tidak memperhatikan infrastruktur dan terlalu fokus mewujudkan program GHS. Bahkan berdasarkan terbitan identitas 2016, penggunaan sepeda pun sepi peminat dimana akhirnya sepeda-sepeda beserta shelter-nya tersebut terbengkalai dan halte-halte menjadi tidak terpakai.
Hingga saat ini, eksistensi program tersebut tak lagi terdengar gaungnya. Meski demikian, program ini adalah usaha masif yang pernah dilakukan Unhas dalam mewujudkan suasana kampus yang aman dan nyaman..
Nabila Rifqah Awaluddin