“Menjadi relawan adalah panggilan jiwa sebagai seorang dokter untuk terus menolong orang banyak,” ujar Prof Idrus ketika dihubungi via telpon di sela-sela kesibukan menjadi relawan di Kota Palu
Belum kering air mata atas peristiwa gempa Lombok di Nusa Tenggara Barat, Indonesia kembali berduka dengan gempa yang mengguncangkan tanah Pulu, Sigi dan Donggala utara pada tanggal 28 September 2018, pukul 18.02 WITA. Bukan hanya gempa berkekuatan 7,4 Mw namun semakin dahsyat karena diikuti tsunami dan likuifaksi yang menelan ribuan korban jiwa.
Sebagian besar masyarakat Indonesia menunjukkan keprihatinan dan memberikan bantuan semampunya. Tidak terkecuali mantan Rektor Unhas periode 2006-2014, Prof Dr dr Idrus Paturusi SpBO, naluri kemanusiaannya sebagai seorang dokter seakan memanggil untuk turun langsung membantu para korban.
Dua hari setelah bencana pada hari sabtu tanggal 30 September 2018 ia memimpin tim gabungan dari Public Savety Center (PSC) 119 Rumah Sakit Wahidin Sudirohusudo dan Sulawesi Selatan, Ikatan dokter Indonesia (IDI) Makassar, dan Fakultas Kedoktera Unhas serta Persatuan Bedah Orthopedi Indonesia (PABOI) untuk melakukan operasi fraktur di RS Undata Palu.
Idrus memimpin tim medis, di antaranya orthopaedi enam orang, dua orang dokter umum, dua orang dokter mata, dua orang anestesi, tiga orang internis, forensik empat orang, dan teknisi lainnya.
Menjadi relawan memang menjadi panggilan hidup laki-laki yang berprofesi sebagai dokter spesialis beda tulang ini. Seperti saat gempa yang terjadi di Lombok, Idrus pemimpin 21 orang tim untuk menjadi tenaga medis bagi para korban bencana. Setiba di lokasi bencana, seakan tanpa lelah, Idrus bersama dengan tim langsung bergerak cepat mengecek kesiapan ruang operasi dan berkoordinasi dengan pihak RSUD Provinsi NTB di Mataram, tempat bantuan medis dipusatkan.
Berdasarkan rekam jejaknya, ketika gizi buruk melanda Agats di Asmat, Papua pada januari 2018 bersama Tim Unhas turun langsung untuk memberikan pemeriksaan kesehatan. Begitupun saat tsunami yang meluluhlantakkan Aceh dan Nias pada 26 Desember 2004, Idrus tiba di lokasi bencana sebagai Koordinator Nasional Bantuan Medis Aceh, Sumatera Utara, dan Nias. Dalam waktu tiga bulan, Idrus berhasil memfungsikan kembali RS Zainoel Abidin, Banda Aceh, yang rusak disapu tsunami.
Bukan hanya kepedulian terhadap bencana alam. Konflik kekerasan pun menyeretnya ke “dunia peperangan” yang berbahaya. Mulai dari konflik Poso, Ambon, dan Maluku Utara yang menimbulkan korban jiwa ribuan orang sepanjang 1999–2000 tak langsung membuat nyalinya ciut. Begitu juga saat api berkobar di Timor Timur, Idrus yang kala itu menjadi Ketua Tim Medis Penanggulangan Pengungsi setiap hari merawat, mengobati, atau mengoperasi para korban. Idrus menjelaskan pengalaman di kancah konflik semakin membuatnya peduli terhadap misi kemanusiaan.
Tak peduli perbedaan politik, warna kulit, golongan, atau agama, Idrus terus memimpin tim medis ke daerah-daerah itu tatkala api masih membara. Ia menjelaskan dalam situasi bencana, kita tidak boleh menunda dan segala sumber daya yang ada harus kita kerahkan.
“Kan saya seorang dokter, jadi ada panggilan jiwa saya menjadi relawan untuk selalu menolong banyak orang,” ujarnya saat dihubungi identitas via telpon disela kesibukan menjadi relawan di Kota Palu.
Sejak duduk dibangku perkuliahan hingga menjadi di usia senja, Laki-laki kelahiran Makassar, 31 Agustus 1950 memberikan dedikasi untuk kemanusiaan. Menjadi dokter yang sesungguhnya dan tak segan untuk terjun langsung ke tempat bencana atau tragedi untuk menjadi relawan walaupun di usia yang tak muda lagi.
Sosok yang dikenal sebagai pribadi yang krismatik dan bersahaja menjadi salah satu orang yang patut menjadi panutan agar terus peduli terhadap sesama. Pada usia muda hingga senja ia tetap menolong dengan ikhlas dan tanpa pandang bulu.
Repoter: Hafis Dwi Fernando