Data Buku
Penulis: Sujiwo Tejo
Judul Buku: Lupa Endonesa
Jumlah Halaman: 236 Halaman
Penerbit: Bentang Pustaka
Edisi Kedua, Cetakan Pertama Mei 2021
“Tak malu korupsi? Tak malu berperilaku buruk? Tak malu mencederai bangsa sendiri? Atau mungkin malu tak lagi menjadi tren?” itulah yang akan kamu dapatkan ketika membaca blurb pada buku yang berjudul “Lupa Endonesa” ini.
Dengan membaca judulnya mungkin membuat kita berpikiran kalau isinya pastilah membahas tentang mereka yang melupakan negara Indonesia dan kemudian beralih mengikuti budaya negara lain. Namun, don’t judge a book by it’s cover adalah benar, sebab isi dalam buku ini tidaklah seperti itu.
Buku yang ditulis oleh Sujiwo Tejo ini berisi potongan-potongan cerpen yang melibatkan Ponokawan dengan isi ceritanya yang menyentil banyak pihak dengan cerdas menohok, nyeleneh, tapi banyak benarnya. Pemikiran-pemikirannya akan membuat malu banyak pihak, terutama yang lupa bahwa dirinya adalah bangsa Indonesia yang berbudi pekerti luhur.
Dengan demikian, buku setebal 236 halaman ini dianggap sebagai sindiran satir terhadap berbagai macam hal yang tengah terjadi di Indonesia. Bagaimana tidak? kita akan dibawa untuk mengingat kasus apa saja yang pernah terjadi di Indonesia dan mulai terlupakan. Karena inilah Sujiwo Tejo menganggap kita bangsa yang pelupa. Sebab, persoalan datang silih berganti dan tetap saja kita mengurusi masalah itu-itu lagi tanpa perbaikan yang berarti.
Cinta Tanah Air, Dasar Manusia, Lupa-Lupa Ingat, Fulus Oh Fulus, Kecanduan Berharap dan Negeri Mimpi adalah tema besar dalam buku ini yang mana isinya membuat kita sadar bahwa sebenarnya negara ini mempunyai banyak sekali kekurangan yang disebabkan oleh warganya sendiri. Setiap cerita yang dituliskan sangat tepat dan tidak meleset misalnya, pada (hlm 70-75) yang berisi sindiran kepada kita di kasus bank century.
“Kita beruntung banget bisa hepi mendengar angket DPR soal Bank Century karena lupa bahwa angket-angket sebelumnya, kayak angket BBM, ternyata Cuma nggedebus saja. Bayangkan kalau ingatan kita kuat, kita akan nggak percaya pada angket Century karena kita selalu ingat gombalnya angket-angket masa lalu. Dan, kita akan susah makan bagai Limbuk karena selalu ingat tinjanya wong kecirit” (hlm 75).
Sepenggal kalimat di atas secara tidak langsung menyindir kita yang tidak peduli dan tidak ingin belajar dari kesalahan masa lalu serta kadang mudah teralihkan ketika muncul kasus lain sementara kasus yang satunya belum selesai. Atau dengan kata lain ini menyiratkan kalau di negeri Indonesia ini untuk menutupi kasus diganti dengan isu kasus yang lain.
Bukan hanya itu, cerita menarik lainnya dalam buku ini ada pada bab yang menceritakan tentang para pelawak yang cemas akan pekerjaan mereka yang akan digantikan oleh para pejabat. Pelawak ini menuntut agar seluruh penyelenggara negara tidak cuma dites kesehatannya dan track recordnya, seperti pada fit and proper test. Mereka meminta calon-calon pejabat itu dites juga oleh para psikolog, apakah punya bakat melawak. Kalau punya bakat melawak, jangan jadi pejabat, suruh saja jadi pelawak (hlm 60-68).
Cerita tentang pejabat di atas masih sangat relate dengan pejabat-pejabat masa kini yang kadang berbuat memalukan dengan mempertontonkan kelucuan mereka secara nasional. Buku ini seperti ingin mengembalikan budaya malu yang telah lama ditinggalkan Indonesia, seperti malu untuk korupsi, malu untuk berperilaku buruk dan malu untuk mencederai bangsa sendiri.
Beberapa hal yang Sujiwo Tejo tuliskan dalam buku yang diterbitkan pada tahun 2021 ini dapat dibaca oleh semua kalangan, meskipun ada beberapa kosakata yang mungkin akan sulit dimengerti secara langsung oleh pembaca yang tidak mengerti sama sekali bahasa Jawa, beberapa kalimat yang agak nyeleneh, serta penceritaan dengan mengambil latar belakang pewayangan dengan kisah Mahabarata dan Ramayana cukup membingungkan pembaca yang tidak tahu menahu tentang kisah itu, namun secara keseluruhan isi yang ada di dalam buku ini benar-benar membuat kita para pembaca menyelam dan ikut mengangguk atau menggelengkan kepala ketika paham masalah-masalah Indonesia yang diangkat dengan berisi kalimat-kalimat jenaka.
Azzahra Zainal