Buat Yael Stefany Sinaga
Gadis itu duduk berseloyor di sebongkah batu karang di tepi pantai Galesong. Matanya nanar memandang lurus ke depan. Menatap matahari senja yang tak lama lagi kembali ke peraduannya.
Segumpal amarah bergemuruh di dadanya. Siap-siap disemburkan guna meluluh-lantahkan apa saja di depannya. Mungkin saja perahu nelayan yang sedang mencari ikan, akan ditenggelamkannya. Mengingatkan perintah Ibu Susi Pudjiastuti menenggelamkan kapal yang melanggar perbatasan Indonesia.
Raut wajahnya tampak mengerikan, karena terbalut kemarahan membuncah. Dipadu rambut sebahu yang acak-acakan bagaikan pemeran Mak Lampir di film; “Api di Bukit Menoreh”.
Bila ditelisik lebih jauh, roman mukanya tergolong gadis ayu nan manis. Bentuk mukanya tidak menampakkan seperti gadis Batak lainnya. Dia tidak mempunyai bentuk rahang yang kuat, termasuk tidak memiliki tulang pipi dan dahi yang agak menonjol. Sepintas mirip gadis Jawa, sama persis namanya; Kirana. Yah, gadis itu bernama lengkap Kirana Cantika Putri Dewi.
Kirana mahasiswi dari salah satu perguruan tinggi ternama di pulau paling barat negeri ini. Gadis penuh obsesi, meski dengan kepribadian lugu, jujur, dan bijaksana. Menikmati perjalanan hidup apa adanya. Tetapi, dia hancur berkeping-keping karena ketidakmampuan menaklukkan tradisi lingkungannya. Etika yang diterimanya melalui perjalanan nasibnya, sangat bertentangan dengan tradisi kampus dan lingkungan masyarakatnya.
Keluguannya menuliskan kisah hidupnya di koran kampus tempatnya menimba ilmu, membuat lingkup kampusnya jadi geger. Rektornya marah dan memecat seluruh kru penerbitan kampus itu.
Kirana memutuskan meninggalkan kampus yang telah mendidiknya. Menjauh dari masyarakat yang mengusirnya. Meninggalkan Laras yang telah bertunangan dengan Aryo. Laras yang teleh menumbuhkan benih-benih cinta di hatinya. Laras yang ingin dinikahinya.
Melawan arus putaran matahari hingga terdampar di pantai Galesong. Negeri para pemberani. Negeri leluhur Panglima Perang Prancis yang fenomenal, Napoleon Bonaparte. Panglima perang yang gagal dieksekusi mati oleh prajuritnya. Panglima perang terpendek di dunia, yang tidak takut berhadapan 1.000 prajurit dengan bayonet terhunus. Namun, dia hanya takut dengan ujung pena seorang jurnalis.
Kuberanikan diri mendekatinya. Kulemparkan senyum manisku begitu dia melihatku. Tanpa basa-basi, langsung kuucapkan permohonanku. “Boleh aku menikahimu, Kirana?”
Seketika Kirana mengumpulkan air liurnya di dalam mulut. Lalu, menyemprotkan ke wajahku. Ludah yang penuh darah dan nanah itu, menutup wajahku.
Aku bukannya melap wajahku. Tapi, gumpalan ludah justru kujadikan pembasuh wajah, bagaikan orang baru bangun lalu membasuh muka.
“Menjauh dariku, banci!” Hardiknya. Tapi, aku tetap bergeming dan terus bersimpuh penuh harap.
Terngiang kata terakhir; BANCI. Yah, aku sadari diriku memang banci. Banci benar-benar banci. Bukan banci Bissu, yang kebal dari senjata tajam. Bissu yang menjadi pasukan terdepan Kerajaan Bugis/Makassar dalam menghadapi perang. Bissu yang menari gemulai, tapi kalewang-nya telah menebas setiap musuh yang ada di hadapannya. Aku juga bukan bencong, yang pintar merias pengantin.
“Kirana, sumpah aku betul-betul ingin menikahimu.”
“Menikah denganku?” Tanyanya lalu terbahak-bahak. “Eh, kamu mau menikah dengan sampah masyarakat. Sumber penyakit bagi masyarakat, yang tak layak hidup. Bahkan di neraka saja orang-orang akan enggan mendekatiku. Aku wanita laknat.”
“Justru karena alasan itu aku mau menikahimu. Aku mau menikahi dengan segala kesempurnaanmu itu. Menikahi keras kepala serta ambisiusmu. Menikahi keberanianmu yang tanpa tedeng aling-aling melabrak ketidakadilan, dan tidak peduli siapa dan apa latar belakangnya.”
“Kita tidak bisa menikah. Saya telanjur tertarik sesama jenisku, perempuan. Sedangkan kamu lelaki. Bagaimana mungkin kita bisa membangun rumah tangga, kalau kita tidak saling mencintai.”
“Fisikku memang lelaki. Tetapi sebenarnya aku adalah perempuan. Aku rela melumat kemaluan lelaki demi sesuap nasi. Aku rela menyerahkan pantat digerayangi lelaki berduit,” jawabku.
“Tapi, siapa yang akan menikahkan kita. Tradisi di negeri ini tidak membolehkan kita kawin. Kita melabrak stigma dan dogma.”
“Kita bisa mencari tempat yang memberi ruang untuk kita nikah,” timpalku.
“Tapi, agama kita beda,” kembali Kirana memberi alasan. Seketika aku terpana. Tapi, dalam hatiku membatin; apakah sebenarnya kepercayaan dan agamaku. Apakah aku termasuk pemeluk dari kelima agama resmi di negeri ini?
“Mungkin aku tidak punya agama. Kalaupun punya, yah aku beriman pada UANG. Agamaku: RUPIAH. Ibadahku; FULUS-FULUS. Keyakinanku ini, mungkin memang tidak ada di KTP. Tapi aku yakin, aku banyak seiman namun tidak seagama dengan sebagian masyarakat. Kalau boleh jujur, tidak ada warga di negeri ini yang tertulis di KTP-nya, agama: RUPIAH. Tapi, aku haqqul yaqin, nyaris setengah dari populasi penduduk di negeri ini, seiman dengan saya; UANG, dan beribadah hanya untuk mengejar: FULUS-FULUS,” beberku pada Kirana.
Kirana tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Dia tidak bisa lagi berkata-kata. Semuanya telah tergambar, tradisi, agama, dogma, stigma, maupun obsesi-obsesi semu lainnya. “Sekarang, aku pahami siapa dirimu. Selain alasan yang telah kamu jelaskan tadi, bolehkah aku tahu apa alasan utamamu hingga mau menikahiku?” Tanyanya padaku.
Kini, giliran aku yang tidak bisa berbuat apa-apa. Aku terpana membisu. Tidak bisa menjawab pertanyaan Kirana. Tapi, dalam lubuk hatiku paling dalam berkata: “Aku ingin melepas statusku: BANCI. Itu saja.”
Penulis:
Mukhlis Amans Hady
Tim Supervisor PK identitas